Dari
buku-buku catatan harian Nirmala – yang dibuka dengan puisi pendek tentang
pertemuan pertama kami, rekaman video hari-hari terakhirnya, dan juga rekaman
video pesan terakhirnya buat saya, saya mengetahui semua yang selama ini
disembunyikannya dari saya. Rupanya semuanya berawal dari 'tanda-tanda' kanker
pada rahimnya, yang bukan cuma membuatnya jadi mandul total, tetapi juga
mengancam nyawanya. Jadi, ia sudah berusaha untuk tidak berbohong ketika dulu
mengatakan kepada saya, ia mandul karena adanya kelainan pada organ reproduksinya.
Cuma, ia memang tidak berterus-terang bahwa kelainan itu adalah karena tumor
yang kemudian jadi ganas, atau kanker.
Rupanya
sejak awal ia memang tak ingin merusuhi saya dengan penyakitnya itu. Ia ingin
berjuang sendirian dalam mengatasinya, karena ia tak mau saya jadi terlalu
menguatirkannya. Dan ia yakin akan sanggup serta kuat untuk menanggung segala
akibatnya. Namun tim medis mendesaknya agar lekas masuk ruang operasi, agar
kanker itu bisa segera diangkat – termasuk rahimnya. Maka kemudian, ia meminta
tolong pada Om dan Tante Baskoronya untuk merekayasa suatu tugas buat saya,
yang membuat saya harus meninggalkannya dan tak bisa pulang mendadak. Supaya ia
bisa masuk kamar operasi dan membereskan urusannya dengan kanker itu.
Hasilnya,
saya dikirim ke Jepang selama empat setengah bulan. Nirmala dibedah dan
rahimnya diangkat. Beres. Akan tetapi, ternyata masalahnya belum selesai.
Rupanya kanker itu telah mulai menyebar. Namun optimisme para ahli medis dan
juga Nirmala sendiri, hal itu bisa diatasi dengan kemoterapi, dengan
obat-obatan mutakhir. Ini yang membuat kondisi Nirmala hancur-lebur dan
rambutnya rontok habis waktu itu. Tapi di luar dugaan, ternyata kanker itu
jagoan. Penyebarannya sulit dibendung. Sehingga akhirnya dinyatakan, Nirmala
hanya tinggal menunggu keajaiban dari Tuhan saja. Oleh karena itu, Nirmala
kemudian memutuskan untuk menghentikan pengobatan. Ia sudah pasrah dan siap
mati. Ia hanya mau memakan obat-obatan dari jenis vitamin saja, untuk menjaga
kondisinya. Namun secara rutin ia mau pergi ke rumah sakit, untuk mengetahui
masih berapa lama lagi sisa hidupnya.
Ketika
jangka usianya hanya tinggal hitungan bulan yang tak menentu, Nirmala meminta
Om dan Tante Baskoronya kembali merekayasa tugas buat saya. Maka saya kembali
dikirim ke Jepang. Hanya saja, kali ini Nirmala mau berjuang-keras untuk tetap
bisa hadir di sisi saya hingga saat yang paling akhir, yang ia sanggupi.
Sebab, ia memang tak mau menjemput ajal di hadapan saya, seperti yang
dikatakannya lewat rekaman video terakhirnya buat saya:
"Kalau
kamu ada di sisi saya, saya nggak ingin mati. Saya nggak ikhlas kalau harus
mati. Jadi, maafkan saya karena telah mengambil keputusan ini. Tuhan
menghendaki saya mati, Hes, maka saya harus menyingkir dari samping kamu.
Supaya saya bisa ikhlas memenuhi panggilan ini. Saya mencintai kamu, sangat
mencintai kamu. Dan sudah cukup itu untuk bekal saya menjemput ajal. Ikhlaskan
saya... dan maafkan saya...."
***
Setelah
tahlilan malam ketujuh, saya bilang pada mertua saya dan juga pada Bapak dan
Ibu Baskoro, bahwa saya akan kembali ke Jepang besok, untuk menyelesaikan
tugas pelatihan saya dengan Tuan Yamada. Setelah itu saya mohon diri untuk
menyiapkan barang-barang yang akan saya bawa besok, yang semuanya berupa
buku-buku harian serta rekaman-rekaman video diri Nirmala. Selesai mengepak
barang-barang itu, dan setelah yakin tak ada yang tertinggal, saya segera
berangkat tidur.
Tengah
malam, ketika saya terjaga, saya merasa mengalami peristiwa yang pernah saya
alami pada malam sebelum saya melamar Nirmala. Saya merasakan adanya
'kehadiran' di sekitar saya. Tapi saya yakin ini bukan Nirmala. Saya lebih
condong bahwa ini adalah Tuhan yang sedang hadir begitu dekat dengan saya. Dan
buat saya, ini artinya saat yang paling tepat – paling baik – buat beribadah
kepada-Nya. Ini adalah semacam saat penyatuan antara Tuhan dan hamba. Dan
peristiwa macam ini amat jarang terjadi. Juga sangat sedikit orang yang
memperoleh karunia untuk mengalaminya.
Maka setelah
berwudhu, saya melakukan sholat Tobat, memohon ampun, mendoakan Nirmala dan
memintakan ampunan buatnya, lalu saya mendirikan sholat Tahajud. Dan
ternyata, peristiwa yang pernah saya alami dulu memang berulang kembali. Saya
sedang di tengah zikir ketika 'kegelapan yang indah' itu datang lagi dan
mengalir dengan halus kepada saya. Lembut dan nyaman sekali fenomena itu
merangkum saya ke dalamnya. Saya biarkan dengan sikap waspada – kewaspadaan itu
merupakan keharusan dalam menghadapi hal-hal seperti ini, mengingat iblis
kerap menipu manusia dengan cara-cara semacam ini. Saya menunggu apa yang
akan terjadi. Dan ketika kegelapan itu telah sempurna merengkuh saya,
tiba-tiba saya merasa diserang kantuk yang amat-sangat hebat, sehingga saya
terlena sesaat. Lalu tiba-tiba saja saya dilecut oleh sebuah suara.
Saya
tersentak. Suara itu sepertinya saya kenal. Ya, itu suara yang pernah sangat
saya kenal. Itu suara bel telepon. Suara dering telepon rumah saya! Bukan
rumah orangtua Nirmala. Bunyi telepon itu kembali menyambar kesadaran saya.
Saya membuka mata dan langsung disergap rasa bingung. Di mana saya? Pertanyaan
itu segera mencari jawab, menggali semua pengetahuan dan ingatan saya. Hingga
ke yang paling dalam dan paling dasar.
Ini rumah
saya! Akhirnya saya tiba pada kesadaran itu. Kamar ini, kamar tidur ini, tempat
tidur itu, meja itu, jam meja itu, telepon itu, foto Nirmala itu, sajadah
ini... ya Allah, ini memang kamar saya! Ini rumah saya! Jadi... semua yang
barusan serasa saya alami itu... cuma mimpi? Ternyata cuma mimpi?
Alhamdulillah...! Saya langsung melakukan sujud syukur. Saya merasa
amat-sangat lega. Tapi... ketika bangun dari sujud, saya diterpa pertanyaan
yang mematahkan hati: Apa bukan justru sekarang ini saya lagi bermimpi? Alarm
telepon kembali melengking, sehingga saya nyaris terlompat karena kaget. Saya
bangkit berlutut dan meraih pesawat telepon, kemudian meletakkannya di atas
sajadah sambil bersila kembali. Dengan 'bismillah' saya angkat gagang telepon
dan bicara: "Assalammu alaykum...."
"Wa
alaykum salam wa rohmatullahi wa barokatuh." Saya kaget. Ini suara Nirmala! "Hes, kamu lagi
ngapain? Lagi sholat, ya?"
Saya
tertegun. Kelu. Ya Allah, ini Nirmala! lengking hati saya, dalam sorak.
"Hes...!
Halooo...! Hes, kamu masih di situ, kan?" Suara Nirmala menampar-nampar
kesadaran saya. Menarik saya dari jerat kesima.
"Ya,
ya... halo," sahut saya, tergagap, saat tersadar. "Ini... kamu
Nirmala, 'kan?" Dada saya tiba-tiba terasa bergemuruh oleh berbagai
perasaan.
"Lho,
ya-iyalah. Emangnya kamu pikir siapa?" Suara Nirmala terdengar tak senang.
"Kamu mengharap yang lain, ya?" rajuknya kemudian.
"Ya...
eh, saya berharap ini bukan mimpi," ungkap saya, begitu juga dalam doa.
"Mimpi!"
sungut Nirmala. "Mimpi apa? Kamu ini... mulai aneh lagi deh kamu...."
"Enggak,
bukan begitu. Saya cuma...."
"Cuma
apa?"
"Ah,
enggak," elak saya. Ya Allah, semoga yang kali ini memang bukan mimpi.
Tidak apa-apa dia marah-marah pada saya, asal ini bukan mimpi. Aamiiin.
"Kamu ada apa nelepon saya subuh-subuh begini? Ini sudah jam tiga,
lho."
"Saya
tau. Justru saya nelepon kamu karena... kalau saya cerita sedikit sama kamu,
ngeganggu nggak?"
"Ini
jam tiga pagi, Mala. Pasti bukan cerita remeh yang mau kamu sampaikan ke saya
di jam-jam kayak begini."
"Memang!"
tegas Nirmala. "Eh, kamu tau nggak, kenapa saya nelepon kamu? Soalnya,
saya barusan kebangun dari mimpi yang bikin saya ketakutan banget. Dan kamu
tau saya mimpi apa? Saya mimpi jadi istri kamu!"
"Hah? Jadi istri saya... tapi kamu ketakutan?" Saya tersinggung sekaligus patah hati.
"Iya, eh, nggak. Maksud saya bukan begitu. Ah, udah, deh! Saya ceritain aja dulu, supaya kamu tau kenapa saya sampai ketakutan banget gitu. Oke?"
"Iya, eh, nggak. Maksud saya bukan begitu. Ah, udah, deh! Saya ceritain aja dulu, supaya kamu tau kenapa saya sampai ketakutan banget gitu. Oke?"
"Oke...." Lalu saya bergumam, rasanya sih di dalam hati. "Ya Allah... dia takut jadi istri saya...."
"Halo... kenapa, Hes?"
"Halo... kenapa, Hes?"
Eh, kok dia dengar? "Nggak,
nggak," sahut saya, buru-buru, panik. "Nggak apa-apa, kok. Terusin aja cerita
kamu." Kok dia bisa dengar, ya?
"Dalam
mimpi itu, ceritanya saya jadi istri kamu. Dan kamu sayaaang banget sama saya,
sampai saya...." Nirmala menceritakan impiannya itu. Sejak yang paling
awal. Dan ternyata, mimpinya itu merupakan sisi lain dari impian yang barusan
saya alami. Ia memimpikan impian yang sama dengan saya, namun dari sisi
dirinya. Sehingga setelah mendengar penuturannya itu, saya jadi tahu lengkap
isi keseluruhan mimpi tersebut.
"Astaghfirullah hal adzim...." Saya benar-benar kaget mendengarnya.
Akan tetapi, saya kemudian jadi diganggu oleh pertanyaan: Lalu, apa arti impian kami itu sebenarnya? Apa itu bermakna peringatan: bahwa kalau kami menikah, maka kami akan mengalami hal tersebut? Atau, suatu pemberitahuan: bahwa kalau kami tak ingin mengalami hal seperti itu, maka kami harus waspada sejak sekarang? Bisa jadi. Dan saya, sudah pasti memilih yang terakhir. Jadi, kalau memang Allah merestui saya untuk memperistri Nirmala, maka saya harus lebih peduli kepadanya, dan mewaspadai kelainan – yang mudah-mudahan tidak benar-benar ada – pada rahimnya.
Akan tetapi, saya kemudian jadi diganggu oleh pertanyaan: Lalu, apa arti impian kami itu sebenarnya? Apa itu bermakna peringatan: bahwa kalau kami menikah, maka kami akan mengalami hal tersebut? Atau, suatu pemberitahuan: bahwa kalau kami tak ingin mengalami hal seperti itu, maka kami harus waspada sejak sekarang? Bisa jadi. Dan saya, sudah pasti memilih yang terakhir. Jadi, kalau memang Allah merestui saya untuk memperistri Nirmala, maka saya harus lebih peduli kepadanya, dan mewaspadai kelainan – yang mudah-mudahan tidak benar-benar ada – pada rahimnya.
Setelah
Nirmala usai menuturkan semua mimpinya, saya bertanya kepadanya: "Jadi,
kamu udah tau apa yang membuat kebahagiaan rumah tangga kita itu
hancur?"
"Mm...
ya, karena kanker rahim yang saya anggap remeh, dan...." Suara Nirmala
terdengar gamang.
"Nah,
kamu percaya nggak kalau saya bilang: mungkin mimpi kamu itu adalah peringatan
dari Allah?"
"Saya
percaya. Soalnya ibu juga pernah diserang sama kanker rahim ini. Sampai
rahimnya harus diangkat. Makanya saya jadi nggak bisa punya adik."
"Nah,
kalau begitu, gimana kalau kamu besok pergi ke dokter ahli kandungan untuk
memeriksakan diri? Kalau perlu, kamu general checkup aja
sekalian," bujuk saya. "Yaa... buat jaga-jagalah."
"Mau,
sih. Tapi... saya takut."
"Takut
sama apa? Saya antar, ya? Saya temenin?"
Tak ada
jawaban. Lama Nirmala hanya "ah-uh ah-uh" sendirian, dan saya biarkan saja,
sampai akhirnya: "Hes... kalau misalnya mimpi itu jadi kenyataan, gimana?
Maksud saya... kanker itu...."
"Insya
Allah, enggak akan terjadi," hibur saya. Tapi hati saya jadi ciut juga.
"Tapi kalau misalnya memang harus terjadi, ya kita harus ikhlas. Toh kita
udah dikasih tau dari sekarang, 'kan?"
Nirmala
terdengar menghela napas panjang. Kelihatannya, bayangan impiannya tadi sedang
mengaduk-aduk hatinya. "Saya takut, Hes...," rintihnya suatu ketika,
di antara segala gumaman keluh-kesahnya.
"Udahlah,
nggak usah terlalu dipikirin kayak begitu. Besok aja kita lihat bagaimana
hasilnya. Mudah-mudahan, kamu sehat-sehat aja. Oke? Nah, sekarang kamu mau nggak
nolongin saya?" kata saya.
"Hm...
nolongin apa?" gumam Nirmala.
"Mm...
begini...," saya mendadak ragu. "Sebetulnya saya lagi ada masalah.
Dan salah satu orang yang bisa nolong saya adalah kamu," lanjut saya,
hati-hati.
"Begitu?
Insya Allah saya akan bantu. Apa yang harus saya lakukan?"
Tiba-tiba
saya jadi macet. Keberanian saya mendadak menguap. Ya Allah... bisik saya, di
kedalaman hati, mengharap pertolongan. Tapi karena menyadari bahwa saya sudah
tidak bisa mundur lagi, maka dengan susah-payah saya berusaha terus maju.
"Saya... maksud saya, ada yang perlu saya tanyakan ke kamu."
"He-hm,
apa, sih? Kok kayaknya serius banget."
"Iya...
mmm.... Kamu... mau jadi istri saya?" Rasanya semua tenaga saya habis
terkuras hanya untuk menyampaikan kata-kata itu.
Akibatnya,
lama hanya keheningan yang ada. Tak sedikit pun terdengar suara Nirmala di
ujung sana. Tapi saya tahu dia masih ada di sana. Saya menunggu. Cuma bisa
menunggu. Sementara hati saya, nyali saya, harapan saya, rasanya telah terbang
entah ke mana. Yang ada hanya kepasrahan dalam menanti vonis. Namun, sungguh,
saya merasa amat ikhlas atas segala yang akan terjadi.
"Hes...,"
pecah Nirmala akhirnya, lirih. "Kalau boleh saya tau... kenapa kamu mau
memperistri saya?"
Yak, itu dia! Matilah
saya...! Ini adalah pertanyaan yang paling saya takuti. Soalnya saya tak yakin
akan sanggup menjawabinya. Saya garuk-garuk kepala tidak gatal, sambil
menyeringai. Benak dan hati saya kalang-kabut. "Menurut kamu... karena
apa?" ujar saya kemudian, asal saja.
"Itu
bukan jawaban!" sengat Nirmala. Saya kaget. "Saya tanya sama kamu,
tapi kamu malah balik nanya ke saya! Gimana sih kamu ini?"
Saya
menyeringai sendirian. "Habis... saya harus bilang apa?" Sebenarnya
bukan karena saya tolol. Melainkan karena saya merasa canggung, malu, gugup,
dan tidak patut. Tak merasa memiliki kepantasan untuk itu.
"Aduuuh,
dasar kamu! Ya bilang aja, karena saya sayang kamu, Mala."
"Iya,
memang," saya memboncengi perkataannya.
"Atau...
karena saya cinta kamu, Mala."
"Iya...
sebetulnya memang begitu."
Nirmala
tertawa jengkel. "Kamu ini memang norak, kampungan, jelek, nyebelin,
payah, nggak gentle, nggak... pokoknya saya sebel sama kamu!"
"Iya,
saya tau itu," sahut saya, sambil nyengir sendiri. "Terus gimana
jawaban kamu? Mau nggak jadi istri saya?"
"Mahesa,
kamu belum jawab pertanyaan saya!" gertak Nirmala.
"Saya
yang nanya duluan, 'kan?" saya berusaha keras mencari selamat.
"Bodo!
Bodo! Bodo! Nggak tau!" Nirmala merajuk. Membisu. Lama. "Pokoknya
besok saya nggak mau pergi ke dokter ahli kandungan! Nggak mau general
checkup!" ancamnya kemudian.
"Ya
terserah," tanggap saya, pasrah. "Tapi yang jelas, saya akan tetap
menikahi kamu, walaupun kamu akan mati besoknya."
"Ha?
Begitu? Nekat...!" ujar Nirmala. "Kenapa sih kamu kok nekat kayak
gitu?"
"Menurut
kamu kenapa?"
"Itu
bukan jawaban! Ayo, sekarang kamu harus jawab: KE-NA-PA?"
"Kamu
mau jadi istri saya?"
"Jawab
dulu pertanyaan saya!"
"Saya
harus jawab gimana?"
"Ya
Allah, Mahesa! Ya bilang aja: Karena saya sayang kamu! Karena saya cinta sama
kamu, Nirmala!"
"Oke,
memang betul begitu. Nah, sekarang kamunya gimana? Mau jadi istri saya?"
"Aduuuh,
Mahesaaa...!"
*****
Jakarta, 23 Maret 1999 –
Revisi terakhir 07 April
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.