25 Januari 2018

Cerpen: Impian Kecil “Si Cantik” Arini

Bagi perempuan, karunia terbesar yang paling disukainya ialah kecantikannya. Tapi kalau boleh minta tambah, sekalian body yang seksi – lebih bagus lagi kalau dikasih otak yang ‘encer’ juga, dan dilengkapi dengan kepribadian yang elok. Sempurna sudah. Cuma biasanya, maunya sih tak hanya sampai di situ. Jadi, alangkah indahnya kalau akhirnya juga bisa menikah dengan lelaki idaman yang tampan, dan kemudian hidup di dalam rumah tangga yang bahagia, dengan kekayaan yang berlimpah, serta punya anak-anak yang cakep, pintar, dan patuh pada orangtua. Masih kurang? Yaaa bukannya mau kemaruk sih, tapi kalau sesudah mati nanti bisa masuk surga juga, itu pasti jadi asyik banget. Perfect!

08 November 2017

Impian Kecil Arini

Arini memperhatikan foto itu satu per satu. Pada salah satu foto ia berhenti. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Dielusnya gambar itu dengan ujung jemarinya. Ah, kamu memang cantik, Arini, pujinya, dan senyumnya kian indah menghias bibirnya.

02 Agustus 2016

Cerpen: Gadis di Metro Mini

Di Jakarta, sebelum era TransJakarta yang sering disebut sebagai busway, Metro Mini – buskota ukuran sedang – adalah angkutan umum yang paling menyedihkan tapi juga paling dibutuhkan. Ya, memang paling dibutuhkan, karena seringkali tak ada pilihan selain harus naik angkutan umum itu – kecuali kalau mampu bayar ongkos taksi atau ojek. Dan sebagai angkutan paling menyedihkan, sebab di dalam Metro Mini setiap penumpang pasti akan mendapat jatah ‘siksaan’ yang harus diterima dengan pasrah, kecuali bagi mereka yang sangat beruntung. Tapi yang sudah pasti, Metro Mini itu kendaraan yang selalu berjalan semau-maunya. Kalau ngebut, bisa bikin jantung jadi kiwir-kiwir serasa mau copot, sebaliknya kalau lamban, ngetemnya lamaaa, dan kalau pun jalan, jalannya juga nyaris cuma 5 km per jam – bikin yang perlu buru-buru jadi hampir stroke karena menahan rasa tak sabar.

27 Mei 2016

Cerpen: Vila di Puncak Bukit

Setelah gema dentang kesembilan jam dinding itu pudar, aku mulai menghitung: Satu, dua, tiga, empat... dan suara piano itu pun terdengar. Lamat-lamat membelah keheningan malam yang kian membeku. Murung menggigil, simfoni hati yang lelah didera duka dan rindu. Aku tercenung, bersandar pada pilar di teras, diam-diam menghela napas berat. Terasa ada kesenduan yang menyelusup. Sementara jauh di dalam kesamaran ingatan, ada kilasan-kilasan hari yang terasa dikenali namun tak teraih. Ada wajah, ada senyum, ada nyanyian, ada tawa, dan ada kesedihan yang terasa begitu kelam, yang masih terasa menyisakan sakit di relung sanubari.

25 Mei 2016

Cerpen: Kisah Kecil dari Sudut Kampus

“Kamu brengsek!” begitu sambutan gadis itu, ketika aku sampai di meja yang terletak di sudut luar kantin tempatnya duduk, di kantin sudut kampus.
“Wah, sedap banget!” sahutku, menyeringai, “Baru sampe udah dihadiahin makian ama mahasiswi cantik,” ujarku, bukan sebagai keluhan, seraya mengempas duduk di sisinya. “Emang aku punya salah apa sih ama kamu, Cantik?”