Entah sudah berapa lama Alien berdiri di situ, di muka
papan pengumuman itu. Padahal seharusnya, setelah ia melihat nomor ujiannya ada
tercantum di situ, ia melompat kegirangan untuk kemudian ikut bergabung dengan
teman-temannya, yang tengah meluapkan rasa gembiranya dengan berbagai tingkah.
Ada yang saling menandatangani baju putih temannya dengan spidol, bahkan ada
yang menggunakan cat semprot. Tapi ada juga yang cuma tertawa-tawa, sambil
bergurau, dengan keriangan yang lepas.
Namun rupanya, kebahagiaan itu tak pernah
terbetik di hati dan benaknya. Dan bahkan, yang selalu lalu-lalang di pikiran
dan perasaannya justru kesedihan. Mengapa? Sebab... dengan tercantumnya nomor
ujiannya di papan itu, maka artinya, awal sebuah perpisahan yang tak pernah
diinginkannya itu kini sudah dimulai. Dan hari-hari yang penuh gairah itu akan
lenyap. Pagi yang selalu diawali dengan harapan indah tak akan pernah ada lagi.
Tapi yang paling menyakitkan adalah... ia tidak bisa lagi bertemu dengan orang
yang selalu dirinduinya itu, di setiap ia ingin menemuinya....
Mama...! keluhnya, bersama helaan napas dalam yang terasa
amat berat. Perasaannya sendu. "Akhirnya... perpisahan ini terjadi
juga...,” ia menggigit bibir, “dan kita... apa mungkin akan pernah bersama
lagi?" Segurat kepedihan itu kembali mencabik dadanya, perih dan nyeri. Ia
mengatupkan geraham, menahankan sakit, dan menunduk.
Ia tersentak tatkala sebuah tangan hinggap di bahunya,
sebenarnya dengan lembut, namun terasa bagai timpaan batang pohon kelapa yang
tumbang. Ditolehnya pemilik tangan itu, dan hatinya terasa bagai digenggam oleh
tangan yang hangat dan lembut, ketika matanya terantuk pada wajah yang amat
disukainya. Wajah yang senantiasa terlihat menyenangkan untuk dipandang, dengan
senyum yang selalu indah dan hangat untuk dibawa hingga ke alam mimpi. Tapi...
sebentar lagi semuanya ini akan... tiba-tiba hantu perpisahan itu kembali
menyergap dan menakutinya dengan wajahnya yang begitu buruk dan jahat.
"Kamu juga lulus 'kan, Lien?" suara itu begitu
nikmat menyentuh gendang telinga dan hati Alien, membuat rasa sedihnya sedikit
terbasuh.
Alien hanya mengangguk, pelan, tak bersemangat. Ia ingin
tersenyum, namun rasa sedihnya tak rela. Ia tak sanggup membohongi diri.
"Kalo gitu, selamat, dong," kata Panji, seraya
mengangsurkan tangannya.
Alien merasa tangan itu seperti lambaian perpisahan
baginya. Apa aku harus menyambut dan menjabatnya? Tapi aku tak menginginkan
perpisahan ini! pekik hatinya. Rupanya sikap pasif Alien itu membuat Panji jadi
tak sabar. Maka diraihnya tangan Alien dan digenggamnya dengan dua tangan.
Alien memandang wajah yang selalu penuh kehangatan itu.
"Kamu kok murung gitu, sih... ada apa?" tanya
Panji kemudian, mengamati wajah cantik di hadapannya – yang tak biasanya tanpa
pendar cahaya kegembiraan.
Alien malah merunduk, menggigit bibir. Apa yang harus
kukatakan? Padahal... oh, kenapa dulu aku begitu sombong dengan mengatakan
bahwa aku cuma ingin bersahabat saja dengan dia? Kenapa dulu aku begitu angkuh
untuk mengakui bahwa aku selalu merasa bahagia kalau bisa senantiasa dekat
dengannya? Kenapa dulu aku... tak mau mengakui kalau aku sebenarnya....
"Woi, kok malah ngelamun, sih?" usik Panji,
seraya mengusap-usap lengan kanan Alien.
Alien mengangkat kepala, menatap wajah itu dan... ah!
Tatapannya terperangkap dalam mata yang senantiasa penuh kelembutan yang
melenakan itu. “Aku...,” ia tak tahu akan mengatakan apa, “aku... ehhh... kita
duduk di sana, yuk!” Ia berusaha mengalihkan perhatian dari kekacauan di
hatinya, seraya menarik tangan Panji – mengajak ke bangku beton di pinggir
lapangan basket, di bawah kerindangan pohon kiara payung.
Panji menurut saja ditarik-tarik oleh Alien begitu, seperti
kerbau yang dicocok hidungnya. Mereka sampai di bangku beton. Alien langsung
mengempas duduk dan menyelonjorkan kedua kakinya serta menyilangkannya. Panji
duduk di sampingnya, menghadap ke sisi tubuh Alien. Memandang.
Mulanya, Alien berlagak tak peduli dipandangi begitu oleh
Panji, tapi lama-lama, dia jadi jengah juga. Maka ia menoleh pada pemuda itu,
dan menutup kedua mata yang lekat memandanginya itu, dengan telapak tangan
kanannya. “Jahat banget sih ini mata...!” ujarnya.
“Jahat kenapa?”
tanya Panji, membiarkan telapak tangan Alien tetap menutup kedua matanya.
“Yaaa... jahat aja...!” Alien tak punya alasan dengan
perkataannya sendiri.
Panji tersenyum. Alien meliriknya dan lantas cemberut,
sambil melepaskan tangannya dari mata Panji. Tetap dengan senyumnya itu, Panji
memerhatikan wajah cantik yang jelas-jelas sedang menyimpan kegundahan itu.
“Ada apa sih, Lien?” cetus Panji, lembut.
Alien menatap Panji lewat sudut mata, kemudian menghela
napas panjang. Dalam sekali.
“Aku lulus, Jul,” Alien memang biasa memanggil Panji dengan
Panjul. “Kamu juga lulus.” Agak lama ia berhenti, memain-mainkan tisu dengan
jemarinya. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Panji menunggunya dengan
sabar, seraya terus mengamati segala gerak-gerik gadis di hadapannya itu. “Kita
nggak akan sekolah di sini lagi. Jadi....” Alien tak sanggup untuk melanjutkan
apa yang ingin dikatakannya.
“Kita memang harus berpisah, Lien,” Panji yang menegaskan.
“Cepat atau lambat, perpisahan nggak bisa kita hindari. Sekeras apa pun kita
berusaha menghindarinya, kita nggak akan sanggup,” ia mulai berkhotbah. “Sebab,
perpisahan adalah kodrat. Itu adalah bagian dari kekuasaan Tuhan yang nggak
mungkin bisa dilawan oleh siapa pun. Dan Tuhan sudah mencontohkannya dengan
pergantian siang dan malam, dengan kelahiran dan kematian.”
Alien menghela napas. Itu hal yang sangat disukainya dari
Panji. Diliriknya pemuda itu. Anak ini selalu penuh dengan kata-kata ajaib yang
bisa menenangkan hati dan menyalakan harapan, batinnya – merasa mulai lega.
Meski tetap terasa ada yang mengganjal, jauh di relung hatinya.
“Kamu harus ke Jogja, Lien. Karena di sanalah tempatmu yang
semestinya. Di sisi orangtuamu, di antara kakak dan adik-adik kamu,” ujar
Panji. “Kamu sekarang nggak bisa lagi mengelak untuk ikut pindah ke sana
bersama mereka dengan alasan sekolahmu lagi tanggung.”
“Tapi aku pengen tetep sekolah di sini, Jul. Kuliah bareng
kamu....” sela Alien.
“Aku ngerti,” angguk Panji. “Dan aku gembira banget kalo
kamu bisa tetep tinggal di sini, kuliah bareng aku di sini. Tapi... keluarga
kamu juga pengen kamu ada di tengah-tengah mereka, Lien. Orangtua kamu nggak
bakal bisa tenang sebelum kamu kembali ke sisi mereka. Kamu 'kan anak perempuan
mereka satu-satunya.”
Alien merunduk, menggigit bibir. “Kalo aku kangen sama kamu
gimana...?” seperti bisikan, ungkapan hatinya itu.
Panji tersenyum dan mengusap-usap punggung jemari tangan
kanan Alien. “Kamu 'kan tetep bisa nelepon aku kapan aja kayak biasanya. Kita
bisa chatting atau saling berbagi cerita di facebook kayak biasanya juga,”
hiburnya.
“Tapi itu 'kan beda...,” sanggah Alien, cemberut.
Panji tertawa kecil. “Ya memang beda,” cetusnya. “Kita ini
bukan burung, jadi kita nggak punya sayap dan bisa terbang kayak burung. Tapi
kita 'kan bisa menyiasatinya dengan naik pesawat. Iya, 'kan?”
“Aku nggak pengen bisa terbang kayak burung, Jul!” Alien
sengit. “Aku cuma kangen sama kamu dan pengen ketemu kamu kayak biasanya!
Ngerti nggak sih kamu?”
“Iyyya,” angguk Panji, tegas, “aku ngerti. Aku ngerti kok
maksud kamu. Tapi kita 'kan juga harus ngerti ukuran-ukurannya, Lien. Kita
ini... kayak yang dulu kamu tegasin ke aku, cuma sahabat. Nggak boleh lebih
dari itu. Kamu ingat itu, 'kan?”
Alien langsung membuang muka, menyembunyikan rasa kecewanya
pada dirinya sendiri.
“Aku juga pengen bisa terus ngedampingin kamu. Nyayangin
kamu... walaupun cuma sebagai sahabat. Tapi... itu nggak mungkin, Lien.
Keluarga kamu udah pindah ke Jogja. Dan mereka sangat mengharapkan kamu segera
ikut bergabung lagi sama mereka. Supaya mereka merasa tenang. Supaya mereka
merasa komplit,” ungkap Panji. “Lagian... kita 'kan nggak mungkin bisa selalu
mendapatkan apa yang kita inginkan, Lien. Hidup ini bukan apa yang kita inginkan,
Lien, tapi apa yang harus kita lakukan. Supaya kita bisa berkompromi dengan
setiap kekecewaan, yang kita rasakan kalo yang kita inginkan ternyata nggak
terpenuhi.”
“Iya, iya, iya! Udah, ah!” sergah Alien, kesal. “Susah
emang kalo ngomong ama pengarang. Selalu ada aja bahasa yang bikin kita jadi
nggak boleh begini-begitu. Harus nrimo. Pasrah. Karena hidup bukan cuma milik
kita. Begitu, 'kan?”
Panji tersenyum lebar. “Nah, kamu udah ngerti, tuh,”
ujarnya. “Tapi gini, Lien. Satu hal yang harus kamu ingat.” Ia berhenti
sebentar, menyiapkan perkataan. Alien menolehnya. Memandang. “Sejak awal... aku 'kan udah jujur ama kamu. Aku cinta ama kamu. Aku bersedia jadi apa aja yang
kamu mau, asal boleh selalu dekat ama kamu. Nggak masalah aku cuma harus jadi sahabat
kamu, asal aku bisa terus mendampingi kamu. Jadi....”
“Jadi, kamu ikut aku ke Jogja, ya?” potong Alien.
Panji tiba-tiba kehilangan keadi-dayaannya. Ia terhenyak,
menatap Alien dengan mata perlahan terbenam dalam kesedihan. Ia menghela napas
dalam dan menggeleng pelan.
“Kamu tau... itu nggak mungkin, Lien....” Suara Panji
terdengar seperti bisikan angin.
Alien juga terhenyak, merunduk dengan kekecewaan meruyak
hatinya. Kenyataan telah menyudutkannya dalam kesedihan yang tak bisa ditolaknya.
“Kamu 'kan tau sendiri, kebutuhan hidup di keluargku terus
meningkat....” Panji seolah bicara pada Tuhan, dalam doa. “Biaya sekolah buat
adik-adikku semakin mahal. Jadi, aku juga harus semakin giat ngebantu orangtua
buat cari duit.” Ia mengerutkan muka, seolah sedang menahankan rasa sakit. “Aku
nggak yakin bisa kuliah. Aku nggak punya duit buat biaya masuk ke perguruan
tinggi. Jadi... mungkin aku harus cari kerja dulu, sambil terus ngarang.”
Alien menoleh, memandang Panji dengan tatapan merasa
prihatin, tanpa daya. Panji berusaha tersenyum. Namun terlihat terlalu sedih.
“Maafin aku ya, Lien...,” ucapnya, benar-benar menyesal.
“Kali ini aku nggak bisa menuhin keinginan kamu....”
Alien menggeser posisi duduknya, miring, agak menghadap ke
Panji. Diraihnya tangan kanan Panji dan digenggamnya dengan dua tangan. “Tapi
kamu janji ya, Jul. Kamu akan tetep sayang ama aku. Kamu akan tetep jadi orang
yang kayak aku mau,” pintanya.
Panji mengangguk. “Aku akan berusaha. Terus berusaha. Mudah-mudahan
Tuhan ngasih aku kekuatan supaya bisa terus menuhin keinginan kamu.”
Alien tersenyum bahagia. Tangannya makin erat menggenggam
tangan kanan Panji. “Makasih, Panji...!” ucapnya, terharu. “Tapi... kamu jangan
jadi sahabatku lagi, ya? Kamu harus lebih dari itu....”
Panji memandang Alien dengan sesuatu yang berpendar-pendar
indah di dalam matanya, sehingga membuat Alien terpesona dan tak pernah bisa
melupakannya.
“Kami benar-benar berpisah secara fisik setelah itu,” tutur
Alien, dengan bibir gemetar dan airmata merebak. “Lalu pada suatu hari...
setelah sepuluh tahun kami dipisahkan oleh jarak, dia datang dan memintaku
untuk menjadi istrinya....”
“Terus, Mama jawab apa?” tanya gadis cantik, yang baju
putihnya penuh tandatangan dengan spidol dan cat semprot, yang duduk di sisi
kanan Alien, penasaran.
“Wah, itu pertanyaan paling tolol di dunia, tuh!” ejek
pemuda yang duduk di sisi lain Alien. “Makanya gue heran banget, kok orang
setolol elo bisa lulus dengan nilai terbaik, ya?”
“Aaah, Kakak diem, deh! Penasaran, nih...!” sergah gadis
itu.
Alien merengkuh kedua anaknya itu, dengan rengkuhan sayang,
dengan perasaan amat bahagia, meski kabut kesedihan tetap mengepung hatinya.
“Setiap perempuan pasti menginginkan laki-laki terbaik
untuk mendampingi hidupnya. Dan Mama... adalah perempuan paling beruntung di
dunia. Nggak ada laki-laki sebaik papa kalian, kecuali mereka yang telah dipilih
oleh Tuhan....” Alien bersyukur. “Makanya... kalo sekarang papa kalian ingin
pulang dan beristirahat, kita harus ikhlas. Kita harus merelakannya. Dia sudah
memberikan semua yang dia bisa berikan dalam hidupnya, buat orang-orang yang
dicintainya.”
Airmata menggelincir dari mata Alien. “Dari kecil dia sudah
berjuang untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya. Sebisa-bisa yang dia
sanggup. Kemudian menggantikan tugas orangtuanya ketika mereka telah tiada.
Sampai adik-adiknya mentas. Lalu dia menjadi papa kalian. Lalu... Tuhan
akhirnya memanggilnya pulang, buat beristirahat dari semua jerih payah hidup
yang tak pernah berhenti memerah tenaga dan pikirannya....”
Panji meninggal seminggu yang lalu, sepulang dari tanah
suci – umroh, setelah memenuhi janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka
berkunjung ke rumah Tuhan, sambil berlibur bersama – untuk yang terakhir
kalinya....
(Cerita pendek ini pernah diterbitkan sebagai "Percikan"
di Majalah Gadis pada tahun 1980,
di Majalah Gadis pada tahun 1980,
Di bawah nama M. H. Thamrin Mahesarani.
Direvisi Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.