06 Maret 2014

Cerpen: Awal Sebuah Perpisahan

Entah sudah berapa lama Alien berdiri di situ, di muka papan pengumuman itu. Padahal seharusnya, setelah ia melihat nomor ujiannya ada tercantum di situ, ia melompat kegirangan untuk kemudian ikut bergabung dengan teman­-temannya, yang tengah meluapkan rasa gembiranya dengan berbagai tingkah. Ada yang saling menandatangani baju putih temannya dengan spidol, bahkan ada yang menggunakan cat semprot. Tapi ada juga yang cuma tertawa-tawa, sambil bergurau, dengan keriangan yang lepas.
Namun rupanya, kebahagiaan itu tak pernah terbetik di hati dan benaknya. Dan bahkan, yang selalu lalu-lalang di pikiran dan perasaannya justru kesedihan. Mengapa? Sebab... dengan tercantumnya nomor ujiannya di papan itu, maka artinya, awal sebuah perpisahan yang tak pernah diinginkannya itu kini sudah dimulai. Dan hari-hari yang penuh gairah itu akan lenyap. Pagi yang selalu diawali dengan harapan indah tak akan pernah ada lagi. Tapi yang paling menyakitkan adalah... ia tidak bisa lagi bertemu dengan orang yang selalu dirinduinya itu, di setiap ia ingin menemuinya....
Mama...! keluhnya, bersama helaan napas dalam yang terasa amat berat. Perasaannya sendu. "Akhirnya... per­pisahan ini terjadi juga...,” ia menggigit bibir, “dan kita... apa mungkin akan pernah bersama lagi?" Segurat kepedihan itu kembali mencabik dadanya, perih dan nyeri. Ia mengatupkan geraham, menahankan sakit, dan menunduk.
Ia tersentak tatkala sebuah tangan hinggap di bahunya, sebenarnya dengan lembut, namun terasa bagai timpaan batang pohon kelapa yang tumbang. Ditolehnya pemilik tangan itu, dan hatinya terasa bagai digenggam oleh tangan yang hangat dan lembut, ketika matanya terantuk pada wajah yang amat disukainya. Wajah yang senantiasa terlihat menyenangkan untuk dipandang, dengan senyum yang selalu indah dan hangat untuk dibawa hingga ke alam mimpi. Tapi... sebentar lagi semuanya ini akan... tiba-tiba hantu perpisahan itu kembali menyergap dan menakutinya dengan wajahnya yang begitu buruk dan jahat.
"Kamu juga lulus 'kan, Lien?" suara itu begitu nikmat menyentuh gendang telinga dan hati Alien, membuat rasa sedihnya sedikit terbasuh.
Alien hanya mengangguk, pelan, tak ber­semangat. Ia ingin tersenyum, namun rasa sedihnya tak rela. Ia tak sanggup membohongi diri.
"Kalo gitu, selamat, dong," kata Panji, seraya mengangsurkan tangannya.
Alien merasa tangan itu seperti lambaian perpisahan baginya. Apa aku harus menyambut dan menjabatnya? Tapi aku tak menginginkan perpisahan ini! pekik hatinya. Rupanya sikap pasif Alien itu membuat Panji jadi tak sabar. Maka diraihnya tangan Alien dan digenggamnya dengan dua tangan. Alien memandang wajah yang selalu penuh kehangatan itu.
"Kamu kok murung gitu, sih... ada apa?" tanya Panji kemudian, mengamati wajah cantik di hadapannya – yang tak biasanya tanpa pendar cahaya kegembiraan.
Alien malah merunduk, menggigit bibir. Apa yang harus kukatakan? Padahal... oh, kenapa dulu aku begitu sombong dengan mengatakan bahwa aku cuma ingin bersahabat saja dengan dia? Kenapa dulu aku begitu angkuh untuk mengakui bahwa aku selalu merasa bahagia kalau bisa senantiasa dekat dengannya? Kenapa dulu aku... tak mau mengakui kalau aku sebenarnya....
"Woi, kok malah ngelamun, sih?" usik Panji, seraya mengusap-usap lengan kanan Alien.
Alien mengangkat kepala, menatap wajah itu dan... ah! Tatapannya terperangkap dalam mata yang senantiasa penuh kelembutan yang melenakan itu. “Aku...,” ia tak tahu akan mengatakan apa, “aku... ehhh... kita duduk di sana, yuk!” Ia berusaha mengalihkan perhatian dari kekacauan di hatinya, seraya menarik tangan Panji – mengajak ke bangku beton di pinggir lapangan basket, di bawah kerindangan pohon kiara payung.
Panji menurut saja ditarik-tarik oleh Alien begitu, seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Mereka sampai di bangku beton. Alien langsung mengempas duduk dan menyelonjorkan kedua kakinya serta menyilangkannya. Panji duduk di sampingnya, menghadap ke sisi tubuh Alien. Memandang.
Mulanya, Alien berlagak tak peduli dipandangi begitu oleh Panji, tapi lama-lama, dia jadi jengah juga. Maka ia menoleh pada pemuda itu, dan menutup kedua mata yang lekat memandanginya itu, dengan telapak tangan kanannya. “Jahat banget sih ini mata...!” ujarnya.
 “Jahat kenapa?” tanya Panji, membiarkan telapak tangan Alien tetap menutup kedua matanya.
“Yaaa... jahat aja...!” Alien tak punya alasan dengan perkataannya sendiri.
Panji tersenyum. Alien meliriknya dan lantas cemberut, sambil melepaskan tangannya dari mata Panji. Tetap dengan senyumnya itu, Panji memerhatikan wajah cantik yang jelas-jelas sedang menyimpan kegundahan itu.
“Ada apa sih, Lien?” cetus Panji, lembut.
Alien menatap Panji lewat sudut mata, kemudian menghela napas panjang. Dalam sekali.
“Aku lulus, Jul,” Alien memang biasa memanggil Panji dengan Panjul. “Kamu juga lulus.” Agak lama ia berhenti, memain-mainkan tisu dengan jemarinya. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Panji menunggunya dengan sabar, seraya terus mengamati segala gerak-gerik gadis di hadapannya itu. “Kita nggak akan sekolah di sini lagi. Jadi....” Alien tak sanggup untuk melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.
“Kita memang harus berpisah, Lien,” Panji yang menegaskan. “Cepat atau lambat, perpisahan nggak bisa kita hindari. Sekeras apa pun kita berusaha menghindarinya, kita nggak akan sanggup,” ia mulai berkhotbah. “Sebab, perpisahan adalah kodrat. Itu adalah bagian dari kekuasaan Tuhan yang nggak mungkin bisa dilawan oleh siapa pun. Dan Tuhan sudah mencontohkannya dengan pergantian siang dan malam, dengan kelahiran dan kematian.”
Alien menghela napas. Itu hal yang sangat disukainya dari Panji. Diliriknya pemuda itu. Anak ini selalu penuh dengan kata-kata ajaib yang bisa menenangkan hati dan menyalakan harapan, batinnya – merasa mulai lega. Meski tetap terasa ada yang mengganjal, jauh di relung hatinya.
“Kamu harus ke Jogja, Lien. Karena di sanalah tempatmu yang semestinya. Di sisi orangtuamu, di antara kakak dan adik-adik kamu,” ujar Panji. “Kamu sekarang nggak bisa lagi mengelak untuk ikut pindah ke sana bersama mereka dengan alasan sekolahmu lagi tanggung.”
“Tapi aku pengen tetep sekolah di sini, Jul. Kuliah bareng kamu....” sela Alien.
“Aku ngerti,” angguk Panji. “Dan aku gembira banget kalo kamu bisa tetep tinggal di sini, kuliah bareng aku di sini. Tapi... keluarga kamu juga pengen kamu ada di tengah-tengah mereka, Lien. Orangtua kamu nggak bakal bisa tenang sebelum kamu kembali ke sisi mereka. Kamu 'kan anak perempuan mereka satu-satunya.”
Alien merunduk, menggigit bibir. “Kalo aku kangen sama kamu gimana...?” seperti bisikan, ungkapan hatinya itu.
Panji tersenyum dan mengusap-usap punggung jemari tangan kanan Alien. “Kamu 'kan tetep bisa nelepon aku kapan aja kayak biasanya. Kita bisa chatting atau saling berbagi cerita di facebook kayak biasanya juga,” hiburnya.
“Tapi itu 'kan beda...,” sanggah Alien, cemberut.
Panji tertawa kecil. “Ya memang beda,” cetusnya. “Kita ini bukan burung, jadi kita nggak punya sayap dan bisa terbang kayak burung. Tapi kita 'kan bisa menyiasatinya dengan naik pesawat. Iya, 'kan?”
“Aku nggak pengen bisa terbang kayak burung, Jul!” Alien sengit. “Aku cuma kangen sama kamu dan pengen ketemu kamu kayak biasanya! Ngerti nggak sih kamu?”
“Iyyya,” angguk Panji, tegas, “aku ngerti. Aku ngerti kok maksud kamu. Tapi kita 'kan juga harus ngerti ukuran-ukurannya, Lien. Kita ini... kayak yang dulu kamu tegasin ke aku, cuma sahabat. Nggak boleh lebih dari itu. Kamu ingat itu, 'kan?”
Alien langsung membuang muka, menyembunyikan rasa kecewanya pada dirinya sendiri.
“Aku juga pengen bisa terus ngedampingin kamu. Nyayangin kamu... walaupun cuma sebagai sahabat. Tapi... itu nggak mungkin, Lien. Keluarga kamu udah pindah ke Jogja. Dan mereka sangat mengharapkan kamu segera ikut bergabung lagi sama mereka. Supaya mereka merasa tenang. Supaya mereka merasa komplit,” ungkap Panji. “Lagian... kita 'kan nggak mungkin bisa selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, Lien. Hidup ini bukan apa yang kita inginkan, Lien, tapi apa yang harus kita lakukan. Supaya kita bisa berkompromi dengan setiap kekecewaan, yang kita rasakan kalo yang kita inginkan ternyata nggak terpenuhi.”
“Iya, iya, iya! Udah, ah!” sergah Alien, kesal. “Susah emang kalo ngomong ama pengarang. Selalu ada aja bahasa yang bikin kita jadi nggak boleh begini-begitu. Harus nrimo. Pasrah. Karena hidup bukan cuma milik kita. Begitu, 'kan?”
Panji tersenyum lebar. “Nah, kamu udah ngerti, tuh,” ujarnya. “Tapi gini, Lien. Satu hal yang harus kamu ingat.” Ia berhenti sebentar, menyiapkan perkataan. Alien menolehnya. Memandang. “Sejak awal... aku 'kan udah jujur ama kamu. Aku cinta ama kamu. Aku bersedia jadi apa aja yang kamu mau, asal boleh selalu dekat ama kamu. Nggak masalah aku cuma harus jadi sahabat kamu, asal aku bisa terus mendampingi kamu. Jadi....”
“Jadi, kamu ikut aku ke Jogja, ya?” potong Alien.
Panji tiba-tiba kehilangan keadi-dayaannya. Ia terhenyak, menatap Alien dengan mata perlahan terbenam dalam kesedihan. Ia menghela napas dalam dan menggeleng pelan.
“Kamu tau... itu nggak mungkin, Lien....” Suara Panji terdengar seperti bisikan angin.
Alien juga terhenyak, merunduk dengan kekecewaan meruyak hatinya. Kenyataan telah menyudutkannya dalam kesedihan yang tak bisa ditolaknya.
“Kamu 'kan tau sendiri, kebutuhan hidup di keluargku terus meningkat....” Panji seolah bicara pada Tuhan, dalam doa. “Biaya sekolah buat adik-adikku semakin mahal. Jadi, aku juga harus semakin giat ngebantu orangtua buat cari duit.” Ia mengerutkan muka, seolah sedang menahankan rasa sakit. “Aku nggak yakin bisa kuliah. Aku nggak punya duit buat biaya masuk ke perguruan tinggi. Jadi... mungkin aku harus cari kerja dulu, sambil terus ngarang.”
Alien menoleh, memandang Panji dengan tatapan merasa prihatin, tanpa daya. Panji berusaha tersenyum. Namun terlihat terlalu sedih.
“Maafin aku ya, Lien...,” ucapnya, benar-benar menyesal. “Kali ini aku nggak bisa menuhin keinginan kamu....”
Alien menggeser posisi duduknya, miring, agak menghadap ke Panji. Diraihnya tangan kanan Panji dan digenggamnya dengan dua tangan. “Tapi kamu janji ya, Jul. Kamu akan tetep sayang ama aku. Kamu akan tetep jadi orang yang kayak aku mau,” pintanya.
Panji mengangguk. “Aku akan berusaha. Terus berusaha. Mudah-mudahan Tuhan ngasih aku kekuatan supaya bisa terus menuhin keinginan kamu.”
Alien tersenyum bahagia. Tangannya makin erat menggenggam tangan kanan Panji. “Makasih, Panji...!” ucapnya, terharu. “Tapi... kamu jangan jadi sahabatku lagi, ya? Kamu harus lebih dari itu....”
Panji memandang Alien dengan sesuatu yang berpendar-pendar indah di dalam matanya, sehingga membuat Alien terpesona dan tak pernah bisa melupakannya.
“Kami benar-benar berpisah secara fisik setelah itu,” tutur Alien, dengan bibir gemetar dan airmata merebak. “Lalu pada suatu hari... setelah sepuluh tahun kami dipisahkan oleh jarak, dia datang dan memintaku untuk menjadi istrinya....”
“Terus, Mama jawab apa?” tanya gadis cantik, yang baju putihnya penuh tandatangan dengan spidol dan cat semprot, yang duduk di sisi kanan Alien, penasaran.
“Wah, itu pertanyaan paling tolol di dunia, tuh!” ejek pemuda yang duduk di sisi lain Alien. “Makanya gue heran banget, kok orang setolol elo bisa lulus dengan nilai terbaik, ya?”
“Aaah, Kakak diem, deh! Penasaran, nih...!” sergah gadis itu.
Alien merengkuh kedua anaknya itu, dengan rengkuhan sayang, dengan perasaan amat bahagia, meski kabut kesedihan tetap mengepung hatinya.
“Setiap perempuan pasti menginginkan laki-laki terbaik untuk mendampingi hidupnya. Dan Mama... adalah perempuan paling beruntung di dunia. Nggak ada laki-laki sebaik papa kalian, kecuali mereka yang telah dipilih oleh Tuhan....” Alien bersyukur. “Makanya... kalo sekarang papa kalian ingin pulang dan beristirahat, kita harus ikhlas. Kita harus merelakannya. Dia sudah memberikan semua yang dia bisa berikan dalam hidupnya, buat orang-orang yang dicintainya.”
Airmata menggelincir dari mata Alien. “Dari kecil dia sudah berjuang untuk menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya. Sebisa-bisa yang dia sanggup. Kemudian menggantikan tugas orangtuanya ketika mereka telah tiada. Sampai adik-adiknya mentas. Lalu dia menjadi papa kalian. Lalu... Tuhan akhirnya memanggilnya pulang, buat beristirahat dari semua jerih payah hidup yang tak pernah berhenti memerah tenaga dan pikirannya....”

Panji meninggal seminggu yang lalu, sepulang dari tanah suci  umroh, setelah memenuhi janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka berkunjung ke rumah Tuhan, sambil berlibur bersama – untuk yang terakhir kalinya....
(Cerita pendek ini pernah diterbitkan sebagai "Percikan" 
di Majalah Gadis pada tahun 1980,
Di bawah nama M. H. Thamrin Mahesarani.
Direvisi Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.