(Sambungan dari bagian 1)
Ya Allah, ternyata Nirmala bukan cuma ada, tapi sangat ada!
Setelah berada di Jakarta kembali, tiba-tiba saja saya merasa seperti baru
terjaga dari mimpi. Hari-hari yang telah saya jalani kemarin, selama tiga hari
di vila Keluarga Baskoro itu, sekonyong-konyong terasa begitu jauh dan terlalu
tinggi buat saya sentuh lagi, meski hanya lewat angan-angan. Bapak dan Ibu
Baskoro yang senantiasa memerhatikan saya, melebihi perhatiannya terhadap
siapa pun. Seluruh Keluarga Besar Baskoro yang ternyata begitu baik dan
bersahabat dalam menyambut kehadiran saya. Semuanya terasa muskil bagi saya.
Tidak masuk akal. Laksana kedustaan mimpi.
Juga Nirmala. Benarkah gadis itu pernah ada? Betul-betul ada? Nyata? Keraguan terasa semakin dalam membenamkan saya pada ketak-percayaan. Tapi sungguh, saya tak sanggup mengingkari bahwa ia adalah gadis tercantik yang pernah terasa begitu dekat dengan saya. Gemerlap matanya saat tertawa, suara riangnya, senyum lembutnya, aroma semerbak dan daya magnet yang terpancar dari tubuhnya, pesonanya, kehangatan hati saat saya memandangnya, dan... ah, benarkah dia pernah ada untuk saya?
Juga Nirmala. Benarkah gadis itu pernah ada? Betul-betul ada? Nyata? Keraguan terasa semakin dalam membenamkan saya pada ketak-percayaan. Tapi sungguh, saya tak sanggup mengingkari bahwa ia adalah gadis tercantik yang pernah terasa begitu dekat dengan saya. Gemerlap matanya saat tertawa, suara riangnya, senyum lembutnya, aroma semerbak dan daya magnet yang terpancar dari tubuhnya, pesonanya, kehangatan hati saat saya memandangnya, dan... ah, benarkah dia pernah ada untuk saya?
Sepertinya, semua itu memang cuma mimpi belaka. Yah... ya sudahlah, terima kasih.
Tengah malam saya terjaga dan menemukan diri berada di tempat yang amat
saya kenal. Kamar tidur saya. Dengan hati lega saya bisikkan puji syukur kepada
Tuhan dan lalu bangkit duduk. Inilah hidupmu yang sesungguhnya, Mahesa, saya
berkata pada diri sendiri. Dan tiba-tiba saya merasa amat senang. Ya, inilah
hidup saya yang sebenarnya: Meninggalkan pembaringan pada tengah malam untuk
berdiri, rukuk, dan sujud di hadapan Dzat yang telah menciptakan saya, yang
memiliki saya secara keseluruhan. Memohon ampunan, bersyukur, dan mengharap
kasih sayang-Nya. Setelah fajar mencahayai cakrawala, barulah saya beranjak
dari atas sajadah, pergi mandi, mempersiapkan diri untuk pergi ke kantor,
meneguk segelas air putih bila sedang tak berpuasa, dan berangkat untuk mencari
nafkah. Inilah hidup saya. Dan Tuhan mencukupkan saya dengan itu. Alhamdulillah.
Sore hari, pulang dari mengais rezeki, tugas mengurus rumah – yang 'diberikan'
kepada saya oleh Pak Baskoro melalui sistem kredit terlalu lunak – sudah
menunggu. Setelah itu, barulah saya mandi dan bersiap buat melakukan kewajiban
muslim saya, yaitu sholat Maghrib berjamaah di masjid, lalu membaca Qur'an sambil menunggu waktu Isya, dan kemudian kembali sholat berjamaah setelah tiba waktunya. Pulang ke rumah, saya lalu menonton teve
atau membaca buku. Pukul 21, saya berangkat tidur. Inilah hidup saya.
Sederhana. Tapi di sanalah seluruh kebahagiaan hidup saya terpusat. Dan
bonusnya ialah pada hari Sabtu dan Minggu, saat mengunjungi saudara-saudara
saya di panti asuhan. Begitulah. Namun bagi saya itu sudah cukup.
Akan tetapi pagi ini, rupanya Tuhan memberi tambahan pada skenario hidup
saya. Sedikit. Namun tak urung membuat saya kaget dan tergagap. Saya sedang
memakai sepatu saat telepon berbunyi. Wah, tugas pertama di tahun baru, nih! pikir
saya. Soalnya yang biasa menelepon saya pagi-pagi begini adalah Ibu Baskoro,
dan sudah pasti untuk memberi tugas ekstra.
"Assalammu alaykum," ucap saya, membuka komunikasi.
"Wa alaykum salam," sahut suara di ujung sana. Dan saya tertegun.
Itu bukan suara Ibu Baskoro. "Lagi ngapain, Hes?" Suara itu terdengar
kembali.
"Eh... lagi... bingung, nih," sahut saya polos. "Mm... maaf,
kamu... Nirmala?"
"Iya. Kenapa? Kamu mengharap yang lain?" tanya Nirmala, menggoda.
"Ah, enggak. Saya cuma... betul kamu Nirmala?" Demi Tuhan, saya
merasa sangat-sangat-sangat bahagia. Tapi saya ragu, apa ini benar?
"Iya, betul, saya Nirmala," tegas Nirmala. "Aduh, Hes, kamu
lagi kenapa, sih? Awas, jangan mulai gila lagi lho kamu!"
Saya tertawa-tawa sendirian. Betul, saya sangat gembira. Tapi juga bingung.
Gugup. Jadi, ternyata Nirmala memang ada!
"Nah, bener, ‘kan? Kamu mulai gila lagi, ‘kan?" Di ujung sana,
Nirmala mengomel.
"Enggak, enggak. Saya lagi gembira, kok. Bener!" kata saya, di
sela tawa. Hati saya terasa meluap-luap oleh berbagai perasaan. "Ya
Allah... ternyata kamu memang benar ada. Saya kira...."
"Kamu kira apa?"
Saya menghela napas dan berusaha mengendalikan perasaan. "Saya kira
kamu cuma sosok khayalan saya aja, Mala. Tapi ternyata... ya Allah, terima
kasih."
"Kamu ini lagi ngerayu saya... apa lagi gila sih, Hes?"
"Saya lagi... lagi... kamu maunya yang mana?" Saya balik
bertanya.
"Saya nggak mau kalau kamu lagi gila!"
"Jadi, kamu mau saya rayu?"
"Apa kamu bisa ngerayu?"
"Wah, nggak tau. Apa perlu dicoba?"
"Nggak usah, lain kali aja. Kamu udah sarapan?"
"Saya lagi puasa."
"Puasa? Oh iya, ini hari Senin, ya. Mm... kamu lagi ngapain?"
"Lagi ngobrol di telepon sama kamu, sambil pakai sepatu, dan siap-siap
mau berangkat ke kantor."
"Oh, gitu. Iya, deh. Selamat bekerja, ya. Hati-hati di jalan. Jangan
ngebut. Kerja yang giat, yang serius, yang... kamu punya pacar di kantor?"
"Saya digaji oleh perusahaan bukan buat pacaran, ‘kan?"
"Yak, betul. Pinter. Saya setuju, tuh. Kalau begitu, selamat bekerja,
deh. Udahan dulu, ya? Assalammu alaykum."
“Wa alaykum salam wa rohmatullah.”
Dan komunikasi kami sudahi.
Setelah meletakkan gagang telepon ke pesawatnya, saya termangu-mangu
sebentar. Merasa takjub dengan apa yang barusan saya alami. Ternyata Nirmala
memang benar ada, dan menelepon saya pagi-pagi cuma buat mengucapkan selamat
bekerja! Wow! Saya merasa melambung. Dada saya penuh oleh perasaan gembira yang
meluap-luap. Ya Allah, terima kasih.... Saya meloncat-loncat sendirian.
Rasanya belum lagi reda rasa gembira saya oleh telepon pagi Nirmala itu,
siangnya saya menerima telepon lagi darinya.
"Kamu lagi ngapain, Hes?" tanyanya.
"Lagi bikin proposal buat Ibu. Kenapa?"
"Kamu tau ini waktunya istirahat makan siang?"
"Ya, saya tahu. Tapi saya kan lagi puasa."
"Tapi kamu tetap harus istirahat, kan? Dan kamu harus sholat Dzuhur,
kan? Nah, gimana kalau kamu tinggalin dulu kerjaan kamu sebentar buat
sholat?"
"Iya, sebentar lagi. Soalnya lagi tanggung, nih."
"Sekarang, Mahesa. Atau saya perlu menelepon ke Om atau Tante
Baskoro, supaya mereka meneriaki kamu?"
Ha? Saya ternganga. Dari mana dia tahu kalau Bapak atau Ibu Baskoro selalu
meneriaki saya jika memergoki saya masih terus bekerja pada waktu istirahat
makan siang? Dan seketika terbayang oleh saya, Bapak atau Ibu Baskoro muncul di
pintu ruang kerja saya – seperti biasanya, sambil berkacak pinggang berteriak
kepada saya, "Mahesa, lagi apa kamu? Kamu tahu ini jam istirahat makan
siang? Dan apa kamu pikir, kalau kamu terus bekerja di jam istirahat ini saya akan
menaikkan gaji kamu? Atau mengangkat kamu jadi presiden direktur?" Wah!
"Mahesa, saya belum mendengar jawaban kamu!" sentak Nirmala.
Saya kaget dan tergagap. "Eh, iya, iya, saya istirahat sekarang,"
kata saya, lalu menge-save file yang
sedang saya kerjakan di laptop dan menutupnya. Sebenarnya, bisa saja saya
berbohong. Tapi buat apa? Maka setelah hubungan telepon kami sudahi, saya
beranjak meninggalkan ruangan, menuju musholla.
Malamnya, saat saya lagi bersiap mau tidur, Nirmala menelepon lagi.
"Kamu lagi ngapain, Hes?"
"Lagi mau tidur. Kenapa?"
"Masih sore begini udah mau tidur?"
"Iya," jawab saya kalem. "Kamu ‘kan tau, saya ini anak
yatim-piatu yang sejak kecil hidup di panti asuhan. Dan peraturan di sana, kami
semua harus segera pergi tidur setelah sholat Isya, supaya kami bisa bangun
tengah malam untuk sholat Tahajud dan sebagainya. Sebab menurut Pak Ma'ruf,
hanya sholat, doa, dan kesabaran yang bisa menolong kami – meringankan beban
rasa yang menekan dada dan hati kami. Dan rasanya... itu sudah menjadi bagian
hidup saya."
"Hes...."
"Ya?"
"Saya mau kasih tau kamu satu hal. Dan saya harap, kamu mencamkan
ini," kata Nirmala. "Saya, dan seluruh Keluarga Besar Baskoro, tau
siapa kamu sebenarnya. Bahwa kamu anak yatim-piatu, bahwa kamu sejak kecil
hidup di panti asuhan milik Pak Ma'ruf, bahwa kamu anak asuh kesayangan Om
Baskoro, bahwa kamu selalu berusaha menghindarkan diri dari Keluarga Besar
Baskoro – kecuali terhadap Om dan Tante Baskoro, bahwa kamu selalu merasa
rendah diri di hadapan kami, dan seterusnya-dan seterusnya, itu kami sudah tahu.
Jadi, nggak perlu kamu ungkit-ungkit terus buat mengingatkan kami. Dan
khususnya saya. Terus-terang, saya sangat-sangat nggak suka sama sikap kamu,
yang selalu membawa-bawa 'papan pengumuman' berisi riwayat hidup kamu itu ke mana-mana.
Kamu manusia, Hes. Terlepas dari kamu itu anak yatim-piatu yang hidup di panti
asuhan, atau anak konglomerat yang hidup di dalam istana, kamu punya hak yang
sama sebagai manusia. Kita lahir nggak bawa apa-apa, dan mati juga nggak akan bawa
apa-apa. Jadi, buat apa kita mempermasalahkan apa-apa yang kita punya dan nggak
punya?"
Demi Tuhan, saya tidak menyangka akan pernah mendengar ini dari Nirmala.
"Saya menghormati kamu, Hes. Saya menghormati kamu melebih penghormatan
saya sama cowok-cowok dari Keluarga Besar Baskoro. Kamu tau kenapa? Karena kamu
lebih manusia dan lebih hidup daripada mereka. Karena kamu sudah ditempa oleh
hidup sejak kecil, agar kamu sungguh-sungguh menjadi manusia dan hidup. Kamu
paham maksud saya, ‘kan? Nah, bagaimana menurut kamu? Hebat nggak pidato
saya?" kelakar Nirmala pada ujungnya.
Saya tertawa. Di dalam dada, saya merasa ada suatu keluasan yang
dibentangkan. Sebuah perasaan lega yang terasa begitu nyaman.
"Jadi, kamu jangan bersikap kayak gitu lagi sama saya ya, Hes? Janji,
ya? Saya suka bergaul sama kamu. Dan saya harap, kamu juga begitu sama
saya," ungkap Nirmala. "Kamu mau jadi teman saya?"
"Dengan senang hati," sambut saya. "Mudah-mudahan kamu nggak
kecewa dan sabar menghadapi saya."
"Sabar? Wah, saya kuatir malah sebaliknya. Contohnya, gimana kalau
besok siang kamu nemenin saya makan siang?"
"Oke. Di mana?"
"Mm... kalau waktunya memungkinkan sih, di kantor kamu aja. Di ruang
kerja kamu. Saya akan masak di rumah, terus saya bawa ke kantor kamu, terus
kita makan siang bersama. Tapi kalau waktunya nggak memungkinkan, ya terpaksa
kamunya yang harus ke rumah saya. Gimana?"
Saya tak bisa omong. Dia benar-benar membuat saya kaget setengah mati. Dia
masak sendiri? Makan di kantor saya? Di ruang kerja saya? Atau ke rumahnya?
Gila!
"Hes, kamu belum ketiduran, ‘kan?" usik Nirmala.
Saya terjaga dari diri sendiri. "Kamu... kamu serius?" tanya
saya.
"Ya serius, dong! Kamu ini gimana, sih? Mau apa nggak?"
"Ya... mau, sih. Tapi... gimana, ya? Masak harus... apa nggak lebih
baik kita makan di restoran aja?"
"Di restoran? Oo... kamu sekarang udah kaya, ya? Udah mulai boros,
ya?"
"Bu... bukan begitu, Mala. Saya cuma... masak kita makan di kantor,
sih?"
"Lho, memangnya kenapa? Kamu kuatir cewek yang kamu taksir mengira
saya ini pacar kamu, ya?"
"Bukan itu, Mala," tukas saya, cepat. "Saya cuma nggak enak
sama Bapak dan Ibu Baskoro kalau mereka melihat kamu...."
"Akrab sama kamu? Nyamper-nyamperin kamu? Bertingkah kayak istri
kamu?" serbu Nirmala. "Atau apa?"
"Ya... begitulah. Tapi...."
"Ala, udahlah. Kamu mau nggak nemenin saya makan siang? Cepet
jawab!"
"Ya, mau, Mala. Tapi...."
"Nggak pakai tapi-tapian! Besok kita makan siang bersama! Titik!
Assalammu alaykum!" Dan Nirmala menutup telepon. Sehingga saya hanya bisa
ternganga dan menelan ludah bersama napas. Tak berkutik.
"Wa alaykum salam wa rohmatullah...."
***
Paginya, Nirmala menelepon lagi. Seperti kemarin, cuma untuk mengucapkan
selamat berangkat kerja serta mewanti-wanti supaya saya hati-hati di jalan dan
tidak ngebut. Saya senang dan bersiul-siul di sepanjang perjalanan ke kantor.
Menjelang jam makan siang, Pak Baskoro menghubungi saya dari ruang kerjanya.
"Mahesa, kamu jangan ke mana-mana. Siang ini Nirmala mau ke sini,
katanya mau mengajak kamu makan siang bersama."
Tentu saja saya kaget dan jadi gugup seketika. "Iya, Pak. Baik,
Pak." jawab saya. Gila betul Nirmala ini! pikir saya. Bahkan Omnya
diperalat!
"Sama... tolong kamu tanyakan ke dia, Hes. Apa saya boleh ikut makan
siang sama kalian? Soalnya, sudah lama dia ndak masak buat saya."
Belum sempat saya menjawab, samar-samar, saya dengar suara Ibu Baskoro,
"Kamu mau ganggu acara dia? Ndak takut dilabrak kamu?"
Berlagak tidak mendengar, saya berkata, "Iya, Pak. Baik, akan saya
sampaikan." Jadi, rupanya Nirmala itu galak. Sehingga Bapak dan Ibu
Baskoro pun punya rasa gamang terhadapnya. Wah, pantas.
Tepat pukul 12.00, resepsionis menghubungi saya, "Pak Mahesa, ada Ibu
di sini. Mau ketemu sama Bapak. Boleh saya minta Ibu langsung ke ruangan
Bapak?"
"Ibu?" Saya tak mengerti. "Ibu siapa? Ibu Baskoro?"
"Bukan, Pak. Ibu... ya istri Bapak."
"Istri saya? Eh... siapa, sih? Nirmala?"
Saya dengar resepsionis menanyakan nama Si Ibu itu. "Iya, Pak, betul.
Ibu Nirmala. Boleh saya persilakan langsung ke ruangan Bapak?"
"Ya, ya, terima kasih," ucap saya. Wah, memang benar-benar gila
Nirmala ini!
Tak berapa lama kemudian, Nirmala muncul – dengan wajah tanpa dosa! – di
ruang kerja saya. Membawa keranjang piknik! Senyumnya lembut dan lagak-lakunya
halus. "Assalammu alaykum," ucapnya dengan suara riang. Benarkah
gadis ini galak? Dan gila?
"Wa alaykum salam wa rohmatullah," balas saya, seraya bangkit dari duduk dan melangkah
menyambutnya. Saya ambil keranjang piknik itu dari tangannya. Ternyata lumayan
berat. "Wah, saya jadi nggak enak bikin kamu repot kayak begini,"
ujar saya, seraya menyilakannya ke kursi tamu.
"Nggak apa-apa saya repot, asal hati saya senang," sahut Nirmala,
kalem, lalu menjeling saya bersama senyum. Dan dada saya langsung
"serr!" dibuatnya. Dengan cekatan ia kemudian menata hidangan – yang
komplit itu! – di meja tamu ruangan saya. Ia terlihat sudah sangat terbiasa dengan
pekerjaannya.
"Pak Baskoro tadi pesan sama saya," kata saya sambil sedikit-sedikit
ikut membantu kesibukan Nirmala. "Katanya, apa beliau boleh ikut makan
siang sama kita? Soalnya, katanya, udah lama kamu nggak masak buat
beliau."
Nirmala tersenyum. "Begitu dia bilang?" ujarnya, lalu
mengangguk-angguk. "Kamu kapan punya waktu buat nemenin saya makan malam
di rumah Om Baskoro?" tanyanya kemudian, sambil meletakkan piring di depan
saya. "Malam Minggu?"
"Saya?" Heran, mengapa dia selalu membuat saya kaget, ya?
"Apa saya harus ikut?"
Nirmala memandang saya dengan wajah seorang ibu. "Mahesa, saya meminta
kamu untuk nemenin saya makan malam di rumah Om Baskoro. Kamu paham artinya
itu, ‘kan? Nah, kapan kamu bisa? Malam Minggu yang akan datang ini?"
Saya menggeleng-geleng. "Saya setiap Sabtu dan Minggu selalu di panti
asuhan. Bagaimana kalau hari lain? Juga jangan malam Jumat."
Nirmala memandang saya dan menghela napas. "Dengar, Hes. Saya ngerti
hubungan batin kamu dengan panti asuhan. Itu wajar. Mungkin semua orang juga
akan begitu kalau dalam posisi kamu. Tapi... bukan berarti kamu harus
menomor-duakan kebutuhan hidup kamu karena itu, ‘kan? Gimana kalau kamu nanti
punya pacar? Apa kamu akan mengapelinya malam Selasa? Atau malam Rabu? Atau
malam Kamis? Atau malam Sabtu? Yang bener aja, Hes," katanya, sambil
menyendokkan nasi buat saya.
"Udah cukup, segitu aja," kata saya, setelah Nirmala mengisi setengah
dari piring makan saya.
"Segini? Sedikit amat!" protes Nirmala. “Tapi waktu di Ciloto
makan kamu kok banyak?”
Saya ambil piring itu dari tangannya. "Iya, soalnya waktu itu saya
nggak berani menolak waktu kamu masukin semua makanan ke piring saya."
Nirmala tertawa. Tapi kemudian mendadak berhenti dan pasang muka menyesal.
“Maafin aku ya, Hes. Aku ‘kan nggak tau kalo kamu makannya sedikit,” ucapnya.
Tapi kemudian, tetap saja diisinya piring saya dengan semua lauk-pauk yang ada
di meja, sehingga akhirnya piring saya jadi penuh juga. Dan itu membuat saya
jadi melongo. Terakhir saya mengalami hal seperti ini ialah saat di vila
Keluarga Baskoro, pada makan malam hari terakhir kami di sana. Saat itu,
Nirmala yang mengambil makan bersama saya, dengan tenang memasukkan setiap
jenis lauk-pauk yang ada di meja prasmanan, sehingga piring saya terlihat
seperti gunung. Tentu saja saya jadi melongo. Dan itulah yang membuat semua
orang yang ada di dalam ruang makan itu, yang rupanya diam-diam memerhatikan
kami terus, jadi cekikikan, menertawai saya.
"Ya Allah, gimana saya makannya, nih?" cetus saya, ngeri.
Nirmala mengangkat bahu. "Terserah, yang penting harus habis. Kalau
nggak, ya saya bisa marah. Saya udah capek-capek masak, lho."
Saya menyeringai. Selera makan saya jadi lenyap. "Aduh, Mala. Saya
nggak bisa ngabisin ini semua. Saya nggak pernah makan segini banyak!"
ujar saya, memohon belas kasihan. "Saya bisa sakit perut ini nanti."
Nirmala memandang saya dengan tatapan seorang ibu. "Ya udah, kalau
gitu dicicipin aja semua. Nggak apa-apa nggak habis," katanya.
Saya menghela napas sambil memandangi isi piring makan saya. "Tapi
saya belum pernah membuang makanan," gumam saya, sedih. Tentu saja. Bagaimana
mungkin orang yang selalu kekurangan makan bisa membuang makanan?
Nirmala bangkit dan pindah duduk di sebelah saya, disentuhnya lengan saya
dengan lembut. "Mahesa, saya akan ikut makan dari piring kamu. Jadi, nggak
ada yang akan terbuang. Oke?"
Itu jelas mengagetkan saya, meski kami pernah melakukannya saat ia membuat
gunung di piring makan saya, pada makan malam terakhir di vila itu, tapi waktu
itu bukan cuma dia yang turut merampungi isi piring saya. Karena Bapak dan Ibu
Baskoro juga ikut andil. Sehingga saya tidak terlalu jengah dengan situasinya.
Namun sekarang, di saat kami cuma berduaan. Kami makan sepiring berdua? Wah,
apa kata dunia nanti?
"Kenapa?" usik Nirmala. "Kamu nggak mau makan sepiring
berdua sama saya? Takut ketularan penyakit saya, ya?"
"Bukan begitu, Mala," geleng saya. "Saya cuma... apa kata
orang kalau melihat kita...."
"Lho, memangnya kita berbuat apa?" penggal Nirmala. "Kita 'kan cuma makan sepiring berdua. Apa itu salah? Melanggar norma-norma?
Norma-norma yang mana? Apa saya harus jadi istri kamu dulu supaya pantas makan
sepiring berdua sama kamu? Apa harus begitu menurut kamu?"
"Bukan begitu maksud saya, Mala," saya gelagapan. Dia memang sangat
ahli dalam hal serbu-menyerbu seperti itu. "Saya cuma kuatir... ah,
udahlah. Ayo, kita makan," putus saya akhirnya, pasrah, tak peduli.
Nirmala tersenyum. "Sekali-kali nggak ada salahnya kamu bersikap masa
bodoh kayak begitu, Hes," ujarnya. "Kita ini ‘kan manusia biasa.
Perlu juga sekali-kali bikin kesalahan. Supaya hidup kita nggak jadi monoton.
Supaya orang lain juga nggak lalai memerhatikan kita."
"Tapi nggak berbuat salah itu adalah yang terbaik," sanggah saya.
"Saya tau. Tapi udahlah, ayo, kita makan," sahut Nirmala, kalem.
Kami makan. Sepiring berdua. Diam-diam saya memerhatikan cara Nirmala
makan. Sebenarnya dia memang Putri Solo yang sesungguhnya. Tindak-tanduknya
halus, bicaranya juga lembut dan tenang, dan cara makannya pun mriyayi –
tenang, halus, dan dinikmati sekali. Cuma entah mengapa, dia sering sekali
melakukan tindakan menyimpang yang mengagetkan. Seolah-olah dia mendadak terjaga
dari kelenaannya dan meronta dari belenggu pola hidupnya yang terkendali itu.
Ia pun melakukannya saat kami makan. Ia mengisi sendoknya dengan nasi dan lauk
yang belum saya cicipi, lalu mengacungkan sendok itu ke depan mulut saya.
"Ini coba, deh."
Apa saya harus menolak? Apa saya tega? Maka saya terima suapannya itu. Dan
ia pandangi saya – yang sedang mengunyah hasil suapannya – dengan wajah
gembira. "Enak, ‘kan?" tanyanya. Saya hanya menjawabi dengan
anggukan. "Nah, gimana menurut kamu? Enak nggak masakan saya?"
Sekarang saya paham mengapa Pak Baskoro ingin ikut makan siang bersama kami
siang ini. Alasannya, selain karena Nirmala sudah lama tidak masak untuknya,
juga karena masakan gadis ini memang patut diingini setiap hari. Masakannya
pantas untuk dikangeni. Karena memang enak. Amat-sangat enak! Dan terus-terang,
di sepanjang hidup, rasanya baru kali ini saya merasakan nikmatnya sebuah
masakan.
"Tadinya saya kira, masakan yang di vila itu adalah masakan paling
enak di dunia. Tapi ternyata masakan kamu jauh lebih enak," ungkap saya, apa
adanya.
"Yang di vila itu masakan ibu saya," jelas Nirmala, lalu memasukkan
sesendok makanan ke dalam mulutnya. Setelah itu, ia mengisi sendoknya lagi dan
mengacungkannya kepada saya. Akhirnya, itu dilakukannya terus. Sesendok untuk
dirinya, dan sesendok untuk saya. Maka saya letakkan sendok saya.
"Nggak keberatan kalau tugas saya cuma megang piring?" tanya
saya.
Nirmala tersenyum. "Kamu suka saya suapin?" ia balik bertanya.
"Mm...," saya menerawangkan pandangan. "Terus-terang, saya
nggak pernah tau siapa orang yang menyuapi saya di waktu saya masih bayi dan
sampai akhirnya saya bisa makan sendiri. Jadi, kalau sekarang saya disuapi sama
kamu. Sama gadis secantik kamu. Saya rasa... apa saya ini kelihatan tolol betul
jadi cowok?" Dan saya heran ketika melihat Nirmala jadi tersipu-sipu
dengan wajah dijalari rona merah. Ya Allah, cantiknya gadis ini!
"Sebagai cowok, kamu sebetulnya bukan tolol. Cuma... mungkin karena
kamu terlalu melindungi diri dari perbuatan-perbuatan yang agak kurang ajar,
maka kamu jadi kelihatan kaku dan kuno. Tapi menurut saya, justru itu yang jadi
daya tarik utama kamu," ungkap Nirmala, setelah berhasil mengatasi ketersipuannya.
"Tapi yang paling penting, saya suka dekat sama kamu karena saya selalu
merasa aman. Dan nyaman buat bertingkah kayak apa pun."
Jadi, itu pendapatnya mengenai diri saya. Bahwa saya ini kaku. Bahwa saya
ini kuno. Tapi juga bahwa saya menimbulkan rasa aman – yang membuatnya jadi
merasa nyaman untuk berbuat semau-maunya. Hm, dasar Nirmala!
Kami terus asyik makan sepiring berdua. Satu sendok untuk Nirmala, dan satu
sendok untuk saya. Dan saya mulai menikmatinya dengan perasaan.
"Apa sama suami kamu nanti, kamu juga akan begini?" tanya saya,
ketika suatu kali terlintas dalam benak saya: Seandainya dia jadi istri
saya....
Nirmala memandang saya dan tersenyum. "Tentu harus lebih dari
ini," sahutnya. "Kamu ‘kan tau, tugas istri itu nggak cuma melayani
suami di meja makan, tapi juga di banyak aktivitas rumah tangga lainnya."
Saya tersenyum dengan hati menerawang. "Beruntung sekali lelaki yang
bisa jadi suami kamu nanti," cetus saya, bersama doa bimbang di dalam
hati: Kalau saja lelaki itu adalah saya....
"Insya Allah. Saya juga berharap begitu," ujar Nirmala.
"Tapi bagaimanapun juga, sebagai perempuan saya cuma bisa berusaha
sebaik-baiknya dalam melayani suami. Membahagiakannya di rumah dan di mana pun
dia menginginkannya. Tapi yang menentukan ukuran rasa puas itu 'kan bukan saya,
melainkan dia. Jadi, ya saya nggak tahu apakah saya bisa jadi istri yang baik
atau enggak buat dia. Betul, nggak?" Saya mengangguk setuju. "Kenapa
kamu tanya soal itu? Kamu mau jadi suami saya?"
Saya langsung tersedak. Cepat saya palingkan wajah dari piring, lalu menyerahkannya
kepadanya, kemudian memutar tubuh memunggunginya. Untung saja mulut dan
kerongkongan saya sudah kosong dari makanan. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya.
Mungkin semuanya seketika menyembur keluar dari mulut dan hidung saya. Namun
begitu, saya tetap ribut terbatuk-batuk.
"Maaf ya, Hes," ucap Nirmala, sambil mengelus-elus punggung saya.
Setelah batuk saya reda, Nirmala mengangsurkan gelas minum saya. Saat
menerima gelas itu, saya sempat melihat wajahnya yang disaputi rasa kuatir dan
sesal. Sesudah meneguk air putih, dan berdehem-dehem keras beberapa kali untuk
membersihkan kerongkongan, saya menghela napas panjang dan menyandar. Dengan
saputangan saya seka airmata di ujung-ujung mata. Kemudian, sambil
berdehem-dehem pelan, saya berpaling pada gadis itu. Ia sedang memandangi saya
dengan wajah kuatir dan menyesalnya itu.
"Kamu selalu bikin saya kaget," kata saya, parau, dan tersekat
oleh sesuatu di kerongkongan. Setelah berdehem-dehem beberapa kali saya
melanjutkan. "Kenapa, sih?"
Rasa kuatir itu telah lenyap dari wajah Nirmala. Hanya tinggal sirat sesal
yang terlihat. Sambil mengelus-elus dada saya, ia menjawab kalem, "Saya
nggak bermaksud begitu. Kamunya aja yang kagetan."
"Oo, begitu," saya mengangguk-angguk. Apa betul sayanya yang
kagetan? Namun kemudian saya melihat ada tawa yang ditahan di mulut Nirmala.
"Aah, kamu...!" tuduh saya, sadar.
Tawa Nirmala terlompat. Ia menyeruduk pangkal lengan kanan saya dengan
dahinya dan tangan kanannya mencubit lambung kanan saya, sehingga saya
menggelinjang karena geli. "Abis kamu kagetan, sih!" katanya.
"Jadi, ya saya seneng ngaget-ngagetin kamu terus," akunya kemudian,
di antara tawanya.
Memang kurang ajar anak ini!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.