(Sambungan dari bagian 2)
Dua hari kemudian, saat saya sedang mempelajari hasil survei pemasaran
salah satu produk anak perusahaan yang dinilai kurang memuaskan, Pak Baskoro
menelepon saya. Dari luar kantor. Sepertinya dari mobil. Soalnya lamat-lamat,
saya juga mendengar suara Ibu Baskoro, lagi marah-marah pada orang yang
diteleponnya.
"Mahesa, kamu sedang apa?" tanya Pak Baskoro.
"Sedang mempelajari hasil survei dari Ibu, Pak," jawab saya.
"Bisa kamu tinggalkan sebentar, ‘kan?" Saya mengiyakan.
"Kalau begitu, segera kamu pergi ke alamat ini...." Ia lalu
membacakan alamat yang harus saya tuju. Saya cepat-cepat mencatatnya.
"Sudah dicatat? Oke, nanti kita ketemu di sana. Dan sebaiknya kamu berangkat
sekarang. Assalammu alaykum."
Memerhatikan nada suara dan penggunaan kalimat-kalimatnya, ini pasti
masalah yang sangat penting serta mendesak. Maka, setelah membereskan
berkas-berkas hasil survei dan menyimpannya, saya segera berangkat. Tiga puluh
lima menit kemudian, saya sudah menemukan alamat yang saya tuju. Saya
parkirkan mobil di pinggir jalan, di luar pagar halaman rumah besar itu.
Ketika turun, saya melihat-lihat pada mobil-mobil yang di parkir di depan
teras dan jalan yang melingkari taman depan rumah itu. Saya tak melihat mobil
Bapak atau Ibu Baskoro. Berarti mereka belum datang, pikir saya. Dan itu
membuat saya bingung, apakah saya harus masuk atau menunggu di luar saja?
Namun kemudian saya berkeputusan untuk menunggu di luar saja, di dalam mobil,
membaca e-book di tablet pemberian Ibu Baskoro sambil mendengarkan musik. Akan
tetapi, belum lagi satu halaman usai saya baca. Tahu-tahu muncul seraut wajah
di jendela kiri mobil. Saya kaget dan bingung melihatnya. Ia memberi isyarat
agar saya membukakan kunci pintu mobil, dan ia lantas membuka pintu lalu masuk,
setelah kunci pintu saya buka.
"Assalammu alaykum," salamnya, sambil duduk.
"Wa alaykum salam wa rohmatullah. Lho, ngapain kamu di sini?" tanya saya.
Nirmala mengerutkan dahinya. "Ngapain? Itu ‘kan rumah saya!" katanya,
seraya menunjuk pada rumah besar itu.
Oh! Saya melongo. Wah, mulai lagi nih Pak Baskoro, pikir
saya, merasa kena dikerjai. Saya sungguh tak bisa mengerti dengan maunya
beliau itu. Orang lagi enak-enak kerja malah disuruh menemui keponakannya ini.
Apa sih sebetulnya maksudnya? Mau menjodohkan saya sama Nirmala?
Apa pantas? Lha wong dia sendiri 'kan tahu, saya ini siapa,
dan Nirmala itu....
"Hei, hei, hei, jangan bengong!" Nirmala menggerak-gerakkan tangannya
di depan muka saya. "Ayo, masuk," ajaknya kemudian, setelah saya
kembali ke alam nyata. Nah, mau bagaimana lagi saya? Ya saya turuti saja
ajakannya, masuk ke rumahnya yang seperti istana itu. Saya parkirkan mobil di
bawah pohon rambutan di sisi kiri pekarangan rumahnya. Turun dari mobil,
Putri Solo – yang unik – ini dengan gembira memeluk lengan kiri saya,
melangkah riang sambil setengah menyeret saya memasuki rumahnya.
Di ruang tamu, saya pikir dia akan menyilakan saya duduk di situ dan
kemudian memperlakukan saya sebagai tamu. Ternyata dugaan saya keliru. Ia terus
menyeret saya ke sana-ke mari di dalam rumahnya, sampai ia menemukan ibunya
yang lagi membereskan ruang sholat di lantai atas rumahnya itu.
"Bu, ini ada yang mau saya kenalkan sama Ibu," katanya, dari
ambang pintu.
Ibunya berpaling kepada kami, memandang saya lalu tersenyum. "Siapa
sih yang mau kamu kenalkan sama Ibu? Mahesa? Ibu sudah kenal dia, kok,"
katanya, sambil mendatangi kami.
"Mala tau, tapi Mahesa ‘kan belum kenal sama Ibu," sahut Nirmala.
"Nah, Mahesa. Inilah Ibu saya. Dan kamu harus cium tangan sama beliau."
Saya menolehnya. Ia mengangguk menegaskan. "Iya, harus."
Saya turuti 'perintah'nya itu. "Assalammu alaykum, Bu," saya cium
tangan Ibu Nirmala, mulanya dengan separuh hati. Namun kemudian saya ingat pada perkataan Pak Baskoro, bahwa semua orangtua di dalam Keluarga Besar Baskoro adalah orangtua asuh saya. Jadi, saya harus menghormati mereka semua seperti saya menghormatinya. Dan saya cium tangan pada Pak Baskoro. Maka, juga harus pada semuanya.
"Wa alaykum salam, Mahesa," Ibu Nirmala menepuk-nepuk bahu kanan
saya dengan lembut. "Ayo, kita ke bawah," katanya kemudian.
Ketika kami sedang menuruni tangga menuju lantai bawah, Bapak dan Ibu
Baskoro memasuki ruang tamu. Pak Baskoro melangkah sambil bicara dengan
seseorang melalui telepon genggamnya. Ia melambai saat melihat kami. Sedang
Ibu Baskoro, langsung mengangkat tas plastik yang dibawanya. Kami bergabung di
ujung bawah tangga. Ibu Baskoro memberikan tas plastik yang dibawanya kepada
Nirmala, yang menerimanya hanya untuk diserahkan kembali kepada saya. Mengapa
ia berbuat begitu? Karena, menurut saya, ia masih ingin terus memeluk lengan
kiri saya!
Melihat apa yang dilakukan Nirmala barusan, Ibu Baskoro geleng-geleng
kepala dan, "Kamu ini... lengket terus deh sama Mahesa! Nanti ta’ kawinin
baru tau kamu." Lalu memandang kepada saya. "Mau kamu, Hes, punya
istri galak kayak dia?"
"Pasti mau!" Nirmala yang menjawabi. "Ya, Hes, ya?"
Saya hanya menyeringai tak menentu. Habis, mau bilang apa?
"Betul kamu mau kawin sama Mahesa?" tantang Ibu Baskoro.
"Bagaimana, Mbakyu? Apa anakmu yang judes ini boleh saya kawinkan sama
anak lanang saya ini?" Ia kemudian minta persetujuan dari Ibu Nirmala.
Dengan senyum kalem, Ibu Nirmala menjawab, "Ya kalau saya sih terserah
sama anaknya saja. Kalau mereka memang mau, ya ayo kita rembukan."
"Nah, tuh, Hes! Gimana?" Nirmala memandang saya dengan wajah 'nakal'nya
itu.
"Biasanya yang ditanya itu yang perempuan, bukan yang laki!" Pak
Baskoro ikut bicara, sambil mengaduk-aduk poni Nirmala – sehingga gadis itu
menjerit-jerit, dan kemudian marah-marah serta mengancam mengurangi jatah makan
Omnya itu. Dan ternyata ancamannya itu sangat manjur. Terbukti Pak Baskoro
jadi segera merengek-rengek minta ampun kepadanya. Tapi waktu Nirmala sudah
mengampuninya, ia malah membuat gara-gara lagi dengan, "Tumben kamu pemaaf
banget, Nil. Ada apa, ya? Apa karena ada Mahesa?" Nil adalah nama
panggilan Nirmala dari kecil. Namun ia melarang saya memanggilnya dengan itu.
Belakangan saya tahu sebabnya, yaitu karena kerabatnya sering mengejeknya
dengan menambahkan kata "ce" pada nama itu, sehingga menjadi
"Cenil" – nama jajanan pasar kesukaannya yang terbuat dari tepung tapioka, yang
dimakan bersama parutan kelapa, gula pasir, serta garam.
Nirmala memandang pada Omnya dengan sikap mengancam. Tapi ia sama sekali
tak terlihat marah. "Oh-iya, ulang tahun Om 'kan dua minggu lagi, ya?
Aduh, gimana, ya... Nil kayaknya nggak bisa hadir tuh, Om. Soalnya... Nil udah
ada rencana mau ngajak Mahesa jalan-jalan ke Solo. Nggak apa-apa, ‘kan?"
Pak Baskoro langsung takluk. "Wah... jangan begitu dong, Nil. Itu
sabotase namanya. Terus bagaimana masakan yang kamu janjikan buat pesta ulang
tahun Om?"
Nirmala mengangkat bahu tak peduli. "Beli aja dari restoran. Om ‘kan
banyak duit," ujarnya kalem.
"Wah, ya nggak bisa begitu dong, Nil," lenguh Pak Baskoro.
"Ayo, dong, Nil. Kamu perginya lain hari saja, ya? Nanti tiket pesawatnya
ta’ beliin, deh," bujuknya. Nirmala bergeming. "Ta’ kasih uang buat
beli oleh-oleh sekalian!" Penawaran meningkat. Nirmala tetap tak acuh.
"Waduh, apa lagi, ya? Ah-ya, supaya kalian puas jalan-jalannya, Mahesa ta’
kasih cuti dua minggu! Boleh 'kan, Ma?" Ia minta persetujuan pada istrinya.
Tapi yang didapat:
"Enak aja!" Ibu Baskoro melotot. "Nggak bisa! Dua bulan ini
saya nggak bisa kasih Mahesa libur ataupun cuti."
"Wah, ya kalau begitu... matilah saya...!" Pak Baskoro putus asa.
"Kecuali...." Tiba-tiba Nirmala mengajukan syarat menggantung.
"Nah, itu yang Om tunggu!" Pak Baskoro langsung menyambar.
"Apa pun syaratmu itu, Nil, Om setuju."
"Begitu? Oke, deal!" Nirmala mengangsurkan tangan pada
Omnya, mengajak berjabatan sebagai tanda jadi atas perjanjian lisan mereka
itu.
"Deal!" Pak Baskoro menyambut tangan keponakannya itu
dengan jabatan erat.
"Semua orang yang ada di sini jadi saksi, ya?" kata Nirmala.
"Setuju!" angguk Pak Baskoro.
Setelah keduanya saling melepaskan jabatan, barulah Pak Baskoro bertanya,
"Apa sih syaratmu itu, Nil?"
Nirmala menggeleng. "Belum Nil pikirin."
Pak Baskoro langsung lemas. "Wah, bisa celaka ini saya...!"
Ketika kami sedang berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati makanan
pembuka yang berupa roti bawang putih hangat kecil-kecil dengan mentega, Ayah Nirmala
datang. "Assalammu alaykum," salamnya.
"Wa alaykum salaaam," balas kami hampir serempak, "wa rohmatullah," imbuh saya.
"Saya dengar kabar, anak gadis saya masak besar hari ini. Apa benar?"
Ayah Nirmala ikut bergabung bersama kami, duduk di samping istrinya.
"Benar, Romo," jawab Nirmala. "Dan... tujuan saya masak
besar itu, sebetulnya mau ngenalin Mahesa ini sama Romo dan Ibu. Romo sudah kenal
sama Mahesa?"
Ayah Nirmala memandang kepada saya, tersenyum. "Siapa yang ndak kenal
sama anak emasnya Suryo Baskoro ini?" ujarnya, sambil bangkit dan
mengangsurkan tangan kepada saya, mengajak berjabatan.
"Kamu juga harus cium tangan sama Romo lho, Hes," peringat
Nirmala ketika saya bergerak bangkit untuk menyambut uluran tangan ayahnya.
Sebetulnya, tanpa diperintah pun saya sudah berniat untuk itu. "Assalammu alaykum,
Romo." Saya cium tangan Ayah Nirmala, dengan takzim dan sepenuh hati.
"Wa alaykum salam, Mahesa." Dan seperti juga istrinya, Ayah Nirmala
menepuk-nepuk bahu kanan saya dengan lembut sewaktu saya mencium tangannya.
Setelah itu kami kembali asyik dengan makanan pembuka. Ayah Nirmala
dilayani oleh istrinya, Pak Baskoro juga oleh istrinya, dan Sang Mahesa ini
juga dilayani oleh... Nirmala. Para perempuan itu dengan cekatan membelah roti
dengan pisau dan mengoleskan mentega di dalamnya, lalu menyerahkannya pada
pasangannya atau dimakannya sendiri. Tapi Nirmala tak serepot ibu atau
tantenya, karena ia cuma melakukan pekerjaan itu hanya untuk lima buah roti.
Dua untuk dirinya, dan tiga untuk saya. "Udah, cukup," katanya kepada
saya, ketika menyerahkan roti ketiga. "Kamu nggak boleh banyak-banyak
makan roti ini, nanti kamu nggak bisa makan masakan saya. Saya bisa marah
nanti."
Ya saya menurut saja. Memangnya harus bagaimana lagi?
Setelah sholat Dzuhur berjamaah, barulah makan siang yang 'hebat' itu
dilaksanakan. Rupanya Nirmala membuat beef steak yang – masya
Allah! – lezat dan empuknya. Saya sampai kekenyangan! Ya Allah, ampunilah saya karena
itu. Soalnya, Nirmala menambahkan separuh dari isi hot platenya
kepada saya – seperti biasa – dengan cara memaksa menyuapi saya. Dan saya jadi
benar-benar merasa tidak enak dengan Pak dan Bu Baskoro serta Romo dan Ibu yang
memerhatikan kami sambil ketawa-tawa geli.
Dan sejak itu, rasanya resmilah saya menjadi 'suami' Nirmala. Artinya,
tugas saya bertambah dengan memenuhi kewajiban terhadap Nirmala. Dan gadis
itu, dengan pintarnya seringkali memanfaatkan Bapak dan Ibu Baskoro buat
menyungkil saya dari tengah timbunan pekerjaan kantor untuk datang kepadanya.
Tapi yang paling membuat saya heran ialah, ternyata dia punya begitu banyak
alasan untuk melakukan itu.
Dia ingin berbelanja, Ibu Baskoro berteriak: "Mahesaaa!"
Dia harus ke resepsi, Bapak Baskoro berteriak: "Mahesaaa!"
Dia sakit, Bapak dan Ibu Baskoro membuat koor: "Mahesaaa!"
Dia – bahkan cuma! – butuh teman mengobrol, Ibu Baskoro teriak:
"Mahesaaa!"
Dia mengambek, seluruh Keluarga Baskoro berteriak: "Mahesaaa!"
Setidaknya, tiga kali dalam seminggu dia pasti meminta saya datang kepadanya.
Dan pada hari Sabtu serta Minggu, pagi-pagi dia sudah muncul di rumah saya
untuk kemudian membereskan semuanya. Setelah itu, kami berangkat ke panti
asuhan dan di sana sampai habis sholat Asar.
Dia betul-betul sudah seperti istri saya saja. Menempel terus seperti
perangko! Dan itu terus berlangsung hingga berbulan-bulan, nyaris setahun,
sampai akhirnya, pada suatu Jumat sore, saat saya sedang bersiap hendak pulang,
Pak Baskoro memanggil saya ke ruang kerjanya. Suara dan caranya meminta saya
datang kepadanya itu terdengar sangat tegas dan tak ingin ditolak. Maka saya
buru-buru datang ke ruang kerjanya. Ibu Baskoro pun ada di sana.
Dari lokasi yang mereka pilih dalam menunggu dan menerima saya, yaitu di
kursi tamu ruang kerja Pak Baskoro, saya segera dapat memastikan bahwa ini
bukan urusan kantor. Dan benar. Setelah Bapak dan Ibu Baskoro berbasa-basi
dengan menanyakan umur, gaji, keadaan rumah, mobil, tentang Nirmala dan
hubungan saya dengannya, serta hal-hal remeh lainnya, tiba-tiba saja Pak Baskoro
membanting stir pada inti persoalan.
"Mahesa, apa pendapat kamu kalau saya melamarkan Nirmala buat
kamu?"
Bahkan Ibu Baskoro jadi kaget dan seketika melotot mendengar itu. Apalagi
saya? Nah, lantas saya harus bagaimana? Menjawab apa? Itu sebabnya, untuk
beberapa waktu saya hanya seperti patung konyol. Tak berbunyi tapi kelihatan
bingung dan salah tingkah.
"Saya harus bagaimana, Pak?" Itu yang akhirnya terlompat dari mulut
saya.
Dengan senyum lebarnya yang khas, Pak Baskoro bilang, "Saya kira cukup
wajar kalau kamu melompat, memeluk saya, mengucapkan terima kasih seribu kali,
dan menyatakan 'mau, Pak, mau!' tujuh ratus kali. Lalu pingsan karena gembira.
Itu bisa saya terima, dan saya juga gembira karenanya. Bagaimana?"
Saya bengong. Ibu Baskoro melotot. Pak Baskoro terkekeh-kekeh melihat kami.
Pak Baskoro itu, kalau lagi serius, dia betul-betul seorang bos yang sangat
berkuasa. Tapi kalau lagi mau bercanda, terkadang candaannya sama konyolnya
dengan candaan orang-orang di pos ronda. Ya soalnya dia memang suka nimbrung
dengan orang-orang di pos ronda, atau di pangkalan ojek, kalau lagi mau
bersantai-santai ‘sebagai manusia’ – begitu biasanya ia menyebutnya.
Terus-terang, jika masalahnya tidak begini serius dan berkaitan langsung
dengan masa depan, saya pasti akan ikut tertawa bersama Pak Baskoro. Namun ini
soal hidup saya di hari-hari mendatang! Ini perkara memenggal rencana di
tengah jalan! Jadi, saya rasa seringaian saya sudah cukup sebagai andil atas
lelucon Pak Baskoro itu. Dan kemudian saya katakan kepadanya, "Tentu saja
saya mau dan gembira, Pak. Khususnya karena saya menyadari siapa saya dan
siapa Nirmala. Tapi... rasanya saya harus meminta pertimbangan kepada Bapak dan
Ibu Ma'ruf dulu. Supaya hati saya mantap dalam mengambil keputusan mengenai ini."
"Tentu saja kamu harus meminta pertimbangan sama Bapak dan Ibu Ma'ruf,
Mahesa. Tapi Ibu minta, mulai sekarang, buanglah istilah: siapa kamu dan siapa
Nirmala itu. Sebab, pokok soal dari semua ini ialah kamu laki-laki dan Nirmala
perempuan. Dan bagusnya, lelaki dan perempuan – apabila sudah ada kecocokan – sebaiknya lekas diikat dalam tali perkawinan. Supaya semua urusan menjadi
jelas ujung-pangkalnya, dan juga pasti hukum-hukumnya. Mengerti maksud
saya?"
Saya mengangguk. "Iya, Bu."
"Dan selain itu, sebaiknya mulai sekarang kamu tetapkan diri kamu pada
keputusan-sikap kami ini: Bahwa kami, dengan mengabaikan istilah asuh atau
angkat, adalah orangtua kamu. Jadi, bersikaplah kamu sebagai anak kami.
Tegakkan diri kamu di atas landasan itu. Mengerti kamu?"
Saya menggangguk lagi. "Iya, Bu. Maafkan
saya."
"Nah, semuanya sudah beres, 'kan?" ujar Pak Baskoro, lega dan gembira.
"Tapi... rasanya ada yang perlu saya tahu dari sekarang, yaitu: Kamu mau
minta apa dari kami? Sebagai hadiah perkawinan kamu dengan Nirmala itu
tentunya."
Saya memandang Pak Baskoro dengan satu pikiran jelas di dalam benak.
"Itu artinya... saya harus menikahi Nirmala ya, Pak?" cetus saya,
hati-hati.
"Lha-ya, iya! Harus!" angguk Pak Baskoro, tegas. "Lha wong
Mbakyu saya sudah pingin menimang cucu, kok!"
Ibu Baskoro melotot. "Papa!"
***
Malamnya, seperti biasa, Nirmala menelepon sebelum saya berangkat tidur.
Dalam percakapan kami, ia tak sedikit pun menyinggung-nyinggung soal rencana
Bapak dan Ibu Baskoro terhadap kami, sehingga saya berkesimpulan bahwa skenario
perkawinan kami itu bukan berasal darinya. Barangkali murni keinginan
orangtuanya, seperti yang dikatakan Pak Baskoro tadi sore. Dan saya sendiri pun
berusaha keras untuk menahan diri dari gejolak perasaan saya terhadapnya.
Sungguh – sejujurnya saya akui, saya memang mencintainya – entah sejak kapan
saya sebenarnya memiliki rasa itu kepadanya. Saya menginginkan dia jadi istri
saya. Dan saya sangat ingin bertanya kepadanya: Maukah kamu menjadi istri
saya? Namun rasanya, masih ada yang mengganjal di hati saya. Itu sebabnya saya
merasa perlu untuk meminta pendapat dari Bapak dan Ibu Ma'ruf dulu. Dan di
atas segalanya, saya pun harus meminta restu dari Allah. Karena hanya Dialah
yang berhak menentukan segalanya.
Maka pada tengah malam, saya tinggalkan tempat tidur dan mendirikan
sholat Istikharoh - untuk memohon petunjuk dari Allah serta mengharap
restunya. Dan bagi saya, sebagai anak yatim-piatu yang sejak kecil tidak
memiliki tempat buat meminta dan mengadu, Tuhan adalah pusat hidup saya. Dia
tempat saya mengadukan duka-gembira saya, dan Dia pula tempat saya meminta
segalanya. Dan seingat saya, Dia tak pernah mengecewakan saya. Dalam segala
hal. Kenyataannya, ada berapa banyak anak yatim-piatu yang seberuntung saya?
Pada malam ini, entah mengapa, saya merasa ada sesuatu yang rasanya tidak
seperti biasanya. Saya merasa ada sesuatu yang baru. Ya, baru. Karena baru
pertama kali ini saya mengalaminya. Sejak seusai berwudhu, saya merasakan
adanya suatu 'kehadiran' yang terasa begitu dekat. Dan kendati 'kehadiran' itu
tak terlihat ataupun tersentuh secara fisik, akan tetapi keberadaannya terasa
amat menenteramkan hati saya. Ada semacam rasa gembira yang mengisi dada saya
karenanya. Barangkali seperti rasa gembira seorang anak yang mendapat
perhatian dari orangtuanya. Dan perasaan itu kemudian mendorong kekhusyukan
saya di dalam sholat, berdoa, dan berdzikir. Hingga tiba-tiba, di tengah dzikir,
saya merasakan adanya suatu 'kegelapan yang indah' yang mengalir datang dengan
lembut kepada saya, untuk kemudian merangkum saya. Rasanya... mungkin seperti
bila seorang bocah yang lelah dan mengantuk membenamkan dirinya di pelukan
ibunya dan memejamkan mata. Nikmat dan nyaman sekali.
Tapi itu terasa hanya sekejap. Sebab pada detik berikutnya, saya merasa
diimbau oleh benderang pagi. Saya terjaga agak bingung. Soalnya saya masih
tetap duduk di atas sajadah. Dan saya sama sekali tidak bisa mengingat: Apa
yang saya lakukan setelah 'kegelapan yang indah' itu merangkum saya? Apakah
saya mengerjakan sholat-sholat sunnah lain seperti biasanya? Apakah saya sudah
sholat Subuh? Apakah saya...? Saya tidak menemukan satu jawaban pun di benak
saya. Yang saya ingat hanyalah datangnya 'kegelapan yang indah' itu, dan kemudian
tiba-tiba hari telah menjadi pagi. Itu saja.
Berarti saya telah mengalami peristiwa 'lompatan waktu', yaitu antara
lewat tengah malam hingga pecah matahari pagi. Atau, karena terlalu lelah
secara fisik dan psikis sehingga saya jatuh tertidur dengan begitu pulasnya,
sampai tak sempat bermimpi sama sekali? Entahlah. Namun jauh di lubuk hati yang
paling dasar, saya merasa yakin telah mengalami ‘lompatan waktu’, karena saya
juga merasa mendengar bisikan yang amat-sangat halus: "Ini kehendak
Tuhanmu. Berserah dirilah kepada-Nya." Itu cukup menenangkan saya. Maka
saya pun bersikap ikhlas, pasrah, dan berserah diri atas urusan ini. Saya pergi
mengambil wudhu lagi dan sholat Subuh! Allah tahu saya tidak bermaksud mengabaikan
waktu Subuh hingga terlambat seperti ini.
Usai sholat, berdoa dan berdzikir, saya membaca Al Quran. Namun baru lima
ayat saya membaca, saya mendengar derum mesin BMW yang amat saya kenal, yang
berhenti di luar pekarangan rumah seperti biasanya. Beberapa saat setelah
mesin dimatikan, terdengar suara pintu mobil ditutup dengan debum lembut, lalu
suara decit alarm mobil. Selanjutnya adalah bunyi detak-detak langkah kaki
yang amat saya suka pada tiap Sabtu dan Minggu pagi; Suara klotak-klotek orang
membuka kunci pintu pagar, lalu gerit pintu pagar saat dibuka dan ditutup
kembali, lantas kembali detak-detak langkah kaki yang merdu dan merindukan
itu.
Saya bangkit dari sajadah, menyimpan Al Quran, dan melangkah keluar kamar.
Bel pintu berbunyi. "Ya, sebentar!" seru saya, sambil memadamkan
lampu teras dan taman dari sakelarnya di ruang tamu. Gadis itu memang
selalu datang sepagi ini pada tiap Sabtu dan Minggu. Dan bukan cuma datang,
tapi juga sambil membawakan sarapan yang lezat buat saya!
"Kamu sholat apa jam segini?" tanya Nirmala ketika saya
membukakan pintu sambil membalas salamnya, setelah mengamati saya yang masih
mengenakan sarung.
"Saya ketiduran di atas sajadah," sahut saya. "Ayo,
masuk." Saya ambil keranjang piknik yang dijinjingnya, lalu melangkah
mendahuluinya.
Setelah menutup pintu, Nirmala mengikuti saya ke ruang makan. Saya letakkan
keranjang piknik itu di atas meja makan, lalu saya minta diri untuk mandi dan
berganti pakaian. Nirmala hanya menanggapi dengan anggukan kecil dan gumaman,
lalu sibuk membedah isi keranjang pikniknya.
Ketika saya kembali ke ruang makan, usai mandi dan berganti pakaian, di
meja makan telah tergelar hidangan sarapan yang membuat saya jadi menelan air
liur. Nirmala tidak ada di sana. Entah sedang membereskan apa di rumah saya
ini. Dan memang selalu ada saja yang harus dibereskannya. Saya menarik kursi
tempat saya biasa duduk dan hinggap di sana dengan gembira. Tiba-tiba saja
saya merasa amat lapar. Wah, hidangan ini telah merampok selera makan saya!
Dan entah sudah berapa banyak air liur yang saya telan karenanya. Nirmala
muncul di saat saya sedang mengamati hidangan itu satu per satu.
"Kamu kok kayak orang kelaparan gitu, sih?" tegurnya, seraya menarik
kursi langganannya dan duduk di sana. "Nggak biasanya deh kamu kayak
begitu."
Saya menyeringai. "Ini ‘kan gara-gara masakan kamu," sahut saya.
"Coba kalau masakan kamu nggak enak, saya pasti nggak bakal kayak
begini."
Nirmala memandang saya lewat sudut mata sambil mencebik. Tapi saya melihat
ada rasa bangga yang terpancar dari wajahnya. "Kadang-kadang kamu gombal
juga, ya?" ujarnya, sembari menuang susu coklat hangat dari termos ke
gelas saya.
"Gombal? Gombal bagaimana?" sanggah saya. "Saya ngomong apa
adanya, kok. Dan kenyataannya, semua orang memang bilang begitu, ‘kan? Apa
saya harus lain sendiri?"
"Kalau perlu," angguk Nirmala. "Dan kalau misalnya kamu
harus lain sendiri, kamu akan bilang apa?" tanyanya kemudian, seraya
menyerahkan gelas saya yang telah diisinya dengan susu coklat hangat, lalu
menatap saya. Cermat.
"Mm...," saya berpikir sebentar. "Mungkin saya akan
bilang... selezat apa pun masakan kamu, Mala. Tapi saya lebih suka sama kamu.
Sebab, kamu terlalu cantik untuk dibandingkan dengan apa pun!"
"Walah, gombal Mukiyo banget deh kamu!" Nirmala tertawa. Jengah tapi juga senang.
Usai sarapan, dan Nirmala selesai memeriksa keadaan seluruh rumah saya –
kecuali genting, kami bertolak ke panti asuhan – dengan BMW Nirmala yang
seusia dengan hubungan kami. Mobil itu memang hadiah yang dijanjikan Pak
Baskoro karena Nirmala berhasil 'menggaet' saya.
Tiba di panti asuhan, seperti biasanya, Nirmalalah yang jadi primadonanya.
Ia mendapat sambutan hangat dari hampir semua penghuni panti. Saya katakan
hampir semua, karena ada beberapa gadis remaja – yang kata Bapak dan Ibu Ma'ruf
ada perhatian kepada saya – agak menjaga jarak kepadanya. Bisa jadi karena
merasa kalah bersaing, tapi mungkin juga karena minder. Dan hingga hari ini,
saya terus berjuang untuk merobohkan 'dinding masalah' di antara mereka itu.
Syukurlah, Nirmala mau berendah hati dengan selalu mencoba mendekati mereka.
Meski hasilnya belum bisa dikatakan melegakan, namun setidaknya perubahan
telah ada. Dan itu sudah cukup baik.
Saat Nirmala mulai sibuk dengan penggemarnya, saya buru-buru minta izin
kepadanya untuk pergi menemui Bapak dan Ibu Ma'ruf di rumahnya yang terletak di
seberang jalan. Gadis itu mengangguk dan memandang saya dengan tatapan tak
biasanya. Tapi saya tidak mau memikirkannya terlalu jauh. Soalnya di kepala
saya lagi banyak hal-hal yang ingin saya bicarakan dengan Bapak dan Ibu Ma'ruf.
Dan saya tak mau konsentrasi saya terpecah dari situ.
Bagai biasanya, Bapak dan Ibu Ma'ruf menyambut saya dengan gembira. Meski
mereka memang selalu bersikap begitu kepada semua anak asuhannya, tapi saya
sering merasa bahwa kebaikan dan kasih-sayang mereka terhadap saya, melebihi
dari yang mereka berikan kepada yang lain. Mungkin itu hanya perasaan saya
saja. Tapi saya tak peduli. Saya suka dengan perasaan itu.
"Kelihatannya ada yang sangat penting hari ini, Mahesa," kata Pak
Ma'ruf, setelah kami berbincang kian ke mari mengenai banyak hal, menembak
saya. Dan saya memang merasa kena tembak. Ibu Ma'ruf memandang saya dengan
senyum lembutnya.
"Eh... iya, Pak, Bu...." Saya agak salah tingkah jadinya.
"Anu... sebetulnya maksud kedatangan saya ini... untuk minta pendapat dari
Bapak dan Ibu."
"Insya Allah. Mengenai apa?" Pak Ma'ruf menuntun dengan lembut
dan arif.
"Bapak dan Ibu Baskoro bermaksud menikahkan saya dengan Nirmala, Pak,
Bu."
"Alhamdulillah...." ujar Bapak dan Ibu Ma'ruf, hampir berbareng.
Wajah mereka seketika bersinar cerah.
"Itu berita yang sangat bagus, Hes," ungkap Pak Ma'ruf kemudian,
gembira. "Lalu apa yang bisa Bapak dan Ibu lakukan buat kamu?"
"Ya... yang terutama, Pak, saya ingin pendapat Bapak dan Ibu: Apakah
saya ini pantas untuk menjadi suami Nirmala?"
Dahi Pak Ma'ruf seketika penuh kerutan. Juga Ibu Ma'ruf.
"Pantas? Apa yang membuat kamu merasa tidak pantas untuk menjadi suami
Nirmala?" tanya Pak Ma'ruf, langsung.
"Ya... karena dia anak orang kaya, dari keluarga baik-baik, dan jelas
asal-usulnya. Sedangkan saya...."
Pak Ma'ruf menggeleng-geleng. "Tidak, Mahesa. Kamu jangan terlalu
kejam dengan diri sendiri seperti itu. Menjadi yatim-piatu itu bukan suatu
dosa, Mahesa. Dan menjadi penghuni panti asuhan itu bukan suatu aib. Itu
adalah kenyataan hidup yang harus dijalani oleh yang mengalaminya. Bukan salah
kamu kalau kamu tidak punya orangtua seperti umumnya seorang anak." Ia
menghela napas panjang, lalu membenahi duduknya. "Ingat, Mahesa. Allah
menciptakan alam semesta ini untuk semua makhluk ciptaan-Nya. Semuanya. Tidak
ada pengecualian. Yang baik, yang terhormat, yang jahat, atau pun yang
bergelimang lumpur najis, semuanya punya hak yang sama atas alam ciptaan-Nya
ini. Hanya Allah yang berhak menetapkan ukuran-ukuran kepada semua makhluk-Nya.
Selain Dia, siapa pun patut disebut sombong dan durhaka bila berani melakukan
itu. Mengerti kamu?"
"Iya, Pak," angguk saya. Dan itu membuat semuanya jadi jelas. Pak
Ma'ruf setuju dengan rencana Bapak dan Ibu Baskoro. Dia setuju saya menikahi
Nirmala. Itu membuat semua masalah yang memenuhi benak saya jadi terangkat dan
lenyap.
"Nah, masalahnya sekarang, kamunya sendiri bagaimana? Apa kamu mau
memperistri gadis itu?" tanya Pak Ma'ruf kemudian.
Saya mengangguk malu-malu. "Tentu saja saya mau, Pak."
"Nah!" Pak Ma'ruf menunjuk saya dengan wajah seketika cerah.
"Itulah pintarnya kamu!" Lalu ia tertawa. Ibu Ma'ruf juga turut
tertawa gembira bersamanya.
Jadi, sekarang semuanya sudah jelas. Orangtua Nirmala menghendaki, Bapak
dan Ibu Baskoro mendukung, lalu Bapak dan Ibu Ma'ruf pun setuju. Beres. Tapi,
bagaimana dengan Nirmala sendiri? Nah, ini yang akhirnya terasa paling berat
buat saya. Soalnya, terus-terang, saya sangat takut kalau Nirmala justru tidak
mau. Padahal saya tak ingin ia harus dipaksa-paksa untuk mau menjadi istri
saya. Apa bagusnya punya istri hasil pemaksaan?
Maka, ketika kami telah di rumah kembali, saya memberanikan diri untuk
bertanya langsung kepadanya: "Maafkan saya, Mala. Rasanya... saya lagi
nggak punya pilihan lain. Jadi... saya harus menanyakan ini sama kamu. Apa
kamu... mau menjadi istri saya?"
Untuk beberapa saat Nirmala hanya memandang saya. Ia lalu melangkah
mendekat dan dengan lembut memeluk saya. "Saya kira, saya nggak akan pernah mendapat
pertanyaan seperti itu dari kamu, Hes," katanya, pelan. "Saya mau,
tentu saja saya mau."
Nah! Itulah beruntungnya saya!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.