Lucu sekali kalau ada seorang kekasih yang tidak tahu siapa dan di mana
alamat kekasihnya sebenarnya. Tapi Pramudya memang betul-betul tidak tahu,
siapa sebetulnya kekasihnya, dan di mana tempat tinggalnya yang sebenarnya? Dia
cuma tahu, bahwa nama kekasihnya itu adalah Murni. Sudah, itu saja. Namun,
siapa Murni yang sebenarnya? Tak jelas.
Pramudya menghela napas dalam dan merapatkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu menjulurkan kakinya jauh-jauh ke kolong kursi di depannya. Di kepalanya seribu tanya-tanya berloncatan seperti ikan kena tangguk, tanya-tanya yang begitu cerewet dan selalu mengganggunya, karena tak pernah terjawabi. Sementara gadis yang duduk di sebelahnya, diam-diam mengamatinya lewat sudut mata, dengan lirikan sebal. Mirna nama gadis itu.
“Pasti mikirin Murni lagi,” cetusnya akhirnya, meluapkan kesebalannya.
Pramudya terusik dan menolehnya. Dalam sikap merajuk, ia menghela napas dan
bilang, “Selama kamu nggak mau ngasih tau aku siapa dia itu sebenarnya, ya aku
akan terus-terusan mikirin dia.”
Mirna mendengus, jual mahal. “Sebaliknya, Pram. Selama kamu juga nggak mau
ngasih tau aku, ada hubungan apa kamu ama dia sebenarnya, ya aku nggak akan
kasih tau apa-apa ke kamu.”
Pramudya terpojok, mati kutu. Dia sebetulnya bukan tidak mau memberitahu kepada Mirna soal hubungannya dengan Murni, tapi... ah, sulit menjelaskannya.
Soalnya, Mirna ini aneh!
Sejak masih di SMA mereka bersahabat. Tapi bukan berarti mereka merupakan
sepasang kekasih. Bahkan sekadar calon sepasang kekasih sekali pun bukan! Karena
apa? Soalnya Mirna pernah menolak pernyataan cinta Pramudya terhadapnya. Memang
tidak secara tegas, sih. Tapi untuk jawaban sebuah pernyataan
cinta, sedikit senyum sinis saja sudah berarti jawaban mutlak! Tidak bisa
ditawar-tawar lagi. No! Sori, ye! Tolak! Ya sakitlah! Emang enak ditolak?
Namun anehnya, waktu Pramudya mencoba mendekati gadis lain, Mirna marah.
Betul-betul marah! Bahkan Pramudya sempat ditamparnya, untuk kemudian diambeki
selama dua minggu. Siapa yang tidak bingung coba? Bilang cinta ditolak, mau
pacaran dengan gadis lain dilarang. Pakai acara ditempeleng lagi!
“Gimana?” tanya Mirna tiba-tiba, agak keras. Pramudya terlempar dari
lamunannya.
“Hah, apanya?” tolehnya, balik bertanya.
Mirna mendelik. Pramudya bersiaga dari sikap kasar gadis itu. Lengannya ia
siagakan untuk melindungi lambungnya dari kemungkinan disodok dengan siku oleh
Mirna.
“Mau tahu soal Murni apa nggak?” sentaknya.
“Mau, mau! Ayo dong, kasih tau,” Pramudya langsung gembira, mengharap
kebaikan hati gadis itu.
“Boleh. Tapi... kasih tau dulu, dong. Apamu dia? Pacar? Gebetan? Atau
istri kali?”
Harapan Pramudya seketika ambruk lagi, seperti istana pasir ditelan ombak.
Mirna menatapnya lewat lirikan tajam. Merasa di atas angin.
“Ayo,” desaknya.
Pramudya menatapnya, ragu-ragu.
“Tapi kamu mau janji?” ujarnya, akhirnya.
“Janji apa?” Mirna merasa tak senang dituntut begitu.
“Kamu nggak akan marah kalau aku kasih tau.”
Mirna terdiam. Kemarahan terlihat merekah di wajahnya. Rupanya ia mulai
dapat meraba, ada hubungan apa sebenarnya antara Pramudya dengan Murni.
“Janji, Mir?” Pramudya ganti mendesaknya.
“Oke, aku janji,” kata Mirna akhirnya, meski sambil terlihat mau meledak.
Pramudya menatapnya beberapa jenak, semakin ragu setelah melihat raut
kemarahan di wajah Mirna. Namun ia bertekad tak akan mundur lagi.
“Dia pacarku...,” ungkapnya, pelan, hati-hati. Diam-diam bersiaga dari
setiap kemungkinan terburuk yang bisa terjadi dan menimpanya.
Untuk sekian detik Mirna hanya termangu. Namun raut wajahnya terlihat
berangsur jadi merah padam. Ia tiba-tiba bergerak bangkit dari duduknya.
Pramudya refleks mengikutinya bangkit dengan kesiagaan penuh.
“Jangan lupa janji kamu, Mir,” tuntutnya, sembari memegang lengan atas Mirna
dalam sikap waspada.
Mirna menolehnya, menatap tajam. Matanya berkilat-kilat garang.
“Lepasin tangan kamu, Pram!” katanya, dingin, berusaha membebaskan
lengannya dengan mengibaskan lengan yang dicekal Pramudya itu.
“Nggak, kamu harus menepati janji kamu dulu.” Pramudya mempererat cekalannya.
“Persetan dengan janji! Kamu mengkhianati aku lagi!” Mirna memberontak dari
cekalan Pramudya, dan... Plak!
Pramudya ternganga dengan mata terbelalak. Cepat sekali gerakan Mirna
sehingga Pramudya tak sempat mengelakkan tamparannya itu. Pramudya memegang
pipinya yang terasa panas. Ini yang kedua kalinya! Ia duduk kembali. Kemarahan
dan kekecewaan bergolak di dadanya, itu sebabnya ia duduk. Untuk menghindari
luapan amarah yang mungkin terlepas dari kendalinya.
“Datang ke rumahku nanti sore, kalau kamu mau tau siapa Murni sebenarnya,”
kata Mirna, dengan suara beku, lalu beranjak pergi dan tak berpaling lagi.
Pramudya masih termangu-mangu di tempatnya duduk, berjuang meredakan
gejolak perasaannya. Pipinya terasa panas dan perih. Ia benar-benar tak bisa
mengerti, kenapa Mirna harus menamparnya? Karena apa? Apa karena dia
mencintaiku? Berpikir ke arah itu, ia jadi malah merasa tersesat dalam perkara
yang sulit dimengertinya. Ia betul-betul tak bisa mengerti. Sama sekali!
Alhasil, sampai sore ia jadi seperti orang pikun di situ, duduk
termangu-mangu memikirkan nasib buruk yang menimpanya. Dan dia memang
betul-betul lagi sial hari ini! Sudah ditempeleng, harus membayar semua makanan dan
minuman yang telah mereka makan tadi, dan... ah, kampret! ia memaki, karena
mendapati gelas minumnya sudah kering, padahal ia merasa haus sekali – sampai
terasa lengket tenggorokannya. Ia bangkit dengan enggan dan pergi ke meja kasir
kantin, untuk membeli air minum kemasan dan membayar tagihan makanan dan
minuman, yang telah dinikmatinya bersama Mirna tadi.
Keluar dari kantin, ia langsung menuju tempat parkir mobilnya. Setelah
duduk di dalam mobil, baru dia ingat: Mirna pulang sendirian! Wah, naik apa
dia? Beberapa saat ia termangu-mangu memikirkan Mirna, tapi kemudian menghela
napas, dan segera menghidupkan mesin mobilnya lalu berangkat. Pulang! Itulah
satu-satunya tujuannya.
Tiba di rumah, ia langsung masuk ke kamar dan melemparkan diri ke atas
pembaringan. Tengkurap. Di situ semuanya ia coba benamkan, tapi tak bisa. Tentu saja. Karena ia
bukan perempuan, yang bisa menyelesaikan segalanya dengan menangis dahulu di
tempat tidur, ia laki-laki dan watak kelelakiannya tak rela melepaskan suatu
masalah sebelum ia selesaikan hingga tuntas.
Di pintu, seraut wajah muncul, mamanya langsung melontarkan pertanyaan
kepadanya.
“Kok hari gini baru pulang, Pram?”
Agak terkejut Pramudya membalik dan memandang pada mamanya.
“Iya, Ma. Jalanan macet banget,” jawabnya, benar tapi tak sepenuhnya,
seraya bangkit duduk.
Mama menatapnya, mengamati, dan kemudian tersenyum kecil.
“Kayaknya... bukan cuma itu sebab sebenarnya, ya?” terkanya.
Pramudya melongo, merasa kena todongan mamanya, lalu meringis.
“Iya, deh...,” akunya, merasa malu karena ketahuan kurang jujur.
“Jadi... selebihnya karena apa?”
Pramudya cuma menyeringai, tak menjawab.
“Ada apa, Pram?” desak Mama.
“Ribut lagi, Ma... sama Mirna,” ungkapnya akhirnya, malu-malu.
Mama menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala.
“Kalian ini...,” keluhnya. “Pacaran kok ribut melulu. Bagaimana kalau sudah
jadi suami istri nanti?”
Pramudya terperangah mendengarnya, dan buru-buru menyergah.
“Nggak, Ma, Mama salah paham. Mirna itu bukan pacar saya, dan nggak akan
pernah deh kami jadi suami istri.”
“Lho?” Mama melongo. “Jadi, apa artinya hubungan kalian selama ini?”
Pramudya cuma mengangkat bahu sebagai jawaban.
“Gak tau, Ma...,” lenguhnya. “Saya cuma yakin kalo Mirna itu bukan pacar
saya, dan... gak akan pernah jadi pacar saya,” ujarnya, sambil berbaring
kembali.
Mama memerhatikan anaknya dalam termangu, beberapa jenak, lalu.
“Ya sudahlah,” cetusnya. “Ayo, makan dulu sana.”
“Iya, Ma, nanti. Sekarang bukan itu yang ada dalam pikiran saya.”
Mama menghela napas, mencebik dan mengangkat bahu, lalu beranjak dan
menutup pintu. Ia kenal betul watak anaknya itu. Karang! Susah diatur, meskipun
kadang-kadang bisa sangat penurut.
Dan memang benar. Pramudya adalah karang. Tapi, kenapa oleh Mirna dia
berhasil diremukkan? Karena dia mencintainya? Ah, omong kosong! Pramudya meraih
bantal dan diayunkannya ke arah foto Mirna di atas meja belajarnya, tapi... tak
dilepaskannya. Lintasan pikiran sehatnya melarangnya bertindak merusak.
Diletakkannya kembali bantal yang nyaris terbang ke foto Mirna itu.
Dipandangnya foto yang tersenyum cantik itu, secantik gadis yang pernah datang
dalam impian Pramudya di hari-hari yang telah runtuh, dulu, setelah ungkapan
rasa cintanya ia sampaikan, dan dibalas dengan sikap sinis.
Di ruang tengah, telepon berdering, beberapa saat, kemudian sunyi kembali.
Mama telah menerimanya. Setelah bicara sejenak, Mama meletakkan gagang telepon
di samping pesawatnya dan lalu pergi ke kamar Pramudya, membuka pintu sedikit.
“Telepon, Pram,” katanya, dari celah pintu.
“Siapa, Ma?” tanya Pramudya, memandang mamanya, seraya bangkit. Merasa agak aneh, masih ada orang yang meneleponnya ke telepon rumah, bukannya ke telepon genggamnya.
“Ngakunya sih Mirna, tapi suaranya kok lain.” Mama memerhatikan gerak ekspresi pada wajah anaknya, tapi tak
ada.
Pramudya turun dari tempat tidur dan melangkah menyeret sandal, melewati
mamanya yang terus memerhatikan raut wajahnya, dan terus ke ruang tengah.
Diraihnya gagang telepon dan diletakkannya ke telinganya, sambil duduk di kursi
di samping meja telepon. Siapa sih ini?
“Halo,” suaranya mengambang.
“Lagi ngapain, Anak Manis?” begitulah kata-kata Mirna kalau sedang marah
atau mengambek. Kampret! Betul dia rupanya...! Pramudya tertawa kecil, tanpa minat, tanpa perasaan.
“Lagi menikmati tamparanmu, Nona Angkuh,” jawabnya, dingin.
Di ujung sana Mirna terbungkam. Di sini Pramudya juga bungkam, enggan
bicara. Tadinya terpikir oleh Pramudya untuk menutup telepon dan ganti menelepon Mirna pakai telepon genggam, tapi dengan jengkel ia lantas bilang, "Ah, males, buang-buang pulsa aja," dalam hati.
“Oke deh, Anak Manis,” suara Mirna akhirnya terdengar lagi. “Demi Murni
kamu tercinta, apa aku perlu menjemput kamu?”
Pramudya tersentak. Ia baru ingat kalau Mirna masih punya utang janji
padanya, soal Murni-nya yang misterius.
“Terima kasih, saya akan datang sendiri, saya masih punya kaki, kok.”
“Bagus, deh. Masih inget jalan ke rumahku, 'kan?” Tanpa kata-kata apa-apa lagi hubungan langsung diputuskan oleh Mirna.
Tapi pertanyaannya itu pertanyaan serius. Sebab, beberapa tahun belakangan ini – setelah cintanya ditolak – Pramudya jarang sekali ke rumah Mirna. Bahkan belum tentu sebulan sekali. Sebetulnya yang membuatnya enggan ke rumah Mirna itu karena ia merasa selalu 'dikacangin', selalu dicuekin – lantaran Mirnanya asyik sendiri sama smartphone-nya. Chattinglah, update statuslah, segala macam. Dan Pramudya, terpaksa cari kesibukan sendiri, bahkan kadang membantu mamanya Mirna atau pun pembantunya mengurus tanaman di halaman depan. Keterlaluan betul.
Tapi pertanyaannya itu pertanyaan serius. Sebab, beberapa tahun belakangan ini – setelah cintanya ditolak – Pramudya jarang sekali ke rumah Mirna. Bahkan belum tentu sebulan sekali. Sebetulnya yang membuatnya enggan ke rumah Mirna itu karena ia merasa selalu 'dikacangin', selalu dicuekin – lantaran Mirnanya asyik sendiri sama smartphone-nya. Chattinglah, update statuslah, segala macam. Dan Pramudya, terpaksa cari kesibukan sendiri, bahkan kadang membantu mamanya Mirna atau pun pembantunya mengurus tanaman di halaman depan. Keterlaluan betul.
Pramudya menghela napas dan meletakkan gagang telepon ke tempatnya, lantas bangkit.
“Brengsek!” ia berteriak sekuat suaranya.
“Hus!” Mama menegurnya dengan mata melotot.
Pramudya menyeringai, mukanya merah. Ia malu ditegur begitu oleh mamanya.
Ia kembali ke kamarnya dan langsung bergegas ke kamar mandi, tanpa
nyanyi-nyanyi kecil seperti biasanya.
Setelah mandi ia merasa tubuhnya lebih segar, jauh lebih segar daripada
tadi. Pikirannya sekarang mulai terbuka lagi. Kerusuhan dalam benaknya pun
telah mulai mereda. Ia menghidupkan perangkat sound systemnya. Lagu
Evermore-nya Dan Stevens – pemeran Beast dalam film Beauty and the Beast – segera mengisi atmosfer kamarnya.
Ia bersenandung, mengikuti lagu, sambil berpakaian. Malam Minggu kemarin, ia
pergi nonton film Beauty and the Beast dengan Murni di Metropole XXI. Asyik sekali
malam itu, ia tersenyum.
Menyaksikan film romantis sambil bergenggaman tangan, dan diikuti gelayutan
manja Murni di lengan kirinya, di sepanjang perjalanan menuju mobil di lapangan
parkir bioskop itu, ah... ia lantas terbang ke alam lamunan, menapak-tilas
setiap detik dari kebersamaan yang mereka lalui di malam yang indah itu.
“Pram...,” panggil Murni, saat mereka telah duduk di dalam mobil.
“Hm...?”
“Udah berapa lama ya kita?”
Pramudya menoleh Murni, ada tanya-tanya di dalam matanya. Murni rupanya
tahu hal ini, maka,
“Maksud aku... kita udah berapa lama jadian,” jelasnya.
“Oooh...,” gumam Pramudya, mengerti. Lalu ia berpikir, beberapa saat,
mencoba mengingat-ingat, sudah berapa lama mereka berpacaran.
“Enam minggu?” Murni mengira-ngira.
“Ya, ya, sekitar enam minggu,” Pramudya membenarkannya. Dan memang baru
enam minggu.
“Kenapa memangnya?” Pramudya bertanya kemudian.
Murni menggeleng pelan, lalu menunduk.
“Nggak apa-apa,” katanya, pelan. Pramudya mengamatinya.
“Kok kayaknya... kamu menyembunyikan sesuatu dari aku,” katanya, menodong.
Murni mengangkat muka, terlihat sedikit terkejut, dan buru-buru menggeleng.
“Nggak, nggak. Aku nggak nyembunyiin apa-apa kok dari kamu,” sangkalnya.
Pramudya menggeser posisi duduknya sehingga separuh punggungnya bersandar
pada pintu mobil, dan lalu ditatapnya mata Murni yang bening teduh itu.
“Tapi mata kamu bilang... ada yang kamu... ayolah, Murni, bilang aja...,”
bujuknya, lembut.
Murni memejam dan menggigit ujung bibir bawahnya. Pramudya meraih tangannya
dan menggenggamnya.
“Udah lama... aku pingin ngomong jujur sama kamu, Pram,” cetus Murni
akhirnya, setelah cukup lama kebisuan merajai suasana. “Sebetulnya... aku udah
lama cinta sama kamu, Pram. Udah lamaaa banget. Sejak sebelum kamu mengenal
aku....”
Pramudya menghela napas, tersenyum samar, tapi lalu menggeleng-geleng.
“Bukan itu, Murni... aku tau, bukan itu. Ayo, bilang aja. Nggak
apa-apa,kok,” ujarnya.
Murni terpojok, merasa tak bisa lagi bersembunyi dalam ungkapan yang
berbaur kebohongan. Ia menghela napas dalam dan menatap lurus-lurus ke dalam
mata lelaki yang dicintainya itu.
“Aku takut, Pram...,” lepasnya akhirnya, dengan suara bergetar.
Pramudya membelai tangan Murni dalam genggamannya, lalu mengecup jemarinya
dengan lembut.
“Apa sih yang kamu takutin? ‘Kan film tadi bukan film horor?” katanya,
mencoba mencairkan suasana dengan melucu.
Namun Murni tidak terpancing. Ia menggigit bibir. Di dalam matanya terlihat
ada kegelisahan yang sedang merusuhinya.
“Aku, aku... aku takut kamu memang...” Ia tak sanggup melanjutkan
kata-katanya.
“Apa, Murni? Ayo dong ngomong, apa yang memang...?” desak Pramudya.
Murni menggenggam tangan Pramudya dengan dua tangan. Menatap dengan tatapan
memohon belas kasihan. Dan bening merebak di sana.
“Tapi kamu janji ya, Pram. Kamu mau janji, 'kan? Kamu, kamu nggak akan
ninggalin aku, 'kan?” tuntutnya, beruntun, dengan suara bergetar oleh
kecemasan.
Pramudya tersenyum dan menyeka airmata Murni dengan punggung jemarinya.
“Iya, Murni, aku janji. Aku nggak akan ninggalin kamu,” ikrarnya,
lalu membelai wajah kekasihnya itu. “Tapi kamu harus bilang yang sejujurnya ya,
ada apa sebenarnya?”
“Betul, Pram? Kamu betul janji nggak akan ninggalin aku?” Murni
menangkupkan kedua tangan Pramudya dalam genggamannya. Matanya yang basah
mencari-cari keyakinan dalam mata Pramudya.
Pramudya mengangguk pasti, dengan senyum tulus.
“Oooh, Pram...!” Murni melonjak dari duduknya dan memeluk Pramudya
erat-erat. Hatinya berbunga kebahagiaan. “Terima kasih, Pram, terima kasih...!”
ucapnya, bercampur isak.
Pramudya balas memeluknya, dan mengusap-usap punggungnya dengan sayang.
“Iya, iya. Tapi bilang dong, ada apa sih sebenarnya?”
Murni melepaskan pelukannya dan duduk kembali ke tempatnya, lalu menyekai
air matanya. Pramudya membantu menyekai dengan tisu. Setelah wajahnya
bersih dari air mata, ia memandang Pramudya dengan senyum di bibirnya. Manis
sekali. Pramudya balas tersenyum padanya, seraya meraih kedua tangan gadis itu
ke dalam genggaman.
“Nah, sekarang, ngomong dong. Ada apa?” bujuknya.
“Kamu...,” Murni tersendat oleh keraguan. Namun senyum dan genggaman hangat
Pramudya memberinya kekuatan untuk melanjutkan. ”Kamu mencintai, Mbak Mirna?”
lepasnya.
Pramudya terkesiap, ia merasa seperti ada hantu yang tiba-tiba muncul dari
balik sinar kegembiraan di hatinya. Pertanyaan ini tak pernah diduganya sama
sekali.
“Kamu, kamu... eh, dari mana kamu tau dia?” Ia gelagapan, sedikit panik.
Wajah Murni seketika tergulung mendung. Ia menggeleng-geleng pelan.
“Aku cuma butuh jawaban kamu, Pram,” tiba-tiba suaranya terdengar agak
dingin dan ketus, dan itu mengingatkan Pramudya pada Mirna kalau jengkel. Apa
perempuan memang begitu? Bisa mendadak jadi dingin dan ketus kalau hatinya
diganggu rasa tak suka?
Pramudya terperangkap dalam kebimbangan. Ia tak tahu harus menjawab
bagaimana. Sebab, jauh di lubuk hatinya, ia memang merasa masih mencintai
Mirna. Tapi Murni....
“Kenapa diam, Pram? Kamu memang benar mencintainya?” Murni mendesaknya.
Suaranya terdengar seperti jaksa penuntut yang lagi mendakwa seorang penjahat.
Pramudya menggeleng-geleng, panik. “Nggak, nggak. Bukan itu masalahnya.”
“Terus, apa masalahnya?”
Pramudya menghela napas dalam, seraya menyandarkan sisi tubuhnya ke
sandaran jok mobil, dan lalu mengempaskannya kembali dengan keras. Kelihatan
sekali bahwa dia dalam posisi terpojok dan merasa kesulitan untuk membela diri.
“Kamu nggak ngerti persoalannya, Murni. Dia, dia....” Ia tak tahu harus
mengatakan apa.
“Dia kenapa? Lebih cantik dari aku, 'kan?”
“Bukan, bukan itu, Murni. Bukan soal cantik.”
“Abis apa? Dia lebih menyenangkan?”
“Nggak, bukan itu. Dia sahabatku, dia....”
“Dan sekaligus pacarmu, 'kan?” potong Murni, sinis.
Pramudya menghela napas. Putus asa. Ia sadar, soal ini bisa menghancurkan
semua mimpi indahnya dengan gadis ini. Dan tiba-tiba ia jadi merasa amat takut kalau hal itu benar-benar terjadi. Digenggamnya pangkal lengan Murni.
Sikapnya serius.
“Dengar, Murni. Dia bukan pacarku. Dan nggak akan pernah jadi pacarku. Dia
cuma sahabatku, sampai kapan pun.”
“Ya, udah aku duga kamu akan bilang begitu. Dan semua orang, kalau udah
kepepet kayak kamu gitu, pasti juga akan bilang begitu.”
“Dengar aku, Murni. Aku nggak cuma bisa bilang begitu, tapi juga bisa
membuktikannya. Sebab....”
“Sebab apa?”
Pramudya menghela napas lagi. Tiba-tiba ia seperti orang yang telah
kehabisan tenaga. Kedua tangannya yang menggenggam pangkal lengan Murni
terkulai. Ia menyandarkan sisi kepalanya ke sandaran jok mobil. Memandang Murni
dengan sirat sedih, malu, dan putus asa.
“Dia... pernah menolak cintaku....”
“Oh...!” Murni terbelalak, mulutnya terbuka. Lalu mendung yang menyaput
raut wajahnya tersingkap. Dari matanya tersemburat perasaan iba dari hatinya.
“Kamu...?” Ia tak sanggup mengungkapkan apa yang berkecamuk di dalam dadanya.
“Yah... begitulah,” gumam Pramudya. “Memang menyakitkan sekali. Tapi, aku
nggak perlu bersikap pengecut dengan memutuskan persahabatan hanya karena
persoalan itu, 'kan? Lagipula, aku memang udah bertekad, akan tetap bersahabat
dengannya biarpun dia telah menolak cintaku. Aku mau membuktikan ke dia, bahwa
aku nggak lemah karena cinta. Aku nggak akan pernah membencinya, biarpun dia
telah menyakiti hatiku, biarpun dia udah melukai perasaanku dengan penolakannya
itu.”
Murni melonjak dari duduknya dan menghambur memeluk kepala Pramudya.
“Udah, Pram, cukup. Nggak usah diterusin. Udah cukup...,” katanya. “Aku
minta maaf karena telah berprasangka buruk sama kamu.”
Pramudya mengusap-usap punggung Murni.
“Nggak apa-apa, Murni. Aku ngerti kok perasaan kamu...,” ujarnya.
Murni melepaskan rengkuhannya dan duduk kembali. Digenggamnya kedua tangan
Pramudya dan diciuminya. Wajahnya bercahaya oleh kebahagiaan yang memancar dari
hatinya. Perasaannya dilingkupi keteduhan dan kedamaian.
Baru setelah tiba di rumah, Pramudya terpikir akan beberapa hal mengenai
Murni-nya. Dari mana dia tahu soal Mirna? Ada hubungan apa sebenarnya dia
dengan Mirna? Dan kenapa pula dia tetap bersikeras merahasiakan tempat
tinggalnya? Pungkasannya, dia bertanya: Siapa sebenarnya Murni kekasihnya itu?
Pukul 18.30 Pramudya tiba di rumah Mirna. Di ruang tamu ia lihat ada
seorang gadis duduk, menghadap ke halaman. Raut mukanya betul-betul kurang enak
buat dilihat. Pramudya langsung masuk ke ruang itu.
Mirna menyambutnya dengan tatapan menyiratkan perasaan sebalnya.
“Kamu pikir menunggu itu pekerjaan yang enak, ya?” letupnya, begitu
Pramudya meletakkan pantat pada kursi, di depannya.
“Maaf, aku nggak tau kalo kamu sengaja nunggu aku di sini,” ucap Pramudya.
“Hm, maaf. Sederhana sekali...,” gumam Mirna, mengejek. “Kalau saja semua
kesalahan bisa dihapus dengan seucap kata maaf, entah akan jadi sesederhana apa
hidup ini....” Diam-diam Pramudya merasa heran; sejak kapan perempuan ketus ini
punya pemikiran bijak kayak begitu?
“Iya, deh. Jadi, aku harus gimana?”
Mirna mengangkat bahu, tak acuh, tidak peduli.
“Kamu 'kan udah bilang ‘maaf’, ya udah, mau gimana lagi?”
Pramudya memutuskan untuk diam. Tak berminat buat mencari gara-gara lagi.
“Kok kamu tiba-tiba berubah jadi pendiam begitu?” tegur Mirna.
Lha... salah lagi...! Pramudya menatapnya, merasa serba salah dan mulai kesal, menghela napas diam-diam.
“Aku cuma kuatir bikin kesalahan-kesalahan lagi,” sahutnya, kalem, menahan diri.
Mirna tersenyum miring. Sinis sekali.
“Sayangnya udah terlanjur.”
“Yah... sayang sekali...!” gumam Pramudya, seperti mengeluh. Ya ampuuunnn ini perempuan. Maunya apa, sih? Ubun-ubun Pramudya mulai beruap.
Mirna tersenyum. Kelihatannya dia merasa puas dengan menyerahnya Pramudya.
“Gimana dengan Murni?” tanyanya, menatap dengan pandangan mengejek. “Udah
siap buat menerima kenyataan?”
Pramudya balas menatapnya. Diam-diam hatinya gemetar. Namun ia berusaha
keras menyembunyikannya. Wajah Murni melintas dalam benaknya, dan runtunan semua saat indah yang telah mereka jalani selama enam minggu ini pun tertayang kembali setelahnya. Ah... ia raih kembali kesadarannya bersama helaan napas dalam. Lalu, seraya berusaha terlihat tenang, ia menjawab, kalem,
“Aku rasa, makin cepat aku tau akan lebih baik."
“Kamu nggak akan nyesel?”
“Aku nggak diajari buat menyesali apa pun yang terjadi, kecuali kalo itu terjadi karena perbuatanku yang berakibat merugikan orang lain.”
“Kamu nggak akan nyesel?”
“Aku nggak diajari buat menyesali apa pun yang terjadi, kecuali kalo itu terjadi karena perbuatanku yang berakibat merugikan orang lain.”
Mirna mencebik mengejek. “Boleh juga. Yah, mudah-mudahan aja kamu tabah
menghadapi kenyataan ini.”
“Makasih. Mudah-mudahan.”
Mirna menyorot ke dalam mata Pramudya, lekat, lalu. “Murniii!” teriaknya
dengan suara tinggi, teriakan seorang majikan.
“Saya, Non!” terdengar sahutan, agak jauh dari dalam.
Muka Pramudya mengernyit. Jantungnya mendadak berderap cepat. Hatinya mulai
diusik keresahan. Apa Murni seorang...? Kejadian saat pertama bertemu Murni di pasar swalayan segera tertayang kembali dalam benaknya. Mentega Wisjman kaleng terakhir. Ya mentega itulah yang telah mempertemukan hati mereka, di sana, ketika itu. Namun belum sempat ia terhanyut dalam lamunan, suara keras Mirna membuyarkannya.
“Ambilin minum! Dua! Gak pake lama, ya!” teriak Mirna lagi, memerintah.
“Iya, Non!” suara itu terdengar lagi, patuh.
Wajah Pramudya memucat. Padahal dia sudah berjuang keras untuk bersikap
tabah. Tapi hatinya yang menggigil memang tak bisa ditahannya. Ya, Tuhan...
jadi, Murni memang seorang... oh, nggak mungkin...! Nggak mungkin. Ia menghela
napas dalam-dalam dan menggigit bibir. Seperti film di-rewind kejadian di pasar swalayan itu berlintasan cepat di benaknya.
Pramudya menghentikan shopcart di depan rak produk mentega, dengan ragu ia meraih mentega Wisjman ukuran besar yang ternyata merupakan kaleng terakhir di situ. Ia merasa agak lega. Yah, untung masih kebagian, katanya di hati. Soalnya, produk itu merupakan pesanan inti mamanya. "Yang lain nggak dapat nggak apa-apa, tapi mentega Wisjman harus dapat!" tandas mamanya, tadi. Pasalnya, produk ini agak jarang yang jual. Sebab, selain harganya mahal, juga karena jarang orang yang mau membelinya, kecuali mereka yang biasa membuat kue. Dan mamanya lagi mau bikin kue buat arisan besok!
Cuma masalahnya, ukurannya tak sesuai yang diinginkan mamanya. Yang diminta mamanya ukuran 1 kg, sementara yang ada cuma tinggal ukuran 2 kg lebih itu. Daripada nggak dapat, ambil ajalah nggak apa-apa, putusnya, mendingan lebih daripada kurang, pikirnya. Namun, baru saja ia hendak meletakkan mentega itu di shopcart-nya, sebuah suara mengejutkannya.
"Yah, keduluan!"
Ia menoleh asal suara itu. Seorang gadis, dengan pakaian seperti tukang masak di warung makan, melihat ke mentega Wisjman di tangannya dengan tatapan seperti akan ditinggal pergi oleh pacarnya. Cantik, sih. Tapi kalo dilihat dari pakaian dan penampilannya yang kacau – rambutnya yang berantakan serta wajahnya yang seperti baru diangkat dari penggorengan... kayaknya sih dia ini asisten rumah tangga.
"Nggak ada lagi, ya? Cuma tinggal itu, ya? Aduuuh, mati deh gue!" Gadis itu panik. Seketika terlihat mau menangis. "Aduuuh... tolong yang itu buat aku, dong," pintanya kemudian, dengan wajah memelas. "Aku butuh banget soalnya."
Sebetulnya Pramudya kasihan melihat gadis itu. Tapi masalahnya, mamanya juga butuh sekali mentega itu!
"Yah... gimana, ya? Mamaku juga butuh banget sih soalnya," ujarnya, sedih.
"Mampus deh gue...!" Gadis itu memegang kepala dengan dua tangannya, lalu berputar-putar di tempatnya berpijak. Bingung. Panik. Pramudya benar-benar merasa kasihan melihatnya. Tapi masalahnya, kalau mentega itu diberikan kepadanya, dia harus mencari ke mana lagi? Yang ada, dia akan diomeli mamanya dan disuruh cari keliling kota sampai dapat! Wah, terima kasih, deh.
"Atau... gini aja, deh," Gadis itu punya ide. "Mama kamu butuhnya berapa banyak? Lebih dari sekilo?" tanyanya kemudian.
"Cuma sekilo, sih," jawab Pramudya.
"Nah, pas!" Gadis itu berseru girang. "Kalo gitu, itu mentega kita bagi dua aja! Aku butuhnya juga cuma sekitar sekilo aja, kok."
"Ha?" Pramudya bingung. "Gimana caranya? Kalengnya digergaji, gitu?"
"Ya nggaklah! Primitif banget sih cara berpikir kamu!" ujar gadis itu.
Widih, kurang ajar banget nih pembantu! Pramudya jadi sewot disebut primitif.
"Ya abis, gimana dong caranya?" tanyanya, keki.
"Gini," Gadis itu lalu menjelaskan caranya. "Ini aku yang bayar, terus kita bawa ke rumah kamu. Nah, seudah mama kamu ngambil sesuai yang dia butuhin, sisanya buat aku. Gitu."
"Jadi, aku nggak usah bayar?" Pramudya merasa kurang jelas soal bayar-membayarnya.
"Enak aja!" sentak gadis itu. "Ya bayarlah! Sekilo ya bayar harga sekilo!"
"Ya nggak usah pake marah juga, kali...!" Pramudya kesal.
"Eh, hehehe, sori," Gadis itu cengengesan. "Ya udah, yok kita bayar. Abis itu kita ke rumah kamu."
Semua rencana berjalan lancar, kecuali ketika Pramudya diminta mamanya untuk mengantarkan si gadis, Murni namanya, pulang ke rumahnya. Soalnya, entah pakai ilmu apa, dalam waktu yang sesingkat itu Murni bisa berhasil merebut hati mama Pramudya. Dan menyadari hal itu, di depan mamanya, Pramudya bersikap oke-oke saja. Tapi begitu di luar rumah, Pramudya langsung bikin perhitungan.
"Aku nganterin kamu pulang ini mau kamu bayar berapa?" tanyanya, tanpa basa-basi.
"Hah? Bayar?" Murni kaget, bingung. "Pake bayar, ya?"
"Ya iyalah!" sahut Pramudya, ketus. "Emangnya bensin gratis? Dan aku nyupirin nggak pake skill? Udah, anggep aja kamu naik taksi. Oke?"
Dengan wajah nelangsa, Murni menyetujui. "Iya, deh. Berapa bayarnya?"
"Ya tergantung jaraknyalah," sahut Pramudya, tetap ketus. "Kalo jauh, ya mahal. Tapi kalo deket, okelah aku kasih murah."
"Mahalnya tuh berapa?" Murni merasa gamang.
"Ya kita liat nantilah," sahut Pramudya.
Murni menyeringai kecut. Pasrah. Namun ketika telah sampai di tujuan, persisnya di depan mini market – karena Murni minta diturunkan di situ, saat Murni mau bayar, Pramudya sambil ketawa-tawa bilang,
"Nggak, nggak usah. Aku tadi cuma becanda kok, hehehe. Kamu jadi stres, ya?"
Murni melotot. "Ih, jahat banget, sih! Awas, ya. Besok-besok aku bales, deh!"
Pramudya tertawa-tawa saja menanggapinya. Dan Murni membalasnya pada keesokan harinya. Murni menelepon Pramudya dan menyuruhnya mengambil kue pesanan mamanya. Ditunggu di depan mini market tempat tadi malam ia turun – lokasi yang kemudian, dengan segala macam alasan, dijadikan tempat Murni turun kalau diantarkan pulang oleh Pramudya, sampai sekarang, supaya Pramudya tak tahu di mana rumahnya.
Karena lokasinya tak jauh dari kampusnya, maka Pramudya langsung ke sana sepulang kuliah. Agak lama ia menunggu di depan mini market itu, sampai tahu-tahu ada gadis cantik dan wangi berhenti di depannya, lalu menegurnya,
"Udah lama?"
"Hah?" Pramudya agak kaget. Memandang gadis itu dan merasa sepertinya pernah kenal. "Maaf... siapa, ya?" Ia ragu kalau gadis itu adalah Murni yang semalam itu.
Gadis cantik itu tertawa senang. Wah, Pramudya seketika merasa kena dirampok hatinya. Caranya tertawa, suara tawanya, membuatnya jadi semakin memesonakan hati. Pramudya sampai ternganga memandangnya! Tak percaya! Gadis yang tadi malam kayak babu itu, sekarang seperti artis! Wih, bening banget! jantung Pramudya jadi ngebut.
"Emang tadi malem aku keliatan parah banget ya jeleknya?" usik Murni, sambil mengatupkan mulut Pramudya dengan mendorong dagunya.
Pramudya menyeringai, "Ya gitu, deh."
"Hmm...." Murni manggut-manggut. "Ya udah, nih tolong kasihin ke mama kamu," diangsurkannya tas karton yang dibawanya.
Pramudya menerima tas karton itu, tapi lantas dapat ide.
"Gimana kalo kamu sendiri aja yang ngasihin ke mamaku?"
"Hmm...." Murni berpikir, lalu, "Sama kamu? Pake mobil kamu? Bayar nggak?" godanya.
"Kalo perlu, kamu yang aku bayar! Gimana?" sahut Pramudya, napsu.
Murni tertawa. Pramudya juga. Dan itulah awalnya. Dua minggu kemudian, mereka jadian.
Pramudya menghela napas dalam, kembali pada kesadaranya. Kembali pada kenyataan bahwa Murni dipanggil Mirna seperti memanggil pembantu. Nggak, nggak mungkin! Dia pasti bukan Murniku, bukan. Murni memang pernah kayak pembantu, tapi dia sebetulnya nggak akan pernah pantas jadi... oh, Tuhan, nggak. Jangan! Bukan dia! Pramudya merasa tubuhnya menggigil dan keringat dingin menyembur dari seluruh pori-pori yang ada di tubuhnya.
Pramudya menghentikan shopcart di depan rak produk mentega, dengan ragu ia meraih mentega Wisjman ukuran besar yang ternyata merupakan kaleng terakhir di situ. Ia merasa agak lega. Yah, untung masih kebagian, katanya di hati. Soalnya, produk itu merupakan pesanan inti mamanya. "Yang lain nggak dapat nggak apa-apa, tapi mentega Wisjman harus dapat!" tandas mamanya, tadi. Pasalnya, produk ini agak jarang yang jual. Sebab, selain harganya mahal, juga karena jarang orang yang mau membelinya, kecuali mereka yang biasa membuat kue. Dan mamanya lagi mau bikin kue buat arisan besok!
Cuma masalahnya, ukurannya tak sesuai yang diinginkan mamanya. Yang diminta mamanya ukuran 1 kg, sementara yang ada cuma tinggal ukuran 2 kg lebih itu. Daripada nggak dapat, ambil ajalah nggak apa-apa, putusnya, mendingan lebih daripada kurang, pikirnya. Namun, baru saja ia hendak meletakkan mentega itu di shopcart-nya, sebuah suara mengejutkannya.
"Yah, keduluan!"
Ia menoleh asal suara itu. Seorang gadis, dengan pakaian seperti tukang masak di warung makan, melihat ke mentega Wisjman di tangannya dengan tatapan seperti akan ditinggal pergi oleh pacarnya. Cantik, sih. Tapi kalo dilihat dari pakaian dan penampilannya yang kacau – rambutnya yang berantakan serta wajahnya yang seperti baru diangkat dari penggorengan... kayaknya sih dia ini asisten rumah tangga.
"Nggak ada lagi, ya? Cuma tinggal itu, ya? Aduuuh, mati deh gue!" Gadis itu panik. Seketika terlihat mau menangis. "Aduuuh... tolong yang itu buat aku, dong," pintanya kemudian, dengan wajah memelas. "Aku butuh banget soalnya."
Sebetulnya Pramudya kasihan melihat gadis itu. Tapi masalahnya, mamanya juga butuh sekali mentega itu!
"Yah... gimana, ya? Mamaku juga butuh banget sih soalnya," ujarnya, sedih.
"Mampus deh gue...!" Gadis itu memegang kepala dengan dua tangannya, lalu berputar-putar di tempatnya berpijak. Bingung. Panik. Pramudya benar-benar merasa kasihan melihatnya. Tapi masalahnya, kalau mentega itu diberikan kepadanya, dia harus mencari ke mana lagi? Yang ada, dia akan diomeli mamanya dan disuruh cari keliling kota sampai dapat! Wah, terima kasih, deh.
"Atau... gini aja, deh," Gadis itu punya ide. "Mama kamu butuhnya berapa banyak? Lebih dari sekilo?" tanyanya kemudian.
"Cuma sekilo, sih," jawab Pramudya.
"Nah, pas!" Gadis itu berseru girang. "Kalo gitu, itu mentega kita bagi dua aja! Aku butuhnya juga cuma sekitar sekilo aja, kok."
"Ha?" Pramudya bingung. "Gimana caranya? Kalengnya digergaji, gitu?"
"Ya nggaklah! Primitif banget sih cara berpikir kamu!" ujar gadis itu.
Widih, kurang ajar banget nih pembantu! Pramudya jadi sewot disebut primitif.
"Ya abis, gimana dong caranya?" tanyanya, keki.
"Gini," Gadis itu lalu menjelaskan caranya. "Ini aku yang bayar, terus kita bawa ke rumah kamu. Nah, seudah mama kamu ngambil sesuai yang dia butuhin, sisanya buat aku. Gitu."
"Jadi, aku nggak usah bayar?" Pramudya merasa kurang jelas soal bayar-membayarnya.
"Enak aja!" sentak gadis itu. "Ya bayarlah! Sekilo ya bayar harga sekilo!"
"Ya nggak usah pake marah juga, kali...!" Pramudya kesal.
"Eh, hehehe, sori," Gadis itu cengengesan. "Ya udah, yok kita bayar. Abis itu kita ke rumah kamu."
Semua rencana berjalan lancar, kecuali ketika Pramudya diminta mamanya untuk mengantarkan si gadis, Murni namanya, pulang ke rumahnya. Soalnya, entah pakai ilmu apa, dalam waktu yang sesingkat itu Murni bisa berhasil merebut hati mama Pramudya. Dan menyadari hal itu, di depan mamanya, Pramudya bersikap oke-oke saja. Tapi begitu di luar rumah, Pramudya langsung bikin perhitungan.
"Aku nganterin kamu pulang ini mau kamu bayar berapa?" tanyanya, tanpa basa-basi.
"Hah? Bayar?" Murni kaget, bingung. "Pake bayar, ya?"
"Ya iyalah!" sahut Pramudya, ketus. "Emangnya bensin gratis? Dan aku nyupirin nggak pake skill? Udah, anggep aja kamu naik taksi. Oke?"
Dengan wajah nelangsa, Murni menyetujui. "Iya, deh. Berapa bayarnya?"
"Ya tergantung jaraknyalah," sahut Pramudya, tetap ketus. "Kalo jauh, ya mahal. Tapi kalo deket, okelah aku kasih murah."
"Mahalnya tuh berapa?" Murni merasa gamang.
"Ya kita liat nantilah," sahut Pramudya.
Murni menyeringai kecut. Pasrah. Namun ketika telah sampai di tujuan, persisnya di depan mini market – karena Murni minta diturunkan di situ, saat Murni mau bayar, Pramudya sambil ketawa-tawa bilang,
"Nggak, nggak usah. Aku tadi cuma becanda kok, hehehe. Kamu jadi stres, ya?"
Murni melotot. "Ih, jahat banget, sih! Awas, ya. Besok-besok aku bales, deh!"
Pramudya tertawa-tawa saja menanggapinya. Dan Murni membalasnya pada keesokan harinya. Murni menelepon Pramudya dan menyuruhnya mengambil kue pesanan mamanya. Ditunggu di depan mini market tempat tadi malam ia turun – lokasi yang kemudian, dengan segala macam alasan, dijadikan tempat Murni turun kalau diantarkan pulang oleh Pramudya, sampai sekarang, supaya Pramudya tak tahu di mana rumahnya.
Karena lokasinya tak jauh dari kampusnya, maka Pramudya langsung ke sana sepulang kuliah. Agak lama ia menunggu di depan mini market itu, sampai tahu-tahu ada gadis cantik dan wangi berhenti di depannya, lalu menegurnya,
"Udah lama?"
"Hah?" Pramudya agak kaget. Memandang gadis itu dan merasa sepertinya pernah kenal. "Maaf... siapa, ya?" Ia ragu kalau gadis itu adalah Murni yang semalam itu.
Gadis cantik itu tertawa senang. Wah, Pramudya seketika merasa kena dirampok hatinya. Caranya tertawa, suara tawanya, membuatnya jadi semakin memesonakan hati. Pramudya sampai ternganga memandangnya! Tak percaya! Gadis yang tadi malam kayak babu itu, sekarang seperti artis! Wih, bening banget! jantung Pramudya jadi ngebut.
"Emang tadi malem aku keliatan parah banget ya jeleknya?" usik Murni, sambil mengatupkan mulut Pramudya dengan mendorong dagunya.
Pramudya menyeringai, "Ya gitu, deh."
"Hmm...." Murni manggut-manggut. "Ya udah, nih tolong kasihin ke mama kamu," diangsurkannya tas karton yang dibawanya.
Pramudya menerima tas karton itu, tapi lantas dapat ide.
"Gimana kalo kamu sendiri aja yang ngasihin ke mamaku?"
"Hmm...." Murni berpikir, lalu, "Sama kamu? Pake mobil kamu? Bayar nggak?" godanya.
"Kalo perlu, kamu yang aku bayar! Gimana?" sahut Pramudya, napsu.
Murni tertawa. Pramudya juga. Dan itulah awalnya. Dua minggu kemudian, mereka jadian.
Pramudya menghela napas dalam, kembali pada kesadaranya. Kembali pada kenyataan bahwa Murni dipanggil Mirna seperti memanggil pembantu. Nggak, nggak mungkin! Dia pasti bukan Murniku, bukan. Murni memang pernah kayak pembantu, tapi dia sebetulnya nggak akan pernah pantas jadi... oh, Tuhan, nggak. Jangan! Bukan dia! Pramudya merasa tubuhnya menggigil dan keringat dingin menyembur dari seluruh pori-pori yang ada di tubuhnya.
“Kok pucat, Pram? Bukannya tadi kamu udah bertekad untuk tabah menerima
semua kenyataan ini?” ujar Mirna, mencemooh. “Dia manis, 'kan? Iya, nggak? Cuma
sayangnya, dia itu adalah Pembantu. Pe-er-te! Pembantu Rumah Tangga! Ba-bu! Hebat 'kan pembantuku?”
Pramudya menyorot pada Mirna. Di matanya menyala-nyala kemarahan. Nggak,
nggak mungkin! hatinya bergejolak oleh berbagai perasaan yang mengamuk. Murni
nggak pantas jadi babu! Sama sekali nggak pantas! geramnya, di dada.
Dari ruang tengah terdengar suara langkah kaki, halus, kemudian muncullah dia. Murni!
Pramudya memandang pada gadis itu, dan semua kabut seketika tersingkap dan
semua badai kontan mereda. Ia merasa lega bukan main, karena ternyata gadis itu memang betul bukan
Murni-nya. Mungkin namanya memang benar Murni, tapi dia bukan Murni-nya!
Pramudya menyandar lunglai di tempat duduknya, seraya mengempaskan napas yang
tadi sempat ditahannya cukup lama. Ketegangan yang sesaat itu rupanya telah
menyedot seluruh tenaganya. Ia memejam dan bersyukur dalam hati.
Mirna mengerling pada Pramudya dengan sikap merendahkan, seraya bertanya
pada Murni – Si Pembantu.
“Murni, kamu kenal sama Mas ini?”
Murni memandang pada Pramudya dan lalu mengangguk. “Kenal, Non.”
“Siapa dia?”
“Teman Non Mirna, 'kan?.”
“Selain itu?”
Murni tersipu.
“Aah, Enon. 'Kan Enon udah tau,” sahutnya, lalu merunduk. “Saya jadi malu.”
“Ah, ya nggak apa-apa, Mur. Siapa aja boleh kok naksir Mas Pram ini. Jadi
pacarnya juga nggak apa-apa. Iya, nggak, Pram?” Mirna menoleh Pramudya dengan
senyum mengejek.
Saat itu, Pramudya sedang memandang pada Murni dengan wajah tercengang.
Murni naksir aku? Tapi tiba-tiba ujung matanya menangkap sosok orang yang
muncul di pintu masuk, ia menoleh ke sana dan terpana.
“Assalammu alaykum...,” ucap gadis itu, namun langkahnya mendadak kandas.
Ia terlihat kaget dan matanya terpacak pada Pramudya.
“Wa alaykum salaam. Lho, kok tumben pulang, Ri?" Mirna menoleh ke arah gadis itu, dan lalu memperkenalkannya pada Pramudya. "Eh, iya, kenalkan, Pram.
Ini adikku, Mariana. Dia baru pindah dari Jogja, soalnya diterima kuliah di UI.
Tapi dia tinggalnya di rumah tanteku, di Depok, supaya dekat ke tempat kuliah.”
“Hai, Pram,” sapa Mariana, setelah terbebas dari cengkeraman rasa kagetnya,
tersenyum simpul.
“Hai, Murni,” balas Pramudya, tersenyum bahagia, dadanya terasa amat luaaasss
oleh kelegaan. “Jadi, nama kamu yang sebenarnya... Mariana, ya?”
Mirna bingung, memerhatikan mereka bergantian.
“Maksudnya... apa sih ini?” cetusnya, ingin tahu.
*****
Direvisi dari cerita dengan judul yang sama,
yang telah diterbitkan di:
Majalah Gadis No. 17, 26 Juni-7 Juli 1983,
di bawah nama penulis: M. H. Thamrin
Mahesarani.
Revisi terakhir: 25 April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.