16 April 2016

Cerbung: Lewat Tengah Malam (3)

(Sambungan dari bagian 2)
Dua hari kemudian, saat saya sedang mempelajari hasil survei pema­saran salah satu produk anak perusahaan yang dinilai kurang memuas­kan, Pak Baskoro menelepon saya. Dari luar kantor. Sepertinya dari mo­bil. Soalnya lamat-lamat, saya juga mendengar suara Ibu Baskoro, lagi marah-marah pada orang yang diteleponnya.
"Mahesa, kamu sedang apa?" tanya Pak Baskoro.
"Sedang mempelajari hasil survei dari Ibu, Pak," jawab saya.
"Bisa kamu tinggalkan sebentar, ‘kan?" Saya mengiyakan. "Kalau be­gi­tu, segera kamu pergi ke alamat ini...." Ia lalu membacakan ala­mat yang harus saya tuju. Saya cepat-cepat mencatatnya. "Sudah di­catat? Oke, nanti kita ketemu di sana. Dan sebaiknya kamu be­rang­kat seka­rang. Assalammu alaykum."
Memerhatikan nada suara dan penggunaan kalimat-kalimatnya, ini pasti masalah yang sangat penting serta mendesak. Maka, setelah mem­bereskan berkas-berkas hasil survei dan menyimpannya, saya segera be­rangkat. Tiga puluh lima menit kemudian, saya sudah menemukan ala­mat yang saya tuju. Saya parkirkan mobil di pinggir jalan, di luar pa­gar halaman rumah besar itu.
Ketika turun, saya melihat-lihat pada mobil-mobil yang di parkir di depan teras dan jalan yang melingkari taman depan rumah itu. Saya tak melihat mobil Bapak atau Ibu Bas­koro. Berarti mereka belum da­tang, pikir saya. Dan itu membuat saya bi­ngung, apakah saya harus masuk atau menunggu di luar saja? Namun ke­mudian saya berkeputusan untuk menunggu di luar saja, di dalam mo­bil, membaca e-book di tablet pemberian Ibu Baskoro sambil men­dengarkan musik. Akan tetapi, belum lagi satu halaman usai saya ba­ca. Tahu-tahu muncul seraut wajah di jen­dela kiri mobil. Saya ka­get dan bingung melihatnya. Ia memberi isyarat agar saya membukakan kunci pintu mobil, dan ia lantas membuka pintu lalu masuk, setelah kunci pintu saya buka.
"Assalammu alaykum," salamnya, sambil duduk.
"Wa alaykum salam wa rohmatullah. Lho, ngapain kamu di sini?" tanya saya.
Nirmala mengerutkan dahinya. "Ngapain? Itu ‘kan rumah saya!" kata­nya, seraya menunjuk pada rumah besar itu.
Oh! Saya melongo. Wah, mulai lagi nih Pak Baskoro, pikir saya, merasa ke­na dikerjai. Saya sungguh tak bisa mengerti dengan maunya beliau itu. Orang lagi enak-enak kerja malah disuruh menemui keponakannya ini. Apa sih sebetulnya maksudnya? Mau menjodohkan saya sama Nirma­la? Apa pantas? Lha wong dia sendiri 'kan tahu, saya ini siapa, dan Nirmala itu....
"Hei, hei, hei, jangan bengong!" Nirmala menggerak-gerakkan ta­ngan­nya di depan muka saya. "Ayo, masuk," ajaknya kemudian, setelah saya kembali ke alam nyata. Nah, mau bagaimana lagi saya? Ya saya tu­ruti saja ajakannya, masuk ke rumahnya yang seperti istana itu. Saya parkirkan mobil di bawah pohon rambutan di sisi kiri pekarangan ru­mah­nya. Turun dari mobil, Putri Solo – yang unik – ini dengan gem­bi­ra memeluk le­ngan kiri sa­ya, melangkah riang sambil setengah menye­ret saya memasuki rumahnya.
Di ruang tamu, saya pikir dia akan menyilakan saya duduk di situ dan kemudian memperlakukan saya sebagai tamu. Ternyata dugaan saya keliru. Ia terus menyeret saya ke sana-ke mari di dalam rumahnya, sampai ia menemukan ibunya yang lagi membereskan ruang sholat di lantai atas rumahnya itu.
"Bu, ini ada yang mau saya kenalkan sama Ibu," katanya, dari ambang pintu.
Ibunya berpaling kepada kami, memandang saya lalu tersenyum. "Sia­pa sih yang mau kamu kenalkan sama Ibu? Mahesa? Ibu sudah kenal dia, kok," katanya, sambil mendatangi kami.
"Mala tau, tapi Mahesa ‘kan belum kenal sama Ibu," sahut Nirmala. "Nah, Mahesa. Inilah Ibu saya. Dan kamu harus cium tangan sama be­liau." Saya menolehnya. Ia mengangguk menegaskan. "Iya, harus."
Saya turuti 'perintah'nya itu. "Assalammu alaykum, Bu," saya cium tangan Ibu Nirmala, mulanya dengan separuh hati. Namun kemudian saya ingat pada perkataan Pak Baskoro, bahwa semua orangtua di dalam Keluarga Besar Baskoro adalah orangtua asuh saya. Jadi, saya harus menghormati mereka semua seperti saya menghormatinya. Dan saya cium tangan pada Pak Baskoro. Maka, juga harus pada semuanya.
"Wa alaykum salam, Mahesa," Ibu Nirmala menepuk-nepuk bahu kanan sa­ya dengan lembut. "Ayo, kita ke bawah," katanya kemudian.
Ketika kami sedang menuruni tangga menuju lantai bawah, Bapak dan Ibu Baskoro memasuki ruang tamu. Pak Baskoro melangkah sambil bicara de­ngan seseorang melalui telepon genggamnya. Ia melambai saat meli­hat kami. Sedang Ibu Baskoro, langsung mengangkat tas plastik yang di­bawanya. Kami bergabung di ujung bawah tangga. Ibu Baskoro membe­ri­kan tas plastik yang dibawanya kepada Nirmala, yang menerimanya ha­nya untuk diserahkan kembali kepada saya. Mengapa ia berbuat be­gi­tu? Karena, menurut saya, ia masih ingin terus memeluk lengan kiri sa­ya!
Melihat apa yang dilakukan Nirmala barusan, Ibu Baskoro ge­leng-geleng kepala dan, "Kamu ini... lengket terus deh sama Mahesa! Nanti ta’ kawinin baru tau kamu." Lalu memandang kepada saya. "Mau kamu, Hes, punya istri galak kayak dia?"
"Pasti mau!" Nirmala yang menjawabi. "Ya, Hes, ya?"
Saya hanya menyeringai tak menentu. Habis, mau bilang apa?
"Betul kamu mau kawin sama Mahesa?" tantang Ibu Baskoro. "Bagai­ma­na, Mbakyu? Apa anakmu yang judes ini boleh saya kawinkan sama anak lanang saya ini?" Ia kemudian minta persetujuan dari Ibu Nirmala.
Dengan senyum kalem, Ibu Nirmala menjawab, "Ya kalau saya sih ter­se­rah sama anaknya saja. Kalau mereka memang mau, ya ayo kita rem­bukan."
"Nah, tuh, Hes! Gimana?" Nirmala memandang saya dengan wajah 'na­kal'nya itu.
"Biasanya yang ditanya itu yang perempuan, bukan yang laki!" Pak Bas­koro ikut bicara, sambil mengaduk-aduk poni Nirmala – sehingga gadis itu menjerit-jerit, dan kemudian marah-marah serta mengancam mengurangi jatah makan Omnya itu. Dan ternyata ancamannya itu sa­ngat manjur. Terbukti Pak Baskoro jadi segera merengek-rengek minta ampun kepadanya. Tapi waktu Nirmala sudah mengampuninya, ia malah membuat gara-gara lagi dengan, "Tumben kamu pemaaf banget, Nil. Ada apa, ya? Apa karena ada Mahesa?" Nil adalah nama panggilan Nirmala dari kecil. Namun ia melarang saya memanggilnya dengan itu. Bela­kang­an saya tahu sebabnya, yaitu karena kerabatnya sering meng­e­jek­nya dengan menambahkan kata "ce" pada nama itu, sehingga menjadi "Cenil"  nama jajanan pasar kesukaannya yang terbuat dari tepung tapioka, yang dimakan bersama parutan kelapa, gula pasir, serta garam.
Nirmala memandang pada Omnya dengan sikap mengancam. Tapi ia sama sekali tak terlihat marah. "Oh-iya, ulang tahun Om 'kan dua minggu lagi, ya? Aduh, gimana, ya... Nil kayaknya nggak bisa hadir tuh, Om. Soalnya... Nil udah ada rencana mau ngajak Mahesa jalan-jalan ke Solo. Nggak apa-apa, ‘kan?"
Pak Baskoro langsung takluk. "Wah... jangan begitu dong, Nil. Itu sabotase namanya. Terus bagaimana masakan yang kamu janjikan buat pesta ulang tahun Om?"
Nirmala mengangkat bahu tak peduli. "Beli aja dari restoran. Om ‘kan banyak duit," ujarnya kalem.
"Wah, ya nggak bisa begitu dong, Nil," lenguh Pak Baskoro. "Ayo, dong, Nil. Kamu perginya lain hari saja, ya? Nanti tiket pesawatnya ta’ beliin, deh," bujuknya. Nirmala bergeming. "Ta’ kasih uang buat beli oleh-oleh sekalian!" Penawaran meningkat. Nirmala tetap tak acuh. "Waduh, apa lagi, ya? Ah-ya, supaya kalian puas jalan-jalannya, Mahesa ta’ kasih cuti dua minggu! Boleh 'kan, Ma?" Ia minta persetujuan pada istrinya. Tapi yang didapat:
"Enak aja!" Ibu Baskoro melotot. "Nggak bisa! Dua bulan ini saya nggak bisa kasih Mahesa libur ataupun cuti."
"Wah, ya kalau begitu... matilah saya...!" Pak Baskoro putus asa.
"Kecuali...." Tiba-tiba Nirmala mengajukan syarat menggantung.
"Nah, itu yang Om tunggu!" Pak Baskoro langsung menyambar. "Apa pun syaratmu itu, Nil, Om setuju."
"Begitu? Oke, deal!" Nirmala mengangsurkan tangan pada Omnya, meng­ajak berjabatan sebagai tanda jadi atas perjanjian lisan mereka itu.
"Deal!" Pak Baskoro menyambut tangan keponakannya itu dengan ja­batan erat.
"Semua orang yang ada di sini jadi saksi, ya?" kata Nirmala.
"Setuju!" angguk Pak Baskoro.
Setelah keduanya saling melepaskan jabatan, barulah Pak Baskoro bertanya, "Apa sih syaratmu itu, Nil?"
Nirmala menggeleng. "Belum Nil pikirin."
Pak Baskoro langsung lemas. "Wah, bisa celaka ini saya...!"
Ketika kami sedang berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati ma­kan­an pembuka yang berupa roti bawang putih hangat kecil-kecil dengan mentega, Ayah Nirmala datang. "Assalammu alaykum," salamnya.
"Wa alaykum salaaam," balas kami hampir serempak, "wa rohmatullah," imbuh saya.
"Saya dengar kabar, anak gadis saya masak besar hari ini. Apa be­nar?" Ayah Nirmala ikut bergabung bersama kami, duduk di samping is­trinya.
"Benar, Romo," jawab Nirmala. "Dan... tujuan saya masak besar itu, sebetulnya mau ngenalin Mahesa ini sama Romo dan Ibu. Romo sudah ke­nal sama Mahesa?"
Ayah Nirmala memandang kepada saya, tersenyum. "Siapa yang ndak kenal sama anak emasnya Suryo Baskoro ini?" ujarnya, sambil bangkit dan mengangsurkan tangan kepada saya, mengajak berjabatan.
"Kamu juga harus cium tangan sama Romo lho, Hes," peringat Nirmala ketika saya bergerak bangkit untuk menyambut uluran tangan ayahnya.
Sebetulnya, tanpa diperintah pun saya sudah berniat untuk itu. "Assalammu alaykum, Romo." Saya cium tangan Ayah Nirmala, dengan takzim dan sepenuh hati.
"Wa alaykum salam, Mahesa." Dan seperti juga istrinya, Ayah Nir­mala menepuk-nepuk bahu kanan saya dengan lembut sewaktu saya men­cium tangannya.
Setelah itu kami kembali asyik dengan makanan pembuka. Ayah Nir­mala dilayani oleh istrinya, Pak Baskoro juga oleh istrinya, dan Sang Mahesa ini juga dilayani oleh... Nirmala. Para perempuan itu dengan cekatan membelah roti dengan pisau dan mengoleskan mentega di dalamnya, lalu menyerahkannya pada pasangannya atau dimakannya sen­di­ri. Tapi Nirmala tak serepot ibu atau tantenya, karena ia cuma me­la­kukan pekerjaan itu hanya untuk lima buah roti. Dua untuk dirinya, dan tiga untuk saya. "Udah, cukup," katanya kepada saya, ketika me­nyerahkan roti ketiga. "Kamu nggak boleh banyak-banyak makan roti ini, nanti kamu nggak bisa makan masakan saya. Saya bisa marah nanti."
Ya saya menurut saja. Memangnya harus bagaimana lagi?
Setelah sholat Dzuhur berjamaah, barulah makan siang yang 'hebat' itu dilaksanakan. Rupanya Nirmala membuat beef steak yang – masya Allah! – lezat dan empuknya. Saya sampai kekenyangan! Ya Allah, ampunilah saya karena itu. Soalnya, Nirmala menambahkan separuh dari isi hot platenya kepada saya – seperti biasa – dengan cara memaksa menyuapi saya. Dan saya jadi benar-benar merasa tidak enak dengan Pak dan Bu Baskoro serta Romo dan Ibu yang memerhatikan kami sambil ketawa-tawa geli.
Dan sejak itu, rasanya resmilah saya menjadi 'suami' Nirmala. Ar­tinya, tugas saya bertambah dengan memenuhi kewajiban terhadap Nir­mala. Dan gadis itu, dengan pintarnya seringkali memanfaatkan Bapak dan Ibu Baskoro buat menyungkil saya dari tengah timbunan peker­ja­an kantor untuk datang kepadanya. Tapi yang paling membuat saya he­ran ialah, ternyata dia punya begitu banyak alasan untuk melakukan itu.
Dia ingin berbelanja, Ibu Baskoro berteriak: "Mahesaaa!"
Dia harus ke resepsi, Bapak Baskoro berteriak: "Mahesaaa!"
Dia sakit, Bapak dan Ibu Baskoro membuat koor: "Mahesaaa!"
Dia – bahkan cuma! – butuh teman mengobrol, Ibu Baskoro teriak: "Mahesaaa!"
Dia mengambek, seluruh Keluarga Baskoro berteriak: "Mahesaaa!"
Setidaknya, tiga kali dalam seminggu dia pasti meminta saya datang kepadanya. Dan pada hari Sabtu serta Minggu, pagi-pagi dia sudah mun­cul di rumah saya untuk kemudian membereskan semuanya. Setelah itu, ka­mi berangkat ke panti asuhan dan di sana sampai habis sholat Asar.
Dia betul-betul sudah seperti istri saya saja. Menempel terus se­perti perangko! Dan itu terus berlangsung hingga berbulan-bulan, nyaris setahun, sampai akhirnya, pada suatu Jumat sore, saat saya sedang bersiap hendak pulang, Pak Baskoro memanggil saya ke ruang ker­janya. Suara dan caranya meminta saya datang kepadanya itu ter­dengar sangat tegas dan tak ingin ditolak. Maka saya buru-buru datang ke ruang kerjanya. Ibu Baskoro pun ada di sana.
Dari lokasi yang mereka pilih dalam menunggu dan menerima saya, ya­itu di kursi tamu ruang kerja Pak Baskoro, saya segera dapat memas­tikan bahwa ini bukan urusan kantor. Dan benar. Setelah Bapak dan Ibu Baskoro berbasa-basi dengan menanyakan umur, gaji, keadaan ru­mah, mobil, tentang Nirmala dan hubungan saya dengannya, serta hal-hal remeh lainnya, tiba-tiba saja Pak Baskoro membanting stir pada inti persoalan.
"Mahesa, apa pendapat kamu kalau saya melamarkan Nirmala buat kamu?"
Bahkan Ibu Baskoro jadi kaget dan seketika melotot mendengar itu. Apalagi saya? Nah, lantas saya harus bagaimana? Menjawab apa? Itu sebabnya, untuk beberapa waktu saya hanya seperti patung konyol. Tak berbunyi tapi kelihatan bingung dan salah tingkah.
"Saya harus bagaimana, Pak?" Itu yang akhirnya terlompat dari mu­lut saya.
Dengan senyum lebarnya yang khas, Pak Baskoro bilang, "Saya kira cukup wajar kalau kamu melompat, memeluk saya, mengucapkan terima kasih seribu kali, dan menyatakan 'mau, Pak, mau!' tujuh ratus kali. Lalu pingsan karena gembira. Itu bisa saya terima, dan saya juga gembira karenanya. Bagaimana?"
Saya bengong. Ibu Baskoro melotot. Pak Baskoro terkekeh-kekeh melihat kami. Pak Baskoro itu, kalau lagi serius, dia betul-betul seorang bos yang sangat berkuasa. Tapi kalau lagi mau bercanda, terkadang candaannya sama konyolnya dengan candaan orang-orang di pos ronda. Ya soalnya dia memang suka nimbrung dengan orang-orang di pos ronda, atau di pangkalan ojek, kalau lagi mau bersantai-santai ‘sebagai manusia’ – begitu biasanya ia menyebutnya.
Terus-terang, jika masalahnya tidak begini serius dan berkaitan langsung dengan masa depan, saya pasti akan ikut tertawa bersama Pak Baskoro. Namun ini soal hidup saya di hari-hari mendatang! Ini perkara memenggal ren­cana di tengah jalan! Jadi, saya rasa seringaian saya sudah cukup sebagai andil atas lelucon Pak Baskoro itu. Dan kemudian saya kata­kan kepadanya, "Tentu saja saya mau dan gembira, Pak. Khususnya ka­rena saya menyadari siapa saya dan siapa Nirmala. Tapi... rasanya saya harus meminta pertimbangan kepada Bapak dan Ibu Ma'ruf dulu. Supaya hati saya mantap dalam mengambil keputusan mengenai ini."
"Tentu saja kamu harus meminta pertimbangan sama Bapak dan Ibu Ma'­ruf, Mahesa. Tapi Ibu minta, mulai sekarang, buanglah istilah: sia­pa kamu dan siapa Nirmala itu. Sebab, pokok soal dari semua ini ialah kamu laki-laki dan Nirmala perempuan. Dan bagusnya, lelaki dan perempuan – apabila sudah ada kecocokan  sebaiknya lekas diikat dalam ta­li perkawinan. Supaya semua urusan menjadi jelas ujung-pangkalnya, dan juga pasti hukum-hukumnya. Mengerti maksud saya?"
Saya mengangguk. "Iya, Bu."
"Dan selain itu, sebaiknya mulai sekarang kamu tetapkan diri kamu pada keputusan-sikap kami ini: Bahwa kami, dengan mengabaikan isti­lah asuh atau angkat, adalah orangtua kamu. Jadi, bersikaplah kamu se­bagai anak kami. Tegakkan diri kamu di atas landasan itu. Mengerti kamu?"
Saya menggangguk lagi. "Iya, Bu. Maafkan saya."
"Nah, semuanya sudah beres, 'kan?" ujar Pak Baskoro, lega dan gem­bi­ra. "Tapi... rasanya ada yang perlu saya tahu dari sekarang, yai­tu: Kamu mau minta apa dari kami? Sebagai hadiah perkawinan kamu de­ngan Nirmala itu tentunya."
Saya memandang Pak Baskoro dengan satu pikiran jelas di dalam be­nak. "Itu artinya... saya harus menikahi Nirmala ya, Pak?" cetus sa­ya, hati-hati.
"Lha-ya, iya! Harus!" angguk Pak Baskoro, tegas. "Lha wong Mbakyu saya su­dah pingin menimang cucu, kok!"
Ibu Baskoro melotot. "Papa!"
***
Malamnya, seperti biasa, Nirmala menelepon sebelum saya berangkat tidur. Dalam percakapan kami, ia tak sedikit pun menyinggung-nying­gung soal rencana Bapak dan Ibu Baskoro terhadap kami, sehingga saya berkesimpulan bahwa skenario perkawinan kami itu bukan berasal dari­nya. Barangkali murni keinginan orangtuanya, seperti yang dikatakan Pak Baskoro tadi sore. Dan saya sendiri pun berusaha keras untuk me­na­han diri dari gejolak perasaan saya terhadapnya. Sungguh – seju­jur­nya saya akui, saya memang mencintainya – entah sejak kapan saya sebenarnya memiliki rasa itu kepadanya. Saya menginginkan dia ja­di istri saya. Dan saya sangat ingin bertanya kepadanya: Maukah ka­mu menjadi istri saya? Namun rasanya, masih ada yang mengganjal di hati saya. Itu sebabnya saya merasa perlu untuk meminta pendapat da­ri Bapak dan Ibu Ma'ruf dulu. Dan di atas segalanya, saya pun harus meminta restu dari Allah. Karena hanya Dialah yang berhak menentukan segalanya.
Maka pada tengah malam, saya tinggalkan tempat tidur dan mendi­ri­kan sholat Istikharoh - untuk memohon petunjuk dari Allah serta meng­harap restunya. Dan bagi saya, sebagai anak yatim-piatu yang se­jak kecil tidak memiliki tempat buat meminta dan mengadu, Tuhan ada­lah pusat hidup saya. Dia tempat saya mengadukan duka-gembira saya, dan Dia pula tempat saya meminta segalanya. Dan seingat saya, Dia tak pernah mengecewakan saya. Dalam segala hal. Kenyataannya, ada be­ra­pa banyak anak yatim-piatu yang seberuntung saya?
Pada malam ini, entah mengapa, saya merasa ada sesuatu yang rasa­nya tidak seperti biasanya. Saya merasa ada sesuatu yang baru. Ya, baru. Karena baru pertama kali ini saya mengalaminya. Sejak seusai ber­wudhu, saya merasakan adanya suatu 'kehadiran' yang terasa begitu dekat. Dan kendati 'kehadiran' itu tak terlihat ataupun tersentuh secara fisik, akan tetapi keberadaannya terasa amat menenteramkan hati saya. Ada se­macam rasa gembira yang mengisi dada saya karenanya. Barangkali se­perti rasa gembira seorang anak yang mendapat perhatian dari orang­tuanya. Dan perasaan itu kemudian mendorong kekhusyukan saya di dalam sholat, berdoa, dan berdzikir. Hingga tiba-tiba, di tengah dzi­kir, saya merasakan adanya suatu 'kegelapan yang indah' yang meng­alir datang dengan lembut kepada saya, untuk kemudian merangkum sa­ya. Rasanya... mungkin seperti bila seorang bocah yang lelah dan mengan­tuk membenamkan dirinya di pelukan ibunya dan memejamkan mata. Nikmat dan nyaman sekali.
Tapi itu terasa hanya sekejap. Sebab pada detik berikutnya, saya me­rasa diimbau oleh benderang pagi. Saya terjaga agak bingung. Soal­nya saya masih tetap duduk di atas sajadah. Dan saya sama sekali ti­dak bisa mengingat: Apa yang saya lakukan setelah 'kegelapan yang in­dah' itu merangkum saya? Apakah saya mengerjakan sholat-sholat sun­nah lain seperti biasanya? Apakah saya sudah sholat Subuh? Apakah saya...? Saya tidak menemukan satu jawaban pun di benak saya. Yang sa­ya ingat hanyalah datangnya 'kegelapan yang indah' itu, dan kemu­dian tiba-tiba hari telah menjadi pagi. Itu saja.
Berarti saya telah mengalami peristiwa 'lompatan waktu', yaitu an­tara lewat tengah malam hingga pecah matahari pagi. Atau, karena terlalu lelah secara fisik dan psikis sehingga saya jatuh tertidur dengan begitu pulasnya, sampai tak sempat bermimpi sama sekali? Entahlah. Namun jauh di lubuk hati yang paling dasar, saya merasa yakin telah mengalami ‘lompatan waktu’, karena saya juga merasa mendengar bi­sikan yang amat-sangat halus: "Ini kehendak Tuhanmu. Berserah diri­lah kepada-Nya." Itu cukup menenangkan saya. Maka saya pun bersikap ikhlas, pasrah, dan berserah diri atas urusan ini. Saya pergi meng­ambil wudhu lagi dan sholat Subuh! Allah tahu saya tidak bermaksud meng­abaikan waktu Subuh hingga terlambat seperti ini.
Usai sholat, berdoa dan berdzikir, saya membaca Al Quran. Namun ba­ru lima ayat saya membaca, saya mendengar derum mesin BMW yang amat saya kenal, yang berhenti di luar pekarangan rumah seperti bia­sa­nya. Beberapa saat setelah mesin dimatikan, terdengar suara pintu mobil ditutup dengan debum lembut, lalu suara decit alarm mobil. Selanjutnya adalah bunyi detak-de­tak langkah kaki yang amat saya suka pada tiap Sabtu dan Minggu pagi; Suara klotak-klotek orang membuka kunci pintu pagar, lalu ge­rit pintu pagar saat dibuka dan ditutup kembali, lantas kembali de­tak-detak langkah kaki yang merdu dan merindukan itu.
Saya bangkit dari sajadah, menyimpan Al Quran, dan melangkah kelu­ar kamar. Bel pintu berbunyi. "Ya, sebentar!" seru saya, sambil me­ma­damkan lampu teras dan taman dari sakelarnya di ruang tamu. Gadis itu memang selalu datang se­pagi ini pada tiap Sabtu dan Minggu. Dan bukan cuma datang, tapi juga sambil membawakan sarapan yang lezat buat saya!
"Kamu sholat apa jam segini?" tanya Nirmala ketika saya membukakan pintu sambil membalas salamnya, setelah mengamati saya yang masih mengenakan sarung.
"Saya ketiduran di atas sajadah," sahut saya. "Ayo, masuk." Saya ambil keranjang piknik yang dijinjingnya, lalu melangkah mendahu­lui­nya.
Setelah menutup pintu, Nirmala mengikuti saya ke ruang makan. Saya letakkan keranjang piknik itu di atas meja makan, lalu saya minta diri untuk mandi dan berganti pakaian. Nirmala hanya menanggapi dengan anggukan kecil dan gumaman, lalu sibuk membedah isi keranjang pikniknya.
Ketika saya kembali ke ruang makan, usai mandi dan berganti pakai­an, di meja makan telah tergelar hidangan sarapan yang membuat saya jadi menelan air liur. Nirmala tidak ada di sana. Entah sedang mem­be­reskan apa di rumah saya ini. Dan memang selalu ada saja yang ha­rus dibereskannya. Saya menarik kursi tempat saya biasa duduk dan hing­gap di sana dengan gembira. Tiba-tiba saja saya merasa amat la­par. Wah, hidangan ini telah merampok selera makan saya! Dan entah sudah be­rapa banyak air liur yang saya telan karenanya. Nirmala muncul di saat saya sedang mengamati hidangan itu satu per satu.
"Kamu kok kayak orang kelaparan gitu, sih?" tegurnya, seraya me­na­rik kursi langganannya dan duduk di sana. "Nggak biasanya deh kamu kayak begitu."
Saya menyeringai. "Ini ‘kan gara-gara masakan kamu," sahut saya. "Co­ba kalau masakan kamu nggak enak, saya pasti nggak bakal kayak begini."
Nirmala memandang saya lewat sudut mata sambil mencebik. Tapi saya melihat ada rasa bangga yang terpancar dari wajahnya. "Kadang-kadang kamu gombal juga, ya?" ujarnya, sembari menuang susu coklat hangat dari termos ke gelas saya.
"Gombal? Gombal bagaimana?" sanggah saya. "Saya ngomong apa ada­nya, kok. Dan kenyataannya, semua orang memang bilang begitu, ‘kan? Apa saya harus lain sendiri?"
"Kalau perlu," angguk Nirmala. "Dan kalau misalnya kamu harus lain sendiri, kamu akan bilang apa?" tanyanya kemudian, seraya menyerah­kan gelas saya yang telah diisinya dengan susu coklat hangat, lalu menatap saya. Cermat.
"Mm...," saya berpikir sebentar. "Mungkin saya akan bilang... se­le­zat apa pun masakan kamu, Mala. Tapi saya lebih suka sama kamu. Se­bab, kamu terlalu cantik untuk dibandingkan dengan apa pun!"
"Walah, gombal Mukiyo banget deh kamu!" Nirmala tertawa. Jengah tapi juga senang.
Usai sarapan, dan Nirmala selesai memeriksa keadaan seluruh rumah sa­ya – kecuali genting, kami bertolak ke panti asuhan – dengan BMW Nir­mala yang seusia dengan hubungan kami. Mobil itu memang hadiah yang dijanjikan Pak Baskoro karena Nirmala berhasil 'menggaet' saya.
Tiba di panti asuhan, seperti biasanya, Nirmalalah yang jadi pri­ma­donanya. Ia mendapat sambutan hangat dari hampir semua penghuni panti. Saya katakan hampir semua, karena ada beberapa gadis remaja – yang kata Bapak dan Ibu Ma'ruf ada perhatian kepada saya – agak men­jaga jarak kepadanya. Bisa jadi karena merasa kalah bersaing, tapi mungkin juga karena minder. Dan hingga hari ini, saya terus berjuang untuk merobohkan 'dinding masalah' di antara mereka itu. Syukurlah, Nirmala mau berendah hati dengan selalu mencoba mendekati mereka. Meski hasilnya belum bisa dikatakan melegakan, namun setidaknya per­ubahan telah ada. Dan itu sudah cukup baik.
Saat Nirmala mulai sibuk dengan penggemarnya, saya buru-buru minta izin kepadanya untuk pergi menemui Bapak dan Ibu Ma'ruf di rumahnya yang terletak di seberang jalan. Gadis itu mengangguk dan memandang saya dengan tatapan tak biasanya. Tapi saya tidak mau memikirkannya terlalu jauh. Soalnya di kepala saya lagi banyak hal-hal yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu Ma'ruf. Dan saya tak mau konsen­trasi saya terpecah dari situ.
Bagai biasanya, Bapak dan Ibu Ma'ruf menyambut saya dengan gem­bi­ra. Meski mereka memang selalu bersikap begitu kepada semua anak asuhannya, tapi saya sering merasa bahwa kebaikan dan kasih-sayang mereka terhadap saya, melebihi dari yang mereka berikan kepada yang lain. Mungkin itu hanya perasaan saya saja. Tapi saya tak peduli. Saya suka dengan perasaan itu.
"Kelihatannya ada yang sangat penting hari ini, Mahesa," kata Pak Ma'ruf, setelah kami berbincang kian ke mari mengenai banyak hal, me­nembak saya. Dan saya memang merasa kena tembak. Ibu Ma'ruf me­mandang saya dengan senyum lembutnya.
"Eh... iya, Pak, Bu...." Saya agak salah tingkah jadinya. "Anu... sebetulnya maksud kedatangan saya ini... untuk minta pendapat dari Bapak dan Ibu."
"Insya Allah. Mengenai apa?" Pak Ma'ruf menuntun dengan lembut dan arif.
"Bapak dan Ibu Baskoro bermaksud menikahkan saya dengan Nirmala, Pak, Bu."
"Alhamdulillah...." ujar Bapak dan Ibu Ma'ruf, hampir berbareng. Wajah mereka seketika bersinar cerah.
"Itu berita yang sangat bagus, Hes," ungkap Pak Ma'ruf kemudian, gembira. "Lalu apa yang bisa Bapak dan Ibu lakukan buat kamu?"
"Ya... yang terutama, Pak, saya ingin pendapat Bapak dan Ibu: Apa­kah saya ini pantas untuk menjadi suami Nirmala?"
Dahi Pak Ma'ruf seketika penuh kerutan. Juga Ibu Ma'ruf.
"Pantas? Apa yang membuat kamu merasa tidak pantas untuk menjadi sua­mi Nirmala?" tanya Pak Ma'ruf, langsung.
"Ya... karena dia anak orang kaya, dari keluarga baik-baik, dan jelas asal-usulnya. Sedangkan saya...."
Pak Ma'ruf menggeleng-geleng. "Tidak, Mahesa. Kamu jangan terlalu kejam dengan diri sendiri seperti itu. Menjadi yatim-piatu itu bukan suatu dosa, Mahesa. Dan menjadi penghuni panti asuhan itu bukan sua­tu aib. Itu adalah kenyataan hidup yang harus dijalani oleh yang meng­alaminya. Bukan salah kamu kalau kamu tidak punya orangtua se­per­ti umumnya seorang anak." Ia menghela napas panjang, lalu membe­nahi duduknya. "Ingat, Mahesa. Allah menciptakan alam semesta ini untuk se­mua makhluk ciptaan-Nya. Semuanya. Tidak ada pengecualian. Yang ba­ik, yang terhormat, yang jahat, atau pun yang bergelimang lumpur na­jis, semuanya punya hak yang sama atas alam ciptaan-Nya ini. Hanya Allah yang berhak menetapkan ukuran-ukuran kepada semua makhluk-Nya. Selain Dia, siapa pun patut disebut sombong dan durhaka bila berani mela­kukan itu. Mengerti kamu?"
"Iya, Pak," angguk saya. Dan itu membuat semuanya jadi jelas. Pak Ma'ruf setuju dengan rencana Bapak dan Ibu Baskoro. Dia setuju saya menikahi Nirmala. Itu membuat semua masalah yang memenuhi benak saya jadi terangkat dan lenyap.
"Nah, masalahnya sekarang, kamunya sendiri bagaimana? Apa kamu mau memperistri gadis itu?" tanya Pak Ma'ruf kemudian.
Saya mengangguk malu-malu. "Tentu saja saya mau, Pak."
"Nah!" Pak Ma'ruf menunjuk saya dengan wajah seketika cerah. "Itu­lah pintarnya kamu!" Lalu ia tertawa. Ibu Ma'ruf juga turut tertawa gembira bersamanya.
Jadi, sekarang semuanya sudah jelas. Orangtua Nirmala menghendaki, Bapak dan Ibu Baskoro mendukung, lalu Bapak dan Ibu Ma'ruf pun setu­ju. Beres. Tapi, bagaimana dengan Nirmala sendiri? Nah, ini yang akhirnya terasa paling berat buat saya. Soalnya, terus-terang, saya sangat takut kalau Nirmala justru tidak mau. Padahal saya tak ingin ia harus dipaksa-paksa untuk mau menjadi istri saya. Apa bagusnya punya istri hasil pemaksaan?
Maka, ketika kami telah di rumah kembali, saya memberanikan diri untuk bertanya langsung kepadanya: "Maafkan saya, Mala. Rasanya... saya lagi nggak punya pilihan lain. Jadi... saya harus menanyakan ini sama kamu. Apa kamu... mau menjadi istri saya?"
Untuk beberapa saat Nirmala hanya memandang saya. Ia lalu melang­kah mendekat dan dengan lembut memeluk saya. "Saya kira, saya nggak akan pernah mendapat pertanyaan seperti itu dari kamu, Hes," katanya, pelan. "Sa­ya mau, tentu saja saya mau."
Nah! Itulah beruntungnya saya!
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.