Lewat tengah malam,
kala tahun lama digebah,
saat tahun baru disambut,
dengan lengking dan terompet,
dan pancar kembang api,
lelaki dari impian itu
sekonyong-konyong menjelma,
nyata – laksana dalam mimpi.
Kusentuh dengan cinta
hingga akhir....
Puisi pendek itu adalah gerbang dari segalanya. Ia catatan awal Nirmala
atas pertemuan pertama kami, di permulaan tahun itu – pada empat tahun silam.
Ia adalah penanda atas langkah perdana kami dalam memasuki jalan hidup
kebersamaan, di antara surga dan neraka – dan Nirmala dengan setia melangkah di
samping saya, berjuang melindungi saya dari neraka yang meraih-raih serta
mencabik-cabik sisi dirinya. Ia adalah sumpah nyata Nirmala atas janji cinta
dan kesetiaan – yang saya agungkan dalam altar cinta dan kesetiaan yang amat
sakral, sehingga saya lalai untuk merawat dan memeliharanya. Dan kini, semuanya
sudah terlambat untuk disadari. Keagungan itu, kesakralan itu, telah muksa
bersama cahaya hidup Nirmala. Yang tersisa hanya jasad beku dari satu-satunya
perempuan yang sepanjang empat tahun mengisi bagian terbesar hidup saya.
Dia adalah satu-satunya perempuan yang pernah saya cintai dengan
sepenuh-penuh rasa cinta yang saya miliki dan bisa saya berikan. Dan dia pula
satu-satunya perempuan yang pernah mencintai saya dengan sepenuh-penuh rasa
cinta yang dimilikinya dan bisa diberikannya kepada saya.
Dia adalah satu-satunya perempuan bagi saya, yang datang bersama tengah
malam.
***
Sebagai bocah, kesadaran saya dimulai dengan kenyataan bahwa saya adalah
anak yatim-piatu. Saya tidak punya siapa-siapa di dunia ini kecuali teman-teman
senasib saya, Bapak dan Ibu Ma'ruf, serta pengurus panti asuhan - yang selalu
berusaha tetap bersikap baik dalam segala keadaan. Namun sejujurnya,
kepahitan adalah atmosfer hidup keseharian yang kami ikhlasi.
Bapak dan Ibu Ma'ruf sebagai pendiri dan pengelola panti asuhan, setiap
hari selalu mengingatkan kepada semua anak asuhannya: "Hari ini, Allah
telah memberi apa yang kita butuhkan. Mari bersyukur dengan: Alhamdulillah.
Untuk besok, mari berdoa: Ya Allah, berilah kami rezeki secukupnya. Agar kami
dapat menikmati dan mensyukuri karunia-Mu, hingga keping yang terkecil."
Secukupnya, itulah ukuran yang menjadi pegangan hidup kami. Dan saya
menerima itu sebagai batas atas dan bawah dalam menjalani hidup. Tuhan
mengaruniai saya kecerdasan secukupnya, dan saya mengimbanginya dengan belajar
secukupnya, agar bisa diperoleh hasil yang mencukupi – yaitu menduduki
ranking pertama sejak kelas satu hingga tamat sekolah dasar. Itu cukup buat
saya. Dan kecukupan itu kemudian menolong saya. Ada seorang dermawan bersedia
membiayai pendidikan saya beserta beberapa teman hingga kami tamat sekolah
menengah atas. Itu pun sudah cukup buat saya. Namun tidak bagi orang kaya
tersebut.
Saya dan tiga orang teman saya, yang selalu menduduki ranking pertama
hingga tiga, ditawari beasiswa ke perguruan tinggi. Ketiga teman saya segera
menerima tawaran itu dengan gembira. Tapi saya menolak. Dermawan itu, Bapak
Suryo Baskoro namanya – tapi ia ingin kami memanggilnya Pak Baskoro saja,
kaget dan melotot. Tentu saja, karena saya adalah anak asuh kesayangannya.
"Kenapa?" Saya melihat gurat kekecewaan di dalam matanya.
"Maafkan saya, Pak," ucap saya, takzim. "Kalau Bapak tidak
berkeberatan, tolong beri saya pekerjaan, supaya saya bisa membiayai kuliah
saya."
"Oh...," Pak Baskoro terhenyak lega, "begitu
rupanya....!" Saya melihat sirat kebahagiaan di dalam matanya.
"Jadi, itu yang kamu mau?" tanyanya, setelah berdiam diri beberapa
waktu seraya memandang saya.
Saya mengangguk. "Maafkan kalau saya merepotkan Bapak," kata
saya.
"Tidak, Mahesa," geleng Pak Baskoro, "bukan itu soalnya.
Bapak hanya kuatir... jangan-jangan pekerjaan itu nantinya akan mengganggu konsentrasi
belajarmu."
"Saya tahu itu, Pak," angguk saya. "Tapi tolong beri saya
kesempatan untuk belajar bertanggung jawab."
Pak Baskoro mengangguk-angguk, memandang saya dengan mata merenung.
"Baiklah kalau memang itu mau kamu," ujarnya akhirnya. "Ini,
datanglah ke kantor Bapak besok pagi." Diangsurkannya sepucuk kartu
namanya pada saya.
"Terima kasih, Pak," saya terima kartu nama itu dengan hati amat
gembira. "Insya Allah, besok pagi saya ke kantor Bapak."
Esoknya, saya sudah berada di ruang tamu di depan ruang kerja Pak Baskoro
ketika ia dan istrinya datang. Dengan senyum gembira mereka menyambangi saya,
seperti kepada anak kesayangan mereka sendiri, merangkul dengan hangat dan
mengajak saya masuk, ke ruang kerja Pak Baskoro.
"Bapak sudah bicara sama Ibu mengenai keinginan kamu," kata Pak
Baskoro sambil mempersilakan saya duduk dengan isyarat tangan. "Dan
rupanya, Ibu diam-diam naksir sama kamu." Ia tersenyum langsung kepada
saya. "Maka mulai hari ini, kamu Bapak serahkan kepada Ibu. Dan itu
keberuntungan kamu. Asal... kamu tabah menghadapi kecerewetan dan
kegalakannya." Ia menjeling kepada istrinya bersama senyum menggoda.
Istrinya berlagak cemberut menanggapinya.
"Terima kasih, Pak, Bu." Saya mengangguk takzim kepada Bapak dan
Ibu Baskoro dengan setulus penghormatan. "Saya akan berusaha keras agar tidak
mengecewakan Ibu dan juga Bapak."
"Bagus," ujar Pak Baskoro. "Selamat bekerja, Mahesa."
Itulah permulaan dari masa kejayaan hidup saya. Di bawah bimbingan Ibu
Baskoro saya belajar segala seluk-beluk dan strategi pemasaran. Dan saya tak
menyiakan kesempatan itu. Dengan penuh kesungguhan saya serap semua yang ia
turunkan kepada saya. Sehingga dua tahun kemudian, saya telah diposisikan
sebagai asisten yuniornya. Itu sebenarnya sudah cukup buat saya. Namun saya
belum ingin berhenti. Saya terus mengejar pengetahuan dalam bidang pemasaran
ini, sambil berupaya bisa tetap mengimbangi langkah-langkah brilian Ibu Baskoro
yang rasanya selalu selangkah di depan saya.
"Kamu akan bisa mengalahkan saya kalau kamu bisa membuang sifat tertutup
kamu itu, Mahesa," ungkap Ibu Baskoro pada suatu hari, ketika saya
berhasil mengejutkannya dengan sebuah ide cemerlang. "Bergaullah dengan
sejawat kita, baik dia teman maupun kompetitor, niscaya kamu akan banyak
memperoleh masukan dari mereka. Dan dari sanalah kamu akan belajar mengenai
banyak hal."
Namun ternyata, syarat itu terlalu berat untuk bisa saya penuhi. Karena
Tuhan menciptakan saya sebagai kreator yang diam – yang berdiri di kejauhan
dengan mengandalkan ketajaman daya pengamatan, dan bukan kreator yang senang
pameran – yang berkeliling di tengah pesta untuk pamer dan menyaksikan pameran
sejawatnya, agar bisa mencuri pengetahuan dan kemudian merekayasa sesuatu dari
sana. Tapi itu urusan mereka. Saya sendiri sudah cukup punya banyak urusan
dengan diri sendiri. Lagipula itu cuma masalah cara kerja. Jadi, selama tidak
merugikan pihak lain secara nyata, itu sah-sah saja.
Jerih-payah saya dalam upaya mengompensasi kekurangan saya dalam pergaulan
di kalangan para kreator pemasaran, membuahkan hasil yang membuat Ibu Baskoro
jadi terkaget-kaget. Saya berhasil membangun suatu sistem kerja yang fokusnya
adalah pada sistematika pembentukan konsep yang sempurna. Sehingga setiap saya
mengajukan proposal, Ibu Baskoro hanya tinggal bilang, "Oke, saya ingin
ini diaplikasikan!" Lantas sambil memandang saya dengan dahi berkerut,
berujar, "Kenapa saya nggak kepikir cara itu, ya?"
Hasilnya, saat menghadiri acara syukuran wisuda S1 saya di panti asuhan,
Pak Baskoro dengan wajah serius berkata, "Dengar, Mahesa. Kalau kamu mau
Bapak angkat jadi Direktur Pemasaran, Ibu tidak keberatan turun jadi wakil
kamu. Nah, bagaimana menurut kamu?"
"Maaf, Pak. Terus-terang, saya lebih suka tetap jadi asisten Ibu.
Soalnya...," sambil menyeringai saya lanjutkan, "kalau terjadi kesalahan,
yang harus Bapak panggil dan marahi 'kan Ibu, bukan saya."
Pak Baskoro seketika terbahak sambil menunjuk saya. "Hahaha, sekarang
saya percaya! Sekarang saya baru percaya!" ujarnya di sela tawa.
"Ternyata apa yang Ibu sering bilang itu benar. Kamu itu sebetulnya nakal
dan lucu!"
Menurut saya, setiap orang punya sisi diri seperti itu; nakal dan lucu.
Tapi mengapa pada diri saya harus dipersoalkan? Apa karena saya terlalu
pendiam? Mungkin. Dan rasanya, sikap-sikap seperti itulah yang paling saya
sukai dari Bapak dan Ibu Baskoro. Mereka senantiasa berusaha untuk dapat
menerima dan mengerti akan sifat saya. Selalu berupaya agar bisa memahami
saya.
Akan tetapi, ketika pada suatu hari menjelang tutup kantor di akhir tahun
Pak Baskoro mendatangi saya dan mengatakan, "Mahesa, ini bukan perintah.
Tapi saya ingin kamu hadir di acara Old and New keluarga besar saya di Ciloto,
minggu depan. Kalau kamu tidak mau datang, ya tidak apa-apa. Cuma saya
sarankan, mulai nanti sore buatlah surat lamaran kerja banyak-banyak. Supaya
tahun depan ada orang lain yang mau menggaji kamu. Oke?" Saya kaget. Bukan
oleh ancamannya, melainkan pada arti dari perkataan itu. Ia meminta saya untuk
datang ke pesta? Pesta keluarga besarnya? Apa tidak salah? Apa dia tak tahu kalau
saya punya fobia sama yang namanya pesta? Apa dia tidak tahu bahwa saya senantiasa
menghindari hadir di tengah keluarga besarnya? Apa dia... tapi bagaimana saya
bisa menolak?
Dia telah melakukan banyak hal untuk saya, untuk mengangkat saya dari
lembah kenestapaan hidup hingga ke jenjang ini. Dia adalah perpanjangan tangan
Tuhan bagi saya. Dia yang menyekolahkan saya, mencukupi kebutuhan saya dalam
beberapa hal, serta membina dan mengarahkan saya laksana terhadap anak
sendiri. Bagaimana mungkin saya bisa mengecewakannya?
***
Maka, pada 31 Desember petang, dengan mobil 'pinjaman' dari Ibu Baskoro –
yang diserahkan kepada saya bersama, "Kamu ini bagaimana, sih? Masak wakil
direktur kok ke mana-mana naik angkutan umum! Ini, pakai mobil ini! Dan ingat,
ke mana pun kamu pergi, untuk urusan apa pun, pakai mobil ini! Paham?" –
saya masuki areal parkir Komplek Vila Keluarga Baskoro. Dan rasanya, di antara puluhan
mobil yang ada di situ, mobil sayalah yang paling senior. Karena semuanya
hampir masih baru!
Setelah memarkirkan mobil, saya turun dan berdiri bingung. Di hadapan saya
ada beberapa bangunan yang semuanya bagus dan besar. Nah, sekarang saya harus
ke mana? Di gedung yang mana Bapak dan Ibu Baskoro berada? Waduuuh...! Saya
menyeringai sambil garuk-garuk kepala tidak gatal. Terus-terang, situasi ini
membuat saya jadi gugup. Soalnya saya takut bertemu dengan keluarga Baskoro
yang lain, di saat saya tidak sedang didampingi oleh Bapak atau Ibu Baskoro.
Khususnya bertemu dengan anak-anak Bapak dan Ibu Baskoro, yang semuanya perempuan,
cantik, dan genit itu. Saya malu! Soalnya saya merasa, bagi mereka, saya ini
ibarat selembar kertas yang sudah mereka hapal isi tulisannya. Jadi, bagaimana
mungkin saya bisa merasa punya muka terhadap mereka?
Mungkin karena saya terlihat seperti maling di tengah areal parkir itu,
maka seorang petugas keamanan mendatangi saya. Tapi demi Tuhan, saya justru
merasa tertolong karenanya. Alhamdulillah, dengan gembira saya hampiri dia.
"Assalammu alaykum. Selamat sore, Pak," salam saya. "Maaf,
saya mau minta tolong, Pak. Saya mau ketemu sama Bapak atau Ibu Baskoro."
Petugas keamanan itu meneliti saya sesaat. "Bapak siapa?"
"Saya pegawai beliau, Pak," jawab saya. "Mahesa nama
saya."
"Ooo, Pak Mahesa!" seru petugas keamanan itu, tiba-tiba, seperti
menemukan segenggam berlian. Saya sampai kaget dibuatnya. "Waduh, Bapak
sudah ditunggu-tunggu sama Pak Baskoro! Sudah tujuh kali beliau tanya sama
saya: Pak Mahesa sudah datang apa belum? Nanti kalau dia datang, kamu antarkan
dia ke saya, ya!" tuturnya kemudian, dengan antusias. "Mari, Pak,
saya antarkan."
Jelas saya merasa bangga mendengar itu. Tapi bersamaan dengan itu, saya
juga jadi kuatir. Hati kecil saya bilang, saya lagi diplonco. Jadi, saya harus
siap lahir-batin untuk menanggung segala rasa malu. Petugas keamanan membawa
saya ke salah satu gedung yang ternyata sebuah aula dan sekaligus lapangan
tenis. Suasana di situ amat ramai oleh kegembiraan. Suara anak-anak yang ribut
bermain serta orang-orang tua yang riuh berbincang dan bersenda-gurau. Namun,
sungguh hebat, ledakan suara Pak Baskoro yang memang keras dengan seketika
menumpas semuanya.
"Aa, ini dia! Akhirnya anak kesayanganku datang! Ke mari,
Mahesa!"
Dari panggung di ujung lain aula, ia melambai saya. Kesadaran saya membisikkan
bahwa semua orang sedang melihat kepada saya. Dan itu tidak salah. Dengan
wajah terasa kering dan lutut goyah, saya melangkah menuju panggung – tempat
Pak Baskoro berada – di ujung 'dunia' sana. Suasana aula terasa amat-sangat
hening dan mencekam, sehingga rasanya saya bisa mendengar derap jantung saya
yang bertalu-talu.
Namun tak saya duga, dengan rendah hati Pak Baskoro beranjak dari tempatnya
dan menyambut saya di tengah aula. Ia tersenyum lebar pada saya, sambil
berkacak pinggang. Tapi matanya meneliti saya, seperti biasanya.
"Selamat so...."
"Lho, kamu ndak bawa apa-apa?" Pak Baskoro membabat kata-kata
saya dengan pertanyaannya itu.
Deg! Jantung saya terasa berhenti berdetak. Dan bersamaan dengan itu, saya
merasa ada yang meledak di dalam benak saya. Apakah saya harus membawa sesuatu
untuknya? Saya tergagap. "Iya, Pak, maaf, saya tidak bawa apa-apa."
"Cuma dengan begini ini kamu datang ke sini?" lengking Pak Baskoro.
Wah, rasanya, saya akan melihat seorang Mahesa sedang membuat surat lamaran
kerja sambil berlinangan airmata. Ya Allah... tolong saya, bisik saya di hati.
"Iya, Pak," sahut saya, rendah.
"Kalau begitu," Pak Baskoro meninjau arlojinya, "sekarang juga
kamu kembali ke Jakarta, ambil keperluan kamu untuk menginap di sini selama
tiga hari! Dan lekas berangkat!" Lalu ia berbalik, meninggalkan saya
begitu saja.
Saya tercengang. O, jadi itu maksudnya. Tapi, serentak kemudian saya jadi
jengkel kepadanya. Tentu saja! Sebab waktu mengundang, ia cuma bilang saya
harus hadir di Acara Old & New. Itu saja. Soal menginap, itu baru saya
dengar sekarang ini. Jadi, wajarlah kalau saya mengumpat-umpat karena merasa
dikerjai. Memangnya jarak Ciloto-Jakarta dekat? Memangnya tidak macet? Apa dia
tidak tahu soal itu? Yang benar saja!
Ternyata dia tahu. Itu sebabnya dia menyuruh sopirnya mencegat saya di
areal parkir vila. "Pak Baskoro menyuruh saya mengantar Pak Mahesa ke
Jakarta untuk mengambil barang yang tertinggal." Lalu Pak Sopir yang
seusia saya itu mengajak naik BMW. "Pak Baskoro menyuruh kita naik mobil
Ibu ini, supaya cepat."
Dan memang cepat. Sebelum acara Old & New dimulai, kami telah tiba
kembali di vila. Padahal di tempat peristirahatan di tol Jagorawi kami mampir
setengah jam untuk sholat Isya. Seorang pemuda, entah siapa namanya dan apa
jabatannya, mengantar saya ke kamar yang telah disiapkan. Setelah menyimpan barang
bawaan serta membenahi diri, saya tinggalkan kamar – dengan tetap dikawal oleh
pemuda itu – dan menuju arena pesta di taman vila yang terletak di samping
gedung aula. Pemuda itulah yang menunjukkan meja tempat saya bermukim pada
pesta tersebut. Sebuah posisi yang tampaknya memang sudah diatur; di sudut
taman yang agak terlindung, sehingga tidak semua orang menyadari kehadiran
saya dan bisa mengusik saya. Alhamdulillah, rupanya Bapak dan Ibu Baskoro tidak
melupakan 'siapa saya?' dan tabiat saya.
Pestanya berlangsung meriah. Seluruh Keluarga Besar Baskoro terlihat sarat
oleh kegembiraan dan semangat dalam menikmati hidup mereka. Nyanyi-nyanyi,
melucu, lomba-lomba, pidato-pidato, dan segala macam. Dari sudut taman, dengan
asyik – meski sempat tertidur beberapa jenak dan beberapa kali – saya
menyaksikan semuanya. Asyik menonton segala ulah mereka yang sedang gembira
itu, dan juga asyik dengan diri sendiri. Puncaknya, Pak Baskoro tampil ke
panggung sambil membawa gelas minumnya serta terompet. Ia menyuruh semua orang
untuk berdiri, mengangkat gelas minum masing-masing dan bersiap dengan
terompet. Saya berdiri dan mengangkat gelas minum, tapi saya tak menemukan
terompet di sekitar saya.
Jam digital besar di belakang Pak Baskoro menunjukkan bahwa akhir hari
sudah hampir tiba. Lima detik menjelang pukul 00.00, Pak Baskoro bersama semua
yang ada di arena pesta melakukan hitungan mundur, "Empat! Tiga! Dua!
Satu!" Dan suara terompet kemudian menelan segalanya, lantas diikuti oleh
luncuran kembang api, yang kemudian meletup dan memancarkan aneka bentuk dan warna yang
indah dan terang di langit. Beberapa saat berselang, setelah runtunan kembang api
berhenti diluncurkan, Pak Baskoro menunjukkan kekuasaannya. Ia memberi isyarat
dengan telunjuk tangan kanannya. Dan suara-suara seketika lenyap. Ia
lantas mengangkat gelas minumnya tinggi-tinggi, mengajak bersulang.
"Selamat tahun baru! Dan sukses buat kita semua!" serunya.
"Selamat tahun baru!" Semua orang menyambut serempak. Juga saya.
Kemudian, atas komando Pak Baskoro, kami semua mereguk isi gelas minum kami.
Sesudah itu, suara mereka terdengar hampir seramai suara terompet tadi. Padahal
yang mereka lakukan hanya saling peluk dan cium pipi kanan pipi kiri saja, tapi
mengapa suara mereka bisa jadi begitu ribut?
Saya kembali duduk dengan tenang. Terpikir juga oleh saya untuk mendatangi
Bapak dan Ibu Baskoro, buat mengucapkan selamat tahun baru. Namun melihat
bagaimana kusutnya situasi di tengah arena pesta itu, saya pikir: sekarang atau
nanti, atau besok, atau bahkan bulan depan, masih dalam rangka awal tahun baru
juga, 'kan? Jadi, ya nanti sajalah, kalau ada kesempatan bertemu dengan
beliau-beliau itu. Dan beres sudah. Saya segera asyik dengan diri sendiri
lagi. Melamun. Membiarkan pikiran melantur ke mana-mana. Membiarkan diri
membentuk kepompong-pikiran sehingga terpisah dari suasana di sekitar.
Namun keasyikan saya seketika bubar saat sosok itu tiba-tiba muncul di
depan saya. Pak Baskoro! Rasanya saya bagai disambar geledek. Saya melompat
bangkit dari duduk. Pak Baskoro tersenyum lebar pada saya.
"Selamat tahun baru, Mahesa," ucapnya, seraya mengangsurkan tangan
mengajak berjabatan. Tentu saja saya sambar dengan cepat. Erat.
"Selamat tahun baru juga, Pak," balas saya antusias. “Semoga
tahun ini makin penuh keberkahan.”
“Aamiinnn.” Pak Baskoro menepuk-nepuk punggung tangan saya dalam
jabatannya. Wajahnya terlihat menenteramkan hati dengan senyumnya itu.
"Bagaimana dengan sarangmu ini, he? Kamu suka?" tanyanya kemudian,
seraya melihat ke sekitar meja saya.
"Suka, Pak," angguk saya. "Terima kasih, Bapak sudah
repot-repot mengatur ini buat saya." ucap saya kemudian.
Pak Baskoro menggeleng. "Oh, bukan saya. Ini ide Ibu, bukan ide saya,"
ujarnya. Dan saya melihat matanya terarah ke belakang saya. Beberapa detik
berikutnya, saya tahu apa yang dilihatnya itu.
"Wah, di sini rupanya singgasananya Mahesa, ya?" Itu suara Ibu
Baskoro!
Wah, wah, yang satu menyebutnya sebagai sarang, yang satunya menganggapnya sebagai singgasana. Jadi, ya okelah. Anggap saja saya berada di antara dua sebutan itu. Hm, lumayanlah.
Wah, wah, yang satu menyebutnya sebagai sarang, yang satunya menganggapnya sebagai singgasana. Jadi, ya okelah. Anggap saja saya berada di antara dua sebutan itu. Hm, lumayanlah.
Sambil menyeringai saya berpaling kepadanya. "Iya, Bu," sahut saya.
Ujung mata saya menangkap sesosok tubuh berparas cantik di sisinya. Sosok yang
terasa langsung menancap di otak meski baru saya lihat selintasan. Hanya
kesadaran akan 'siapa saya?'lah yang bisa menahan saya buat tak berusaha
menegasi penglihatan saya atasnya. Dengan kacamata kuda, saya fokuskan tatapan
pada Ibu Baskoro. Saya angsurkan tangan bersama senyum yang paling bagus.
"Selamat tahun baru, Bu. Maaf, seharusnya saya yang mendatangi Ibu untuk
mengucapkan ini."
Ibu Baskoro tertawa. "Halah, lagakmu, Mahesa! Apa kamu pikir saya ndak
kenal kamu apa? Sudahlah, ndak usah berlebihan. Kamu mau datang ke pesta ini
saja sudah hebat, kok. Saya mau menuntut apa lagi dari kamu, he?"
Sikapnya itulah yang membuat saya jadi sering merasa 'seperti anaknya', dan
saya sangat ingin bisa menjadi itu. "Selamat tahun baru ya, Mahesa. Semoga
tambah sukses, tambah kreatif, dan tambah... oh, iya, ini kenalkan keponakan
saya, Hes." Ia mengangsurkan sosok cantik itu ke hadapan saya.
Saya berpaling padanya. Tatapan kami bertemu, dan seketika itu juga ada
gempa hebat yang mengguncang dada saya. Merontokkan semua yang ada di kepala saya.
Rasanya, yang tersisa hanya sebuah spanduk bertuliskan: "Selamat Tahun
Baru", serta kesadaran bahwa nama saya masih tetap Mahesa. Dengan senyum
terbaik yang saya miliki, saya angsurkan tangan kepadanya. Dan disambut dengan
jabatan hangat, bersama senyum terindah yang pernah saya lihat di sepanjang
hidup saya.
"Nirmala." Sosok cantik itu menyebut namanya. Cocok! kata hati
saya.
"Saya, Mahesa. Selamat tahun baru, ya?" balas saya, tidak lupa dengan
pesan sponsor seperti yang tertera di spanduk dalam kepala saya.
"Selamat tahun baru juga," ucapnya, dengan senyum yang 'gila
betul!' indahnya. Dan itu membuat saya jadi merasa sangat rombeng dibanding
dirinya. Bagaimana tidak? Dia bagian dari Keluarga Besar Baskoro, sedang saya
cuma seorang yatim-piatu. Dia begitu cantik, begitu memesona, sedangkan saya...
mungkin monyet habis disambar geledek lebih bagus dari saya!
"Nah, Mahesa," pecah Ibu Baskoro. "Ibu titip Nirmala sama
kamu, ya? Soalnya Ibu sama Bapak masih harus bergabung dengan yang lain. Ndak
keberatan, 'kan? Dan jangan kuatir, dia ini semodel sama kamu, kok. Lebih suka
hidup di tengah hutan daripada di tengah peradaban manusia." Ia tertawa
melihat reaksi Nirmala. Wah, bahkan di saat marah pun dia tetap terlihat
cantik! Gila betul! Eh, apa saya yang gila, sehingga orang marah pun dianggap
cantik? Entahlah. "Oke, Mahesa, Ibu pergi dulu. Dan kamu, Nirmala, awas,
jangan galakin Mahesa, ya? Nanti dia nangis, lho!" kata Ibu Baskoro
kemudian, lalu menertawai saya yang spontan meringis. "Ayo, Pa." Ia
meraih lengan Pak Baskoro, mengajak pergi.
Sebelum beranjak mengikuti seretan istrinya, Pak Baskoro masih sempat memberi
pesan sponsor: "Oh, ya, Mahesa. Gaji kamu akan saya naikkan lima puluh
persen kalau bisa mengajak ngobrol keponakan saya ini." Ia menunjuk saya.
"Dan kamu, Nirmala. Kalau kamu bisa mengajak ngobrol Mahesa, BMW kamu Om
ganti dengan yang baru. Tapi ingat, jangan hancurkan hati pemuda sentimentil
ini, ya! Om nggak mau kehilangan wakil direktur pemasaran yang jenius ini. Ngerti
kamu?" Ia ganti menunjuk Nirmala. Seperti halnya saya, Nirmala pun tak
bisa memberikan jawaban apa-apa. Dan tampaknya, Pak Baskoro memang tak
mengharapkan itu dari kami. Itu sebabnya, usai menunjuk-nunjuk kami ia langsung
menggelincir pergi bersama istrinya.
Setelah mereka pergi, refleks saya sebagai 'seorang bawahan' – atau
sopan-santun seorang laki-laki sejati? – mendorong saya untuk menyiapkan kursi
buat Nirmala dan menyilakannya duduk. Dan pada saat itulah saya baru mengerti,
mengapa di meja saya ini disediakan dua buah kursi.
"Terima kasih." Dengan indah Nirmala hinggap di kursi itu. Aroma
parfum yang menghambur dari tubuhnya membuat jantung saya lupa berdetak.
Untung tidak untuk selamanya. Tapi sempat membuat saya limbung saat melangkah
menuju tempat duduk. Wuih, aromanya! Cepat-cepat saya bantingkan pantat di
kursi. Bisa ‘mabuk’ nih saya!
Namun masalah utama masih tetap ada. Komunikasi. Itu problemnya. Kepala
saya kosong, itu penyakit khas saya bila berhadapan dengan perempuan yang baru
saya kenal – khususnya jika di antara kami tidak ada urusan pekerjaan. Saya tak
tahu harus bicara apa, mulai dari mana, dan sebagainya-sebagainya. Sehingga
saya bisa menerima kenyataan bahwa hingga detik ini, saya belum pernah punya
pacar.
"Sudah lama kerja di perusahaan Om Baskoro?" Tiba-tiba saya dengar
suara itu. Dan saya amat bersyukur karenanya. Itu pertanyaan basa-basi yang
sudah sering saya dengar. Pertanyaan yang biasa saya jawabi dengan tanpa
berpikir. Cukup dengan refleks.
"Hampir lima tahun," jawab saya, begitu saja. Dan biasanya, pertanyaan
itu memunculkan pertanyaan yang sama di benak saya: "Kamu sendiri, sudah
berapa lama kerja di...". Tapi karena dia adalah keponakan Bapak dan Ibu
Baskoro, maka yang muncul adalah, "Kamu sendiri, anak dari kakak atau
adiknya Bapak dan Ibu Baskoro?" Itu cukup sopan untuk ditanyakan saya
rasa. Tapi, dasar otak lagi 'kena demam panggung', yang melompat dari bibir saya adalah,
"Dan kamu sendiri, sudah berapa lama jadi keponakan Bapak dan Ibu
Baskoro? Eh!" Tentu saja saya jadi kaget setengah matang karenanya. Wajah
saya seketika terasa terbakar oleh rasa malu. Tapi apa boleh buat, omongan
sudah terlanjur jatuh toh?
Akibatnya, Nirmala jadi ternganga, sesaat, sebelum akhirnya tertawa sambil
menutup mulutnya. Ya Allah, syukurlah saya telah begitu konyol melontarkan
pertanyaan itu, sehingga saya bisa melihat tawa gadis cantik ini. Tawa yang
begitu merdu! Begitu indah! Tapi, Demi Tuhan, bersamaan dengan itu saya merasa
sangat ingin bisa masuk ke dalam bumi, supaya bisa menyembunyikan diri dari
rasa malu ini.
"Nggak tau sejak kapan," jawab Nirmala sambil menahan tawanya.
"Yang saya tau, suatu hari orangtua saya bilang: Nirmala, sini. Kasih
salam sama Om dan Tante Baskoro. Dan sejak itu, saya jadi tahu bahwa mereka
itu Om dan Tante saya," jelasnya.
Sekarang baru saya tahu, ternyata keseleo-otak itu kadang-kadang sangat
perlu. Buktinya, gara-gara pertanyaan konyol itu, kami jadi bisa mengobrol
lancar dan akrab. Entah kenapa bisa begitu. Tapi yang jelas, Nirmala jadi
sering tertawa karena ulah konyol saya. Kekonyolan yang kemudian memang sengaja saya
rekayasa! Sehingga Nirmala menganjurkan saya untuk mencoba jadi komika (comic) – pelawak Stand-up Comedy.
Tanpa kami sadari, kami kemudian jadi mulai akrab. Dan semuanya terus
berjalan dengan lancar. Nirmala gembira dan saya pun demikian. Lalu, paginya
kami merasa senang saat bertemu lagi di ruang makan. Sehingga, rasanya tidak
percuma perjuangan saya untuk melawan 'kerapuhan diri saya' agar berani hadir
di tengah Keluarga Besar Baskoro. Juga ketika makan siang dan makan malam.
Sementara di antara waktu-waktu itu, kami hanya bisa saling mencuri lihat
masing-masing. Esoknya, kami sudah mulai terbiasa untuk saling menunjukkan
perhatian. Dan esoknya lagi, pada hari terakhir kami di vila, pagi-pagi sekali
Nirmala sudah menggedor pintu kamar saya – mengajak sarapan bersama. Pada hari
itu, kami banyak menghabiskan waktu bersama-sama. Dan tidak ada yang berani
mengganggu kami! Bahkan mungkin setan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.