16 April 2016

Cerbung: Lewat Tengah Malam (1)


Lewat tengah malam,
kala tahun lama digebah,
saat tahun baru disambut,
dengan lengking dan terompet,
dan pancar kembang api,
lelaki dari impian itu
sekonyong-konyong menjelma,
nyata – laksana dalam mimpi.
Kusentuh dengan cinta
hingga akhir....

 Puisi pendek itu adalah gerbang dari segalanya. Ia catatan awal Nirmala atas pertemuan pertama kami, di permulaan tahun itu  pada empat tahun silam. Ia adalah penanda atas langkah perdana kami dalam memasuki jalan hidup kebersamaan, di antara surga dan neraka – dan Nirmala dengan setia melangkah di samping saya, berjuang melindungi saya dari neraka yang meraih-raih serta mencabik-cabik sisi dirinya. Ia adalah sumpah nyata Nirmala atas janji cinta dan kesetiaan – yang saya agungkan dalam altar cinta dan kesetiaan yang amat sakral, se­hingga saya lalai untuk merawat dan memeliharanya. Dan kini, semua­nya sudah terlambat untuk disadari. Keagungan itu, kesakralan itu, telah muksa bersama cahaya hidup Nirmala. Yang tersisa hanya jasad beku dari satu-satunya perempuan yang sepanjang empat tahun mengisi bagian terbesar hidup saya.
Dia adalah satu-satunya perempuan yang pernah saya cintai dengan sepenuh-penuh rasa cinta yang saya miliki dan bisa saya berikan. Dan dia pula satu-satunya perempuan yang pernah mencintai saya dengan se­penuh-penuh rasa cinta yang dimilikinya dan bisa diberikannya kepada saya.
Dia adalah satu-satunya perempuan bagi saya, yang datang bersama tengah malam.
***
Sebagai bocah, kesadaran saya dimulai dengan kenyataan bahwa saya adalah anak yatim-piatu. Saya tidak punya siapa-siapa di dunia ini kecuali teman-teman senasib saya, Bapak dan Ibu Ma'ruf, serta peng­urus panti asuhan - yang selalu berusaha tetap bersikap baik da­lam se­gala keadaan. Namun sejujurnya, kepahitan adalah atmosfer hidup keseharian yang kami ikhlasi.
Bapak dan Ibu Ma'ruf sebagai pendiri dan pengelola panti asuhan, se­tiap hari selalu mengingatkan kepada semua anak asuhannya: "Hari ini, Allah telah memberi apa yang kita butuhkan. Mari bersyukur de­ngan: Alhamdulillah. Untuk besok, mari berdoa: Ya Allah, berilah ka­mi rezeki secukupnya. Agar kami dapat menikmati dan mensyukuri karu­nia-Mu, hingga keping yang terkecil."
Secukupnya, itulah ukuran yang menjadi pegangan hidup kami. Dan saya menerima itu sebagai batas atas dan bawah dalam menjalani hidup. Tu­han mengaruniai saya kecerdasan secukupnya, dan saya mengimbangi­nya dengan belajar secukupnya, agar bisa diperoleh hasil yang men­cu­kupi – yaitu menduduki ranking pertama sejak kelas satu hingga tamat sekolah dasar. Itu cukup buat saya. Dan kecukupan itu kemudian me­nolong saya. Ada seorang dermawan bersedia membiayai pendidikan saya beserta beberapa teman hingga kami tamat sekolah menengah atas. Itu pun sudah cukup buat saya. Namun tidak bagi orang kaya tersebut.
Saya dan tiga orang teman saya, yang selalu menduduki ranking per­tama hingga tiga, ditawari beasiswa ke perguruan tinggi. Ketiga te­man saya segera menerima tawaran itu dengan gembira. Tapi saya me­nolak. Dermawan itu, Bapak Suryo Baskoro namanya – tapi ia ingin ka­mi memanggilnya Pak Baskoro saja, kaget dan melotot. Tentu saja, ka­re­na saya adalah anak asuh kesayangannya. "Kenapa?" Saya melihat gurat kekecewaan di dalam matanya.
"Maafkan saya, Pak," ucap saya, takzim. "Kalau Bapak tidak berke­be­ratan, tolong beri saya pekerjaan, supaya saya bisa membiayai ku­liah saya."
"Oh...," Pak Baskoro terhenyak lega, "begitu rupanya....!" Saya me­lihat sirat kebahagiaan di dalam matanya. "Jadi, itu yang kamu mau?" tanyanya, setelah berdiam diri beberapa waktu seraya memandang saya.
Saya mengangguk. "Maafkan kalau saya merepotkan Bapak," kata saya.
"Tidak, Mahesa," geleng Pak Baskoro, "bukan itu soalnya. Bapak ha­nya kuatir... jangan-jangan pekerjaan itu nantinya akan mengganggu kon­sentrasi belajarmu."
"Saya tahu itu, Pak," angguk saya. "Tapi tolong beri saya kesem­patan untuk belajar bertanggung jawab."
Pak Baskoro mengangguk-angguk, memandang saya dengan mata mere­nung. "Baiklah kalau memang itu mau kamu," ujarnya akhirnya. "Ini, datanglah ke kantor Bapak besok pagi." Diangsurkannya sepucuk kartu namanya pada saya.
"Terima kasih, Pak," saya terima kartu nama itu dengan hati amat gembira. "Insya Allah, besok pagi saya ke kantor Bapak."
Esoknya, saya sudah berada di ruang tamu di depan ruang kerja Pak Baskoro ketika ia dan istrinya datang. Dengan senyum gembira mereka menyambangi sa­ya, seperti kepada anak kesayangan mereka sendiri, merangkul dengan hangat dan mengajak saya masuk, ke ruang kerja Pak Baskoro.
"Bapak sudah bicara sama Ibu mengenai keinginan kamu," kata Pak Bas­koro sambil mempersilakan saya duduk dengan isyarat tangan. "Dan rupanya, Ibu diam-diam naksir sama kamu." Ia tersenyum langsung kepa­da saya. "Maka mulai hari ini, kamu Bapak serahkan kepada Ibu. Dan itu keberuntungan kamu. Asal... kamu tabah menghadapi kecerewetan dan kegalakannya." Ia menjeling kepada istrinya bersama senyum meng­goda. Istrinya berlagak cemberut menanggapinya.
"Terima kasih, Pak, Bu." Saya mengangguk takzim kepada Bapak dan Ibu Baskoro dengan setulus penghormatan. "Saya akan berusaha keras agar tidak mengecewakan Ibu dan juga Bapak."
"Bagus," ujar Pak Baskoro. "Selamat bekerja, Mahesa."
Itulah permulaan dari masa kejayaan hidup saya. Di bawah bimbingan Ibu Baskoro saya belajar segala seluk-beluk dan strategi pemasaran. Dan saya tak menyiakan kesempatan itu. Dengan penuh kesungguhan saya serap semua yang ia turunkan kepada saya. Sehingga dua tahun kemudian, saya telah dipo­si­si­kan sebagai asisten yuniornya. Itu sebenarnya sudah cukup buat sa­ya. Namun saya belum ingin berhenti. Saya terus mengejar pengeta­hu­an dalam bidang pemasaran ini, sambil berupaya bisa tetap mengim­bangi langkah-langkah brilian Ibu Baskoro yang rasanya selalu selang­kah di depan saya.
"Kamu akan bisa mengalahkan saya kalau kamu bisa membuang sifat ter­tutup kamu itu, Mahesa," ungkap Ibu Baskoro pada suatu hari, ke­ti­ka saya berhasil mengejutkannya dengan sebuah ide cemerlang. "Ber­gaullah dengan sejawat kita, baik dia teman maupun kompetitor, nis­ca­ya kamu akan banyak memperoleh masukan dari mereka. Dan dari sa­na­lah kamu akan belajar mengenai banyak hal."
Namun ternyata, syarat itu terlalu berat untuk bisa saya penuhi. Karena Tuhan menciptakan saya sebagai kreator yang diam – yang ber­di­ri di kejauhan dengan mengandalkan ketajaman daya pengamatan, dan bu­kan kreator yang senang pameran – yang berkeliling di tengah pesta un­tuk pamer dan menyaksikan pameran sejawatnya, agar bisa mencuri penge­tahuan dan kemudian merekayasa sesuatu dari sana. Tapi itu urus­an mereka. Saya sendiri sudah cukup punya banyak urusan dengan di­ri sendiri. Lagipula itu cuma masalah cara kerja. Jadi, selama ti­dak merugikan pihak lain secara nyata, itu sah-sah saja.
Jerih-payah saya dalam upaya mengompensasi kekurangan saya dalam pergaulan di kalangan para kreator pemasaran, membuahkan hasil yang mem­buat Ibu Baskoro jadi terkaget-kaget. Saya berhasil membangun sua­tu sistem kerja yang fokusnya adalah pada sistematika pembentukan kon­sep yang sempurna. Sehingga setiap saya mengajukan proposal, Ibu Baskoro hanya tinggal bilang, "Oke, saya ingin ini diaplikasikan!" Lantas sambil me­man­dang saya dengan dahi berkerut, berujar, "Kenapa saya nggak kepi­kir cara itu, ya?"
Hasilnya, saat menghadiri acara syukuran wisuda S1 saya di panti asuhan, Pak Baskoro dengan wajah serius berkata, "Dengar, Mahesa. Ka­lau kamu mau Bapak angkat jadi Direktur Pemasaran, Ibu tidak kebe­rat­an turun jadi wakil kamu. Nah, bagaimana menurut kamu?"
"Maaf, Pak. Terus-terang, saya lebih suka tetap jadi asisten Ibu. Soalnya...," sambil menyeringai saya lanjutkan, "kalau terjadi kesa­lah­an, yang harus Bapak panggil dan marahi 'kan Ibu, bukan saya."
Pak Baskoro seketika terbahak sambil menunjuk saya. "Hahaha, seka­rang saya percaya! Sekarang saya baru percaya!" ujarnya di sela ta­wa. "Ternyata apa yang Ibu sering bilang itu benar. Kamu itu se­betulnya nakal dan lucu!"
Menurut saya, setiap orang punya sisi diri seperti itu; nakal dan lucu. Tapi mengapa pada diri saya harus dipersoalkan? Apa karena sa­ya terlalu pendiam? Mungkin. Dan rasanya, sikap-sikap seperti itulah yang paling saya sukai dari Bapak dan Ibu Baskoro. Mereka senantiasa berusaha untuk dapat menerima dan mengerti akan sifat saya. Selalu ber­upaya agar bisa memahami saya.
Akan tetapi, ketika pada suatu hari menjelang tutup kantor di akhir tahun Pak Baskoro mendatangi saya dan mengatakan, "Mahesa, ini bu­kan perintah. Tapi saya ingin kamu hadir di acara Old and New ke­luarga besar saya di Ciloto, minggu depan. Kalau kamu tidak mau datang, ya tidak apa-apa. Cuma saya sarankan, mulai nanti sore buatlah surat la­maran kerja banyak-banyak. Supaya tahun depan ada orang lain yang mau menggaji kamu. Oke?" Saya kaget. Bukan oleh ancamannya, melain­kan pada arti dari perkataan itu. Ia meminta saya untuk datang ke pes­ta? Pesta keluarga besarnya? Apa tidak salah? Apa dia tak tahu ka­lau saya punya fobia sama yang namanya pesta? Apa dia tidak tahu bahwa saya senantiasa menghindari hadir di tengah keluarga besarnya? Apa dia... tapi bagaimana saya bisa menolak?
Dia telah melakukan banyak hal untuk saya, untuk mengangkat saya da­ri lembah kenestapaan hidup hingga ke jenjang ini. Dia adalah per­panjangan tangan Tuhan bagi saya. Dia yang menyekolahkan saya, men­cu­kupi kebutuhan saya dalam beberapa hal, serta membina dan menga­rah­kan saya laksana terhadap anak sendiri. Bagaimana mungkin saya bisa mengecewakannya?
***
Maka, pada 31 Desember petang, dengan mobil 'pinjaman' dari Ibu Bas­koro – yang diserahkan kepada saya bersama, "Kamu ini bagaimana, sih? Masak wakil direktur kok ke mana-mana naik angkutan umum! Ini, pakai mobil ini! Dan ingat, ke mana pun kamu pergi, untuk urusan apa pun, pakai mobil ini! Paham?" – saya masuki areal parkir Komplek Vila Keluarga Baskoro. Dan rasanya, di antara puluhan mobil yang ada di situ, mobil sayalah yang paling senior. Karena semuanya hampir masih baru!
Setelah memarkirkan mobil, saya turun dan berdiri bingung. Di ha­dapan saya ada beberapa bangunan yang semuanya bagus dan besar. Nah, sekarang saya harus ke mana? Di gedung yang mana Bapak dan Ibu Bas­koro berada? Waduuuh...! Saya menyeringai sambil garuk-garuk kepala tidak gatal. Terus-terang, situasi ini membuat saya jadi gugup. So­al­nya saya takut bertemu dengan keluarga Baskoro yang lain, di saat saya tidak sedang didampingi oleh Bapak atau Ibu Baskoro. Khususnya bertemu dengan anak-anak Bapak dan Ibu Baskoro, yang semuanya perem­puan, cantik, dan genit itu. Saya malu! Soalnya saya merasa, bagi me­reka, saya ini ibarat selembar kertas yang sudah mereka hapal isi tu­lisannya. Jadi, bagaimana mungkin saya bisa merasa punya muka ter­hadap mereka?
Mungkin karena saya terlihat seperti maling di tengah areal parkir itu, maka seorang petugas keamanan mendatangi saya. Tapi demi Tuhan, saya justru merasa tertolong karenanya. Alhamdulillah, dengan gembi­ra saya hampiri dia.
"Assalammu alaykum. Selamat sore, Pak," salam saya. "Maaf, saya mau minta tolong, Pak. Saya mau ketemu sama Bapak atau Ibu Baskoro."
Petugas keamanan itu meneliti saya sesaat. "Bapak siapa?"
"Saya pegawai beliau, Pak," jawab saya. "Mahesa nama saya."
"Ooo, Pak Mahesa!" seru petugas keamanan itu, tiba-tiba, seperti me­ne­mukan segenggam berlian. Saya sampai kaget dibuatnya. "Waduh, Ba­pak sudah ditunggu-tunggu sama Pak Baskoro! Sudah tujuh kali be­liau tanya sama saya: Pak Mahesa sudah datang apa belum? Nanti kalau dia datang, kamu antarkan dia ke saya, ya!" tuturnya kemudian, dengan antusias. "Mari, Pak, saya antarkan."
Jelas saya merasa bangga mendengar itu. Tapi bersamaan dengan itu, saya juga jadi kuatir. Hati kecil saya bilang, saya lagi diplonco. Jadi, saya harus siap lahir-batin untuk menanggung segala rasa malu. Petugas keamanan membawa saya ke salah satu gedung yang ternyata se­buah aula dan sekaligus lapangan tenis. Suasana di situ amat ramai oleh kegembiraan. Suara anak-anak yang ribut bermain serta orang-orang tua yang riuh berbincang dan bersenda-gurau. Namun, sungguh hebat, ledakan suara Pak Baskoro yang memang keras dengan seketika menumpas semuanya.
"Aa, ini dia! Akhirnya anak kesayanganku datang! Ke mari, Mahesa!"
Dari panggung di ujung lain aula, ia melambai saya. Kesadaran saya mem­bisikkan bahwa semua orang sedang melihat kepada saya. Dan itu ti­dak salah. Dengan wajah terasa kering dan lutut goyah, saya me­lang­kah menuju panggung  tempat Pak Baskoro berada – di ujung 'du­nia' sana. Suasana aula terasa amat-sangat hening dan mencekam, se­hingga rasanya saya bisa mendengar derap jantung saya yang bertalu-talu.
Namun tak saya duga, dengan rendah hati Pak Baskoro beranjak dari tempatnya dan menyambut saya di tengah aula. Ia tersenyum lebar pada saya, sambil berkacak pinggang. Tapi matanya meneliti saya, seperti biasanya.
"Selamat so...."
"Lho, kamu ndak bawa apa-apa?" Pak Baskoro membabat kata-kata saya dengan pertanyaannya itu.
Deg! Jantung saya terasa berhenti berdetak. Dan bersamaan dengan itu, saya merasa ada yang meledak di dalam benak saya. Apakah saya harus membawa sesuatu untuknya? Saya tergagap. "Iya, Pak, maaf, saya tidak bawa apa-apa."
"Cuma dengan begini ini kamu datang ke sini?" lengking Pak Bas­koro.
Wah, rasanya, saya akan melihat seorang Mahesa sedang membuat surat lamaran kerja sambil berlinangan airmata. Ya Allah... tolong saya, bisik saya di hati. "Iya, Pak," sahut saya, rendah.
"Kalau begitu," Pak Baskoro meninjau arlojinya, "sekarang ju­ga kamu kembali ke Jakarta, ambil keperluan kamu untuk menginap di si­ni selama tiga hari! Dan lekas berangkat!" Lalu ia berbalik, me­ninggalkan saya begitu saja.
Saya tercengang. O, jadi itu maksudnya. Tapi, serentak kemudian sa­ya jadi jengkel kepadanya. Tentu saja! Sebab waktu mengundang, ia cuma bilang saya harus hadir di Acara Old & New. Itu saja. Soal meng­inap, itu baru saya dengar sekarang ini. Jadi, wajarlah kalau saya mengumpat-umpat karena merasa dikerjai. Memangnya jarak Ciloto-Jakarta dekat? Memangnya tidak macet? Apa dia tidak tahu soal itu? Yang benar saja!
Ternyata dia tahu. Itu sebabnya dia menyuruh sopirnya mencegat saya di areal parkir vila. "Pak Baskoro menyuruh saya mengantar Pak Mahe­sa ke Jakarta untuk mengambil barang yang tertinggal." Lalu Pak So­pir yang seusia saya itu mengajak naik BMW. "Pak Baskoro menyuruh ki­ta naik mobil Ibu ini, supaya cepat."
Dan memang cepat. Sebelum acara Old & New dimulai, kami telah tiba kembali di vila. Padahal di tempat peristirahatan di tol Jagorawi ka­mi mampir setengah jam untuk sholat Isya. Seorang pemuda, entah siapa namanya dan apa jabatannya, mengantar saya ke kamar yang telah disiapkan. Setelah menyimpan barang bawaan serta membenahi diri, sa­ya tinggalkan kamar – dengan tetap dikawal oleh pemuda itu – dan me­nuju arena pesta di taman vila yang terletak di samping gedung aula. Pemuda itulah yang menunjukkan meja tempat saya bermukim pada pesta tersebut. Sebuah posisi yang tampaknya memang sudah diatur; di sudut taman yang agak terlindung, sehingga tidak semua orang menyadari ke­hadiran saya dan bisa mengusik saya. Alhamdulillah, rupanya Bapak dan Ibu Baskoro tidak melupakan 'siapa saya?' dan tabiat saya.
Pestanya berlangsung meriah. Seluruh Keluarga Besar Baskoro terli­hat sarat oleh kegembiraan dan semangat dalam menikmati hidup mere­ka. Nyanyi-nyanyi, melucu, lomba-lomba, pidato-pidato, dan segala ma­cam. Dari sudut taman, dengan asyik – meski sempat tertidur bebe­ra­pa jenak dan beberapa kali – saya menyaksikan semuanya. Asyik me­nonton segala ulah mereka yang sedang gembira itu, dan juga asyik de­ngan diri sendiri. Puncaknya, Pak Baskoro tampil ke panggung sam­bil membawa gelas minumnya serta terompet. Ia menyuruh semua orang untuk berdiri, mengangkat gelas minum masing-masing dan bersiap de­ngan terompet. Saya berdiri dan mengangkat gelas minum, tapi saya tak menemukan terompet di sekitar saya.
Jam digital besar di belakang Pak Baskoro menunjukkan bahwa akhir hari sudah hampir tiba. Lima detik menjelang pukul 00.00, Pak Baskoro bersama semua yang ada di arena pesta melakukan hitungan mundur, "Empat! Tiga! Dua! Satu!" Dan suara terompet kemudian mene­lan segalanya, lantas diikuti oleh luncuran kembang api, yang kemudian meletup dan memancarkan aneka bentuk dan warna yang indah dan terang di langit. Beberapa saat berselang, setelah runtunan kembang api berhenti diluncurkan, Pak Baskoro menun­jukkan kekuasaannya. Ia memberi isyarat dengan telunjuk tangan ka­nan­nya. Dan suara-suara seketika lenyap. Ia lantas mengangkat ge­las minumnya tinggi-tinggi, mengajak bersulang. "Selamat tahun ba­ru! Dan sukses buat kita semua!" serunya.
"Selamat tahun baru!" Semua orang menyambut serempak. Juga saya. Ke­mudian, atas komando Pak Baskoro, kami semua mereguk isi gelas mi­num kami. Sesudah itu, suara mereka terdengar hampir seramai suara terompet tadi. Padahal yang mereka lakukan hanya saling peluk dan cium pipi kanan pipi kiri saja, tapi mengapa suara mereka bisa jadi begitu ribut?
Saya kembali duduk dengan tenang. Terpikir juga oleh saya untuk mendatangi Bapak dan Ibu Baskoro, buat mengucapkan selamat tahun baru. Namun melihat bagaimana kusutnya situasi di tengah arena pesta itu, saya pikir: sekarang atau nanti, atau besok, atau bahkan bulan depan, masih dalam rangka awal tahun baru juga, 'kan? Jadi, ya nanti sajalah, ka­lau ada kesempatan bertemu dengan beliau-beliau itu. Dan beres su­dah. Saya segera asyik dengan diri sendiri lagi. Melamun. Membiarkan pikiran melantur ke mana-mana. Membiarkan diri membentuk kepompong-pikiran sehingga terpisah dari suasana di sekitar.
Namun keasyikan saya seketika bubar saat sosok itu tiba-tiba mun­cul di depan saya. Pak Baskoro! Rasanya saya bagai disambar geledek. Saya melompat bangkit dari duduk. Pak Baskoro tersenyum lebar pada saya.
"Selamat tahun baru, Mahesa," ucapnya, seraya mengangsurkan ta­ngan mengajak berjabatan. Tentu saja saya sambar dengan cepat. Erat.
"Selamat tahun baru juga, Pak," balas saya antusias. “Semoga tahun ini makin penuh keberkahan.”
“Aamiinnn.” Pak Baskoro menepuk-nepuk punggung tangan saya dalam jabatannya. Wajahnya terlihat menenteramkan hati dengan senyumnya itu. "Bagai­ma­na dengan sarangmu ini, he? Kamu suka?" tanyanya kemudian, seraya me­lihat ke sekitar meja saya.
"Suka, Pak," angguk saya. "Terima kasih, Bapak sudah repot-repot mengatur ini buat saya." ucap saya kemudian.
Pak Baskoro menggeleng. "Oh, bukan saya. Ini ide Ibu, bukan ide sa­ya," ujarnya. Dan saya melihat matanya terarah ke belakang saya. Be­berapa detik berikutnya, saya tahu apa yang dilihatnya itu.
"Wah, di sini rupanya singgasananya Mahesa, ya?" Itu suara Ibu Baskoro!
   Wah, wah, yang satu menyebutnya sebagai sarang, yang satunya menganggapnya sebagai singgasana. Jadi, ya okelah. Anggap saja saya berada di antara dua sebutan itu. Hm, lumayanlah.
Sambil menyeringai saya berpaling kepadanya. "Iya, Bu," sahut sa­ya. Ujung mata saya menangkap sesosok tubuh berparas cantik di sisi­nya. Sosok yang terasa langsung menancap di otak meski baru saya li­hat selintasan. Hanya kesadaran akan 'siapa saya?'lah yang bisa me­na­han saya buat tak berusaha menegasi penglihatan saya atasnya. De­ngan kacamata kuda, saya fokuskan tatapan pada Ibu Baskoro. Saya ang­surkan tangan bersama senyum yang paling bagus. "Selamat tahun ba­ru, Bu. Maaf, seharusnya saya yang mendatangi Ibu untuk mengucap­kan ini."
Ibu Baskoro tertawa. "Halah, lagakmu, Mahesa! Apa kamu pikir saya ndak ke­nal kamu apa? Sudahlah, ndak usah berlebihan. Kamu mau datang ke pesta ini saja sudah hebat, kok. Saya mau menuntut apa lagi dari ka­mu, he?" Sikapnya itulah yang membuat saya jadi sering merasa 'se­per­ti anaknya', dan saya sangat ingin bisa menjadi itu. "Selamat ta­hun baru ya, Mahesa. Semoga tambah sukses, tambah kreatif, dan tambah... oh, iya, ini kenalkan keponakan saya, Hes." Ia mengangsurkan sosok cantik itu ke hadapan saya.
Saya berpaling padanya. Tatapan kami bertemu, dan seketika itu juga ada gempa hebat yang mengguncang dada saya. Merontokkan semua yang ada di kepala sa­ya. Rasanya, yang tersisa hanya sebuah spanduk bertuliskan: "Sela­mat Tahun Baru", serta kesadaran bahwa nama saya masih tetap Mahesa. Dengan senyum terbaik yang saya miliki, saya angsurkan tangan kepa­danya. Dan disambut dengan jabatan hangat, bersama senyum terindah yang pernah saya lihat di sepanjang hidup saya.
"Nirmala." Sosok cantik itu menyebut namanya. Cocok! kata hati saya.
"Saya, Mahesa. Selamat tahun baru, ya?" balas saya, tidak lupa de­ngan pesan sponsor seperti yang tertera di spanduk dalam kepala saya.
"Selamat tahun baru juga," ucapnya, dengan senyum yang 'gila betul!' indahnya. Dan itu membuat saya jadi merasa sangat rombeng dibanding dirinya. Bagaimana tidak? Dia bagian dari Keluar­ga Besar Baskoro, sedang saya cuma seorang yatim-piatu. Dia begitu cantik, begitu memesona, sedangkan saya... mungkin monyet habis disambar geledek lebih bagus dari saya!
"Nah, Mahesa," pecah Ibu Baskoro. "Ibu titip Nirmala sama kamu, ya? Soalnya Ibu sama Bapak masih harus bergabung dengan yang lain. Ndak keberatan, 'kan? Dan jangan kuatir, dia ini semodel sama kamu, kok. Lebih suka hidup di tengah hutan daripada di tengah peradaban manusia." Ia tertawa melihat reaksi Nirmala. Wah, bahkan di saat ma­rah pun dia tetap terlihat cantik! Gila betul! Eh, apa saya yang gi­la, sehingga orang marah pun dianggap cantik? Entahlah. "Oke, Mahe­sa, Ibu pergi dulu. Dan kamu, Nirmala, awas, jangan galakin Mahesa, ya? Nanti dia nangis, lho!" kata Ibu Baskoro kemudian, lalu menerta­wai saya yang spontan meringis. "Ayo, Pa." Ia meraih lengan Pak Basko­ro, mengajak pergi.
Sebelum beranjak mengikuti seretan istrinya, Pak Baskoro masih sempat mem­be­ri pesan sponsor: "Oh, ya, Mahesa. Gaji kamu akan saya naikkan li­ma puluh persen kalau bisa mengajak ngobrol keponakan saya ini." Ia menunjuk saya. "Dan kamu, Nirmala. Kalau kamu bisa mengajak ngobrol Mahesa, BMW kamu Om ganti dengan yang baru. Tapi ingat, jangan hancurkan hati pemuda sentimentil ini, ya! Om nggak mau kehilangan wakil direktur pemasaran yang jenius ini. Ngerti kamu?" Ia ganti menunjuk Nir­ma­la. Seperti halnya saya, Nirmala pun tak bisa memberikan jawaban apa-apa. Dan tampaknya, Pak Baskoro memang tak mengharapkan itu dari kami. Itu sebabnya, usai menunjuk-nunjuk kami ia langsung menggelincir pergi bersama istrinya.
Setelah mereka pergi, refleks saya sebagai 'seorang bawahan' – atau sopan-san­tun seorang laki-laki sejati? – mendorong saya untuk menyiapkan kur­si buat Nirmala dan menyilakannya duduk. Dan pada saat itulah saya baru mengerti, mengapa di meja saya ini disediakan dua buah kursi.
"Terima kasih." Dengan indah Nirmala hinggap di kursi itu. Aroma parfum yang menghambur dari tubuhnya membuat jantung saya lupa ber­de­tak. Untung tidak untuk selamanya. Tapi sempat membuat saya lim­bung saat melangkah menuju tempat duduk. Wuih, aromanya! Cepat-cepat saya bantingkan pantat di kursi. Bisa ‘mabuk’ nih saya!
Namun masalah utama masih tetap ada. Komunikasi. Itu problemnya. Kepala saya kosong, itu penyakit khas saya bila berhadapan dengan pe­rempuan yang baru saya kenal – khususnya jika di antara kami tidak ada urusan pekerjaan. Saya tak tahu harus bicara apa, mulai dari mana, dan sebagainya-sebagainya. Sehingga saya bisa menerima kenya­ta­an bahwa hingga detik ini, saya belum pernah punya pacar.
"Sudah lama kerja di perusahaan Om Baskoro?" Tiba-tiba saya de­ngar suara itu. Dan saya amat bersyukur karenanya. Itu pertanyaan basa-basi yang sudah sering saya dengar. Pertanyaan yang biasa saya jawabi dengan tanpa berpikir. Cukup dengan refleks.
"Hampir lima tahun," jawab saya, begitu saja. Dan biasanya, perta­nyaan itu memunculkan pertanyaan yang sama di benak saya: "Kamu sen­diri, sudah berapa lama kerja di...". Tapi karena dia adalah kepo­nakan Bapak dan Ibu Baskoro, maka yang muncul adalah, "Kamu sendiri, anak dari kakak atau adiknya Bapak dan Ibu Baskoro?" Itu cukup sopan untuk ditanyakan saya rasa. Tapi, dasar otak lagi 'kena demam panggung', yang melompat dari bibir saya adalah, "Dan kamu sendiri, sudah berapa la­ma jadi keponakan Bapak dan Ibu Baskoro? Eh!" Tentu saja saya jadi kaget setengah matang karenanya. Wajah saya seketika terasa terbakar oleh rasa malu. Tapi apa boleh buat, omongan sudah terlanjur jatuh toh?
Akibatnya, Nirmala jadi ternganga, sesaat, sebelum akhirnya terta­wa sambil menutup mulutnya. Ya Allah, syukurlah saya telah begitu konyol melontarkan pertanyaan itu, sehingga saya bisa melihat tawa gadis cantik ini. Tawa yang begitu merdu! Begitu indah! Tapi, Demi Tuhan, bersamaan dengan itu saya merasa sangat ingin bisa masuk ke dalam bumi, supaya bi­sa menyembunyikan diri dari rasa malu ini.
"Nggak tau sejak kapan," jawab Nirmala sambil menahan tawanya. "Yang saya tau, suatu hari orangtua saya bilang: Nirmala, sini. Ka­sih salam sama Om dan Tante Baskoro. Dan sejak itu, saya jadi tahu bahwa mereka itu Om dan Tante saya," jelasnya.
Sekarang baru saya tahu, ternyata keseleo-otak itu kadang-kadang sangat perlu. Buktinya, gara-gara pertanyaan konyol itu, kami jadi bisa mengobrol lancar dan akrab. Entah kenapa bisa begitu. Tapi yang jelas, Nirmala jadi sering tertawa karena ulah konyol saya. Keko­nyolan yang kemudian memang sengaja saya rekayasa! Sehingga Nirmala menganjurkan saya untuk mencoba jadi komika (comic)  pelawak Stand-up Comedy.
Tanpa kami sadari, kami kemudian jadi mulai akrab. Dan semuanya te­rus berjalan dengan lancar. Nirmala gembira dan saya pun demikian. Lalu, paginya kami merasa senang saat bertemu lagi di ruang makan. Se­hingga, rasanya tidak percuma perjuangan saya untuk melawan 'kera­puhan diri saya' agar berani hadir di tengah Keluarga Besar Baskoro. Juga ketika makan siang dan makan malam. Sementara di antara waktu-waktu itu, kami hanya bisa saling mencuri lihat masing-masing. Esok­nya, kami sudah mulai terbiasa untuk saling menunjukkan perhatian. Dan esoknya lagi, pada hari terakhir kami di vila, pagi-pagi sekali Nirmala sudah menggedor pintu kamar saya – mengajak sarapan bersama. Pada hari itu, kami banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Dan tidak ada yang berani mengganggu kami! Bahkan mungkin setan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.