16 April 2016

Cerbung: Lewat Tengah Malam (6)

Dari buku-buku catatan harian Nirmala – yang dibuka dengan puisi pendek tentang pertemuan pertama kami, rekaman video hari-hari tera­khirnya, dan juga rekaman video pesan terakhirnya buat saya, saya mengetahui semua yang selama ini disembunyikannya dari saya. Rupanya semuanya berawal dari 'tanda-tanda' kanker pada rahimnya, yang bukan cuma membuatnya jadi mandul total, tetapi juga mengancam nyawanya. Jadi, ia sudah berusaha untuk tidak berbohong ketika dulu mengatakan ke­pada saya, ia mandul karena adanya kelainan pada organ repro­duk­si­nya. Cuma, ia memang tidak berterus-terang bahwa kelainan itu adalah karena tumor yang kemudian jadi ganas, atau kanker.
Rupanya sejak awal ia memang tak ingin merusuhi saya dengan penya­kitnya itu. Ia ingin berjuang sendirian dalam mengatasinya, karena ia tak mau saya jadi terlalu menguatirkannya. Dan ia yakin akan sang­gup serta kuat untuk menanggung segala akibatnya. Namun tim me­dis mendesaknya agar lekas masuk ruang operasi, agar kanker itu bisa segera diangkat – termasuk rahimnya. Maka kemudian, ia meminta to­long pada Om dan Tante Baskoronya untuk merekayasa suatu tugas buat saya, yang membuat saya harus meninggalkannya dan tak bisa pulang mendadak. Supaya ia bisa masuk kamar operasi dan membereskan urusan­nya dengan kanker itu.
Hasilnya, saya dikirim ke Jepang selama empat setengah bulan. Nir­mala dibedah dan rahimnya diangkat. Beres. Akan tetapi, ternyata ma­sa­lahnya belum selesai. Rupanya kanker itu telah mulai menyebar. Na­mun optimisme para ahli medis dan juga Nirmala sendiri, hal itu bisa diatasi dengan kemoterapi, dengan obat-obatan mutakhir. Ini yang mem­buat kondisi Nirmala hancur-lebur dan rambutnya rontok habis wak­tu itu. Tapi di luar dugaan, ternyata kanker itu jagoan. Penyebar­an­nya sulit dibendung. Sehingga akhirnya dinyatakan, Nirmala hanya ting­gal menunggu keajaiban dari Tuhan saja. Oleh karena itu, Nirmala kemudian memutuskan untuk menghentikan pengobatan. Ia sudah pasrah dan siap mati. Ia hanya mau memakan obat-obatan dari jenis vitamin saja, untuk menjaga kondisinya. Namun secara rutin ia mau pergi ke rumah sakit, untuk mengetahui masih berapa lama lagi sisa hidupnya.
Ketika jangka usianya hanya tinggal hitungan bulan yang tak menen­tu, Nirmala meminta Om dan Tante Baskoronya kembali merekayasa tu­gas buat saya. Maka saya kembali dikirim ke Jepang. Hanya saja, kali ini Nirmala mau berjuang-keras untuk tetap bisa hadir di sisi saya hing­ga saat yang paling akhir, yang ia sanggupi. Sebab, ia memang tak mau menjemput ajal di hadapan saya, seperti yang dikatakannya le­wat rekaman video terakhirnya buat saya:
"Kalau kamu ada di sisi saya, saya nggak ingin mati. Saya nggak ikh­las kalau harus mati. Jadi, maafkan saya karena telah mengambil ke­putusan ini. Tuhan menghendaki saya mati, Hes, maka saya harus me­nyingkir dari samping kamu. Supaya saya bisa ikhlas memenuhi pang­gil­an ini. Saya mencintai kamu, sangat mencintai kamu. Dan sudah cu­kup itu untuk bekal saya menjemput ajal. Ikhlaskan saya... dan maafkan saya...."
***
Setelah tahlilan malam ketujuh, saya bilang pada mertua saya dan juga pada Bapak dan Ibu Baskoro, bahwa saya akan kembali ke Jepang be­sok, untuk menyelesaikan tugas pelatihan saya dengan Tuan Yamada. Setelah itu saya mohon diri untuk menyiapkan barang-barang yang akan saya bawa besok, yang semuanya berupa buku-buku harian serta rekam­an-rekaman video diri Nirmala. Selesai mengepak barang-barang itu, dan setelah yakin tak ada yang tertinggal, saya segera berangkat tidur.
Tengah malam, ketika saya terjaga, saya merasa mengalami peristiwa yang pernah saya alami pada malam sebelum saya melamar Nirmala. Saya me­rasakan adanya 'kehadiran' di sekitar saya. Tapi saya yakin ini bu­kan Nirmala. Saya lebih condong bahwa ini adalah Tuhan yang sedang ha­dir begitu dekat dengan saya. Dan buat saya, ini artinya saat yang pa­ling tepat – paling baik – buat beribadah kepada-Nya. Ini adalah se­macam saat penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan peristiwa macam ini amat jarang terjadi. Juga sangat sedikit orang yang memperoleh karunia untuk mengalaminya.
Maka setelah berwudhu, saya melakukan sholat Tobat, memohon ampun, men­doakan Nirmala dan memintakan ampunan buatnya, lalu saya mendi­ri­kan sholat Tahajud. Dan ternyata, peristiwa yang pernah saya alami dulu memang berulang kembali. Saya sedang di tengah zikir ketika 'ke­ge­lapan yang indah' itu datang lagi dan mengalir dengan halus ke­pada saya. Lembut dan nyaman sekali fenomena itu merangkum saya ke dalamnya. Saya biarkan dengan sikap waspada – kewaspadaan itu meru­pa­kan keharusan dalam menghadapi hal-hal seperti ini, mengingat iblis kerap menipu manusia dengan cara-cara semacam ini. Saya me­nung­gu apa yang akan terjadi. Dan ketika kegelapan itu telah sem­purna merengkuh saya, tiba-tiba saya merasa diserang kantuk yang amat-sangat hebat, sehingga saya terlena sesaat. Lalu tiba-tiba saja saya dilecut oleh sebuah suara.
Saya tersentak. Suara itu sepertinya saya kenal. Ya, itu suara yang pernah sangat saya kenal. Itu suara bel telepon. Suara dering tele­pon rumah saya! Bukan rumah orangtua Nirmala. Bunyi telepon itu kem­bali menyambar kesadaran saya. Saya membuka mata dan langsung diser­gap rasa bingung. Di mana saya? Pertanyaan itu segera mencari jawab, menggali semua pengetahuan dan ingatan saya. Hingga ke yang paling dalam dan paling dasar.
Ini rumah saya! Akhirnya saya tiba pada kesadaran itu. Kamar ini, kamar tidur ini, tempat tidur itu, meja itu, jam meja itu, telepon itu, foto Nirmala itu, sajadah ini... ya Allah, ini memang kamar sa­ya! Ini rumah saya! Jadi... semua yang barusan serasa saya alami itu... cuma mimpi? Ternyata cuma mimpi? Alhamdulillah...! Saya lang­sung melakukan sujud syukur. Saya merasa amat-sangat lega. Tapi... ke­tika bangun dari sujud, saya diterpa pertanyaan yang mematahkan hati: Apa bukan justru sekarang ini saya lagi bermimpi? Alarm tele­pon kembali melengking, sehingga saya nyaris terlompat karena kaget. Saya bangkit berlutut dan meraih pesawat telepon, kemudian meletak­kannya di atas sajadah sambil bersila kembali. Dengan 'bismillah' sa­ya angkat gagang telepon dan bicara: "Assalammu alaykum...."
"Wa alaykum salam wa rohmatullahi wa barokatuh." Saya kaget. Ini suara Nirmala! "Hes, kamu lagi ngapain? Lagi sholat, ya?"
Saya tertegun. Kelu. Ya Allah, ini Nirmala! lengking hati saya, dalam sorak.
"Hes...! Halooo...! Hes, kamu masih di situ, kan?" Suara Nirmala me­nampar-nampar kesadaran saya. Menarik saya dari jerat kesima.
"Ya, ya... halo," sahut saya, tergagap, saat tersadar. "Ini... ka­mu Nirmala, 'kan?" Dada saya tiba-tiba terasa bergemuruh oleh berba­gai perasaan.
"Lho, ya-iyalah. Emangnya kamu pikir siapa?" Suara Nirmala terdengar tak senang. "Kamu mengharap yang lain, ya?" rajuknya kemudian.
"Ya... eh, saya berharap ini bukan mimpi," ungkap saya, begitu ju­ga dalam doa.
"Mimpi!" sungut Nirmala. "Mimpi apa? Kamu ini... mulai aneh lagi deh kamu...."
"Enggak, bukan begitu. Saya cuma...."
"Cuma apa?"
"Ah, enggak," elak saya. Ya Allah, semoga yang kali ini memang bu­kan mimpi. Tidak apa-apa dia marah-marah pada saya, asal ini bukan mimpi. Aamiiin. "Kamu ada apa nelepon saya subuh-subuh begini? Ini su­dah jam tiga, lho."
"Saya tau. Justru saya nelepon kamu karena... kalau saya cerita sedikit sama kamu, ngeganggu nggak?"
"Ini jam tiga pagi, Mala. Pasti bukan cerita remeh yang mau kamu sampaikan ke saya di jam-jam kayak begini."
"Memang!" tegas Nirmala. "Eh, kamu tau nggak, kenapa saya nelepon kamu? Soalnya, saya barusan kebangun dari mimpi yang bikin saya ke­takutan banget. Dan kamu tau saya mimpi apa? Saya mimpi jadi istri kamu!"
"Hah? Jadi istri saya... tapi kamu ketakutan?" Saya tersinggung sekaligus patah hati.
   "Iya, eh, nggak. Maksud saya bukan begitu. Ah, udah, deh! Saya ceritain aja dulu, supaya kamu tau kenapa saya sampai ketakutan banget gitu. Oke?"
"Oke...." Lalu saya bergumam, rasanya sih di dalam hati. "Ya Allah... dia takut jadi istri saya...."
   "Halo... kenapa, Hes?"
Eh, kok dia dengar? "Nggak, nggak," sahut saya, buru-buru, panik. "Nggak apa-apa, kok. Terusin aja ce­ri­ta kamu." Kok dia bisa dengar, ya?
"Dalam mimpi itu, ceritanya saya jadi istri kamu. Dan kamu sa­yaaang banget sama saya, sampai saya...." Nirmala menceritakan impi­annya itu. Sejak yang paling awal. Dan ternyata, mimpinya itu meru­pakan sisi lain dari impian yang barusan saya alami. Ia memimpikan impian yang sama dengan saya, namun dari sisi dirinya. Sehingga se­telah mendengar penuturannya itu, saya jadi tahu lengkap isi kese­lu­ruhan mimpi tersebut.
"Astaghfirullah hal adzim...." Saya benar-benar kaget mendengarnya.
   Akan tetapi, saya kemudian jadi diganggu oleh pertanyaan: Lalu, apa arti impian kami itu sebenarnya? Apa itu bermakna peringatan: bahwa kalau kami menikah, maka kami akan mengalami hal tersebut? Atau, suatu pemberitahuan: bahwa kalau kami tak ingin mengalami hal seperti itu, maka kami harus waspada sejak sekarang? Bisa jadi. Dan saya, sudah pasti memilih yang terakhir. Jadi, kalau memang Allah merestui saya untuk memperistri Nirmala, maka saya harus lebih pedu­li kepadanya, dan mewaspadai kelainan – yang mudah-mudahan tidak be­nar-benar ada – pada rahimnya.
Setelah Nirmala usai menuturkan semua mimpinya, saya bertanya ke­padanya: "Jadi, kamu udah tau apa yang membuat kebahagiaan rumah tangga kita itu hancur?"
"Mm... ya, karena kanker rahim yang saya anggap remeh, dan...." Sua­ra Nirmala terdengar gamang.
"Nah, kamu percaya nggak kalau saya bilang: mungkin mimpi kamu itu adalah peringatan dari Allah?"
"Saya percaya. Soalnya ibu juga pernah diserang sama kanker rahim ini. Sampai rahimnya harus diangkat. Makanya saya jadi nggak bisa punya adik."
"Nah, kalau begitu, gimana kalau kamu besok pergi ke dokter ahli kandungan untuk memeriksakan diri? Kalau perlu, kamu general checkup aja sekalian," bujuk saya. "Yaa... buat jaga-jagalah."
"Mau, sih. Tapi... saya takut."
"Takut sama apa? Saya antar, ya? Saya temenin?"
Tak ada jawaban. Lama Nirmala hanya "ah-uh ah-uh" sendirian, dan sa­ya biarkan saja, sampai akhirnya: "Hes... kalau misalnya mimpi itu jadi kenyataan, gimana? Maksud saya... kanker itu...."
"Insya Allah, enggak akan terjadi," hibur saya. Tapi hati saya jadi ciut juga. "Tapi kalau misalnya memang harus terjadi, ya kita harus ikhlas. Toh kita udah dikasih tau dari sekarang, 'kan?"
Nirmala terdengar menghela napas panjang. Kelihatannya, bayangan im­piannya tadi sedang mengaduk-aduk hatinya. "Saya takut, Hes...," rin­tihnya suatu ketika, di antara segala gumaman keluh-kesahnya.
"Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin kayak begitu. Besok aja ki­ta lihat bagaimana hasilnya. Mudah-mudahan, kamu sehat-sehat aja. Oke? Nah, sekarang kamu mau nggak nolongin saya?" kata saya.
"Hm... nolongin apa?" gumam Nirmala.
"Mm... begini...," saya mendadak ragu. "Sebetulnya saya lagi ada masalah. Dan salah satu orang yang bisa nolong saya adalah kamu," lanjut saya, hati-hati.
"Begitu? Insya Allah saya akan bantu. Apa yang harus saya la­ku­kan?"
Tiba-tiba saya jadi macet. Keberanian saya mendadak menguap. Ya Allah... bisik saya, di kedalaman hati, mengharap pertolongan. Tapi karena menyadari bahwa saya sudah tidak bisa mundur lagi, maka de­ngan susah-payah saya berusaha terus maju. "Saya... maksud saya, ada yang perlu saya tanyakan ke kamu."
"He-hm, apa, sih? Kok kayaknya serius banget."
"Iya... mmm.... Kamu... mau jadi istri saya?" Rasanya semua tenaga saya habis terkuras hanya untuk menyampaikan kata-kata itu.
Akibatnya, lama hanya keheningan yang ada. Tak sedikit pun terde­ngar suara Nirmala di ujung sana. Tapi saya tahu dia masih ada di sa­na. Saya menunggu. Cuma bisa menunggu. Sementara hati saya, nyali saya, harapan saya, rasanya telah terbang entah ke mana. Yang ada ha­nya kepasrahan dalam menanti vonis. Namun, sungguh, saya merasa amat ikhlas atas segala yang akan terjadi.
"Hes...," pecah Nirmala akhirnya, lirih. "Kalau boleh saya tau... kenapa kamu mau memperistri saya?"
Yak, itu dia! Matilah saya...! Ini adalah pertanyaan yang paling saya takuti. Soalnya saya tak yakin akan sanggup menjawabinya. Saya garuk-garuk kepala tidak gatal, sambil menyeringai. Benak dan hati saya kalang-kabut. "Menurut kamu... karena apa?" ujar saya kemudian, asal saja.
"Itu bukan jawaban!" sengat Nirmala. Saya kaget. "Saya tanya sama kamu, tapi kamu malah balik nanya ke saya! Gimana sih kamu ini?"
Saya menyeringai sendirian. "Habis... saya harus bilang apa?" Se­benarnya bukan karena saya tolol. Melainkan karena saya merasa cang­gung, malu, gugup, dan tidak patut. Tak merasa memiliki kepantasan untuk itu.
"Aduuuh, dasar kamu! Ya bilang aja, karena saya sayang kamu, Mala."
"Iya, memang," saya memboncengi perkataannya.
"Atau... karena saya cinta kamu, Mala."
"Iya... sebetulnya memang begitu."
Nirmala tertawa jengkel. "Kamu ini memang norak, kampungan, jelek, nyebelin, payah, nggak gentle, nggak... pokoknya saya sebel sama kamu!"
"Iya, saya tau itu," sahut saya, sambil nyengir sendiri. "Terus gimana jawaban kamu? Mau nggak jadi istri saya?"
"Mahesa, kamu belum jawab pertanyaan saya!" gertak Nirmala.
"Saya yang nanya duluan, 'kan?" saya berusaha keras mencari se­lamat.
"Bodo! Bodo! Bodo! Nggak tau!" Nirmala merajuk. Membisu. Lama. "Pokoknya besok saya nggak mau pergi ke dokter ahli kandungan! Nggak mau general checkup!" ancamnya kemudian.
"Ya terserah," tanggap saya, pasrah. "Tapi yang jelas, saya akan tetap menikahi kamu, walaupun kamu akan mati besoknya."
"Ha? Begitu? Nekat...!" ujar Nirmala. "Kenapa sih kamu kok nekat kayak gitu?"
"Menurut kamu kenapa?"
"Itu bukan jawaban! Ayo, sekarang kamu harus jawab: KE-NA-PA?"
"Kamu mau jadi istri saya?"
"Jawab dulu pertanyaan saya!"
"Saya harus jawab gimana?"
"Ya Allah, Mahesa! Ya bilang aja: Karena saya sayang kamu! Karena saya cinta sama kamu, Nirmala!"
"Oke, memang betul begitu. Nah, sekarang kamunya gimana? Mau jadi istri saya?"
"Aduuuh, Mahesaaa...!"
*****

Jakarta, 23 Maret 1999 –
Revisi terakhir 07 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.