02 Mei 2016

Cerpen: Bingkai Hati

Dengan mata setengah terpicing Anggraini mencoba menafsirkan siapa sebenarnya bayangan itu. Bayangan yang sedang membuka pintu pagar rumah kostnya. Ia tak berhasil, karena bayangan itu tampak sangat jauh dan hanya berupa siluet kabur. Diam-diam ia jadi sedikit menyesal karena tadi tak mengenakan kacamatanya.
“Pasti nggak pakai kacamata,” bayangan itu nyeletuk dengan suara khasnya.
“Ah, kamu! Kupikir siapa,” ujar Anggraini pada bayangan yang masih lima meter darinya itu. “Ada angin apa nih, Lang?”
“Ya, macem-macem. Ada angin Mamiri, ada tolak angin, ada juga yang masuk angin,” jawab Langga, si bayangan itu. “Kamu mau yang mana?”
Anggraini tertawa kecil. Langga tiba di hadapannya dan duduk di kursi, di samping kirinya.
“Eh, nggak salah nih? Rapi banget kamu?” komentar Anggraini, memerhatikannya.
“Takjub, 'kan?”
“Ya, jelas, dong. Soalnya... nggak biasa-biasanya, sih.”
“Emang biasanya gimana?”
“Ya... kayak orang baru bangun tidur dan nggak sempet ganti pakaian.”
Langga terkekeh-kekeh. “Parah, ya?”
“Banget,” Anggraini mengangguk dan lantas tertawa kecil.
Langga kemudian sibuk dengan pakaiannya, merapikannya di sana-sini. Anggraini memerhatikannya sambil mengulum senyum.
“Udaaah, masih rapi, kok...!” ganggu gadis itu kemudian, lalu tertawa ketika Langga menolehnya sambil nyengir. “Kamu mau minum apa? Yang panas apa dingin?” tanyanya, di ujung tawanya.
“Yang nggak panas-dingin aja.”
“Paracetamol mau?”
“Mau, mau, mau! Kalo deket kamu, aku emang selalu merasa demam sih soalnya.”
Anggraini membeliak, tapi tarikan bibirnya menahan tawa. “Emangnya aku nyamuk malaria?”
“Grogi, Anggi, aku grogiiii!” ungkap Langga, lalu dilanjut dengan gerutuan, “Udah tiga tahun masih belum ngerti juga...!”
“Apa?” Anggraini berlagak tak mendengar.
“Nggak, nggak!” Langga menggeleng-geleng panik. “Udah buruan ambil minum sana.”
Anggraini mengulum tawa, bangkit dari duduknya dan beranjak masuk.
“Yang penting kacamata kamu dulu. Soal minum terserah kebijaksanaan kamu aja. Whisky boleh, wedang jahe juga oke,” kata Langga.
“Iya,” sahut Anggraini sambil terus melangkah. Ketika keluar lagi, di nampan yang dibawanya ada dua cangkir teh manis hangat dan sepiring makanan kecil.
“Kenapa nggak kuliah tadi, Lang?” tanyanya, seraya menata bawaannya di meja, di depan tempat duduk mereka.
“Nggak kenapa-napa, lagi males aja.”
“Tapi kalau ngeluyur nggak males, ya?”
“Eh, siapa yang ngeluyur?”
“Siapa? Ya kamulah! Emangnya kamu pikir kamu ini lagi apa?”
“Eits, jangan salah, Jeng!” tangkis Langga. “Aku ini bukan lagi ngeluyur, tapi lagi menunaikan kewajiban.”
“Halah, menunaikan kewajiban apa?”
“Ngapelin pacar, toh?” Langga memandang Anggraini sambil pasang senyum terbaiknya.
“Hah?” mata di balik kacamata minus itu membelalak. Tapi indah sekali!
Langga langsung terbahak melihat reaksinya itu. Dan Anggraini, dengan mata tetap melotot, mencengkeram pinggangnya kuat-kuat.
“Apa, Lang? Ayo, bilang sekali lagi!”
“Adududududu, ampun!” pekik Langga, seraya mencekal pergelangan tangan Anggraini yang mencengkeram lambung kanannya. “Sakit, Anggi, sakiiittt!”
“Nggak! Bilang dulu, kamu ngomong apa barusan?”
“Lha iya benar, tho? Kamu 'kan pacarku!”
“Langga!” pekik Anggraini, gusar, melepaskan cengkeramannya pada pinggang Langga dan menyalak. “Aku nggak suka kamu main-main dengan itu, tau? Tenan ini! Aku serius!”
Langga terkesiap. Sikapnya seketika menjadi serius. Ia memandang Anggraini dan lalu menghela napas dalam. Kesenduan merekah di wajahnya seperti setetes air yang jatuh di permukaan telaga yang tenang.
“Kenapa, Anggi? Apa kamu...?” lirihnya.
“Kenapa?” sengat Anggraini, memotong perkataan Langga. Matanya yang terarah pada Langga menyipit, lalu ia menggeleng-geleng sambil menghela napas. “Gusti Pangeran...!” lenguhnya, menyandar, lemas. Kepalanya pun kemudian terkulai layu. “Lantas... akan kamu kemanakan istri dan anakmu yang di Jakarta, Lang? Apa kamu sudah lupa sama mereka?”
Langga terdiam. Ada sesuatu yang mengusik-usik dalam dirinya, ada sebuah penyesalan kecil yang menggerumit. Diperhatikannya cincin di jari manis tangan kanannya dan ia menghela napas sesak.
“Maafkan aku, Anggi...,” ucapnya dalam gumaman lemah.
Anggraini menolehnya. Di balik kacamata minusnya ada kegelapan menyaput.
“Aku mengerti, Lang,” ujarnya, menggeletar. “Maka sebaiknya... mulai sekarang kita batasi saja hubungan kita ini.”
Langga tersentak, menoleh Anggraini dengan wajah seketika terlihat cemas.
“Jangan, Anggi, jangan. Kumohon...,” pintanya, “Please....”
Anggraini menatap Langga dengan dahi berkerut, karena melihat sikapnya itu. Langga yang biasanya selalu terlihat kokoh, tegar, penuh optimisme, mengapa sekarang jadi begini rapuh?
“Kenapa?” tanyanya.
Agak lama Langga hanya diam, terlihat gelisah, lalu menggeleng-geleng pelan.
“Suatu saat... aku berharap akan bisa menjelaskannya ke kamu... kenapa sebenarnya.”
Anggraini kemudian membungkam. Juga Langga. Keheningan berlalu lambat-lambat di antara mereka, terus mengalir, sampai akhirnya.
“Aku mau pinjam catatan kuliahmu hari ini,” pecah Langga.
Anggraini mengerlingnya diam-diam.
“Semuanya?” tanyanya.
Langga menjawab dengan anggukan lemah.
Anggraini segera bangkit dan pergi masuk, untuk mengambilkan semua catatan kuliah hari ini. Ketika ia kembali ke teras, ia lihat Langga tengah berdiri di bibir teras, menatapi bulan sabit yang mengapung di punggung langit. Mencahayai langit bersama tebaran berjuta bintang-gemintang. Ia berdehem pelan seraya duduk kembali ke tempatnya semula, meletakkan buku-buku catatan di atas meja. Matanya mengawasi punggung Langga.
Langga membalik pelan. Wajahnya hampir segelap bayangan perdu di halaman.
“Anggi,” bibirnya menggeletar perlahan.
Anggraini membiarkan matanya tenggelam dalam tatapan pemuda itu.
“Kamu mau menolongku?” suara Langga terdengar jauh dan gundah.
“Insya Allah, kalau aku bisa,” angguk Anggraini.
Sepercik harapan seketika terlihat merekah di wajah Langga, bagai luncuran kembang api ke langit malam dan meletup – memancarkan beraneka warna cahaya, menerangi kegelapan dengan indah. Dan kesenduan itupun berangsur memudar.
“Besok, kamu ikut aku, ya?” katanya.
“Mau ke mana?”
“Kamu akan tahu nanti.”
Anggraini mencari-cari sesuatu di kedalaman mata pemuda itu, kemudian perlahan sekali, ia mengangguk. Namun itu lebih dari cukup buat Langga.
“Terima kasih, Anggi, kamu baik sekali...,” ucap Langga, terharu. Ada cahaya kegembiraan yang tersulut di dalam matanya, namun sesaat kemudian, cahaya itu kembali padam. Wajahnya juga kembali disaput kesenduan. Setelah menghela napas dalam, dengan gerakan enggan diraihnya buku-buku catatan kuliah Anggraini di atas meja.
“Aku pulang sekarang saja,” katanya.
“Tehnya belum diminum, lho,” ujar Anggraini.
“Oh iya,” Langga jadi gugup. Ia lalu beranjak dan kembali duduk di tempatnya, di sebelah Anggraini, diraihnya cangkir minumnya lalu direguknya isinya, sedikit. Anggraini memerhatikannya diam-diam, merasa heran dengan sikapnya yang tak biasanya itu.
Langga membisu. Anggraini kelu. Kesunyian membentang diam-diam di antara mereka. Ada suara jangkrik dari balik bayangan gelap perdu di sudut halaman, terbenam sejenak ketika derum mobil melintas di jalan depan rumah, lalu melengking lagi bersama malam yang merambat perlahan, tertatih dan terus menjauh. Mereka sama mengatup dalam diri sendiri.
“Ada apa sih sebenarnya, Lang?” tiba-tiba suara Anggraini meruntuhkan sepi.
Langga menolehnya. Ada bulan sabit di matanya, redup. Ia bergumam lirih.
“Susah menjelaskannya, Anggi. Dan aku kuatir akan salah menjelaskannya, terus kamu....” Langga menggantung kata-katanya di situ.
“Tentang apa, sih?”
“Tentang laki-laki yang bodoh.”
“Dan laki-laki itu... kamu?”
Langga hanya mengangguk kecil.
Kemudian sunyi kembali. Ada suara berisik knalpot sepeda motor tua melintas di jalanan, dan hening lagi.
Langga mengangkat cangkir minumnya, mereguk isinya hingga habis, lalu bangkit.
“Aku pulang sekarang, Anggi,” katanya.
Anggraini mengantarkannya sampai pintu pagar. Ketika telah berada di luar halaman, Langga mengeluarkan telepon genggamnya, membuka inbox sms dan membuka salah satu sms yang ada di situ, lalu menunjukkannya kepada Anggraini.
“Aku tadi terima kabar ini,” katanya. “Aku forward ke kamu, ya?”
“Dari siapa?” Anggraini mencoba membaca isi sms itu, tapi Langga sudah menarik telepon selulernya itu karena mau meneruskan pesan singkat tersebut ke telepon genggam Anggraini. “Mengenai apa, sih?” Ia jadi penasaran.
Langga tersenyum sumbang.
“Katanya dia ingin kenalan sama kamu,” ujarnya. Dan itu membuat jantung Anggraini jadi terasa berdetak dengan gemetar. Waduh! pekik hatinya.
Ringtone penanda sms masuk terdengar dari telepon seluler Anggraini, dan gadis itu segera mengeluarkannya dari saku celana panjangnya. Dengan cekatan jemari gadis itu membuka pesan yang masuk dan membacanya: “Mama berangkat ke Jogja malam ini, dengan kereta api Taksaka. Jemput di Stasiun Tugu, jam 3 pagi.”
“Maafkan aku, Anggi....” ucap Langga, menatap wajah yang sedang runduk membaca sms itu. “Tapi aku... aku...,” ia mengahela napas, dalam sekali, dan lantas melepaskannya kembali bersama kata-katanya yang gamang. “Aku sudah nggak sanggup lagi buat terus membohongi diri sendiri...,” terasa ada kepedihan dalam suaranya. “Aku... aku... mencintaimu, Anggi....”
Itu bagai lecutan petir buat hati Anggraini. Sehingga untuk sesaat napasnya jadi tercekat, dan dadanya diguncang gempa. Ada huru-hara yang tiba-tiba melanda perasaannya. Namun belum lagi ia bisa menguasai perasaannya, Langga telah melangkah pergi. Dengan perasaan tak menentu ditatapinya pemuda itu. Di dinding hatinya ada terpancang potret, tak berpigura.
Ketika telah berada di dalam kamarnya, dibacanya kembali isi pesan singkat itu: “Mama berangkat ke Jogja malam ini, dengan kereta api Taksaka. Jemput di Stasiun Tugu, jam 3 pagi.” Ia duduk termangu di tepi pembaringannya. Berarti besok istrinya Langga akan ada di sini. Dan Langga akan memperkenalkan aku kepadanya. Sebagai apanya? Teman? Sahabat? Atau pacar? Ia menggigit bibir. Tiba-tiba ia merasa disergap perasaan takut yang sangat dilematis. Di satu sisi ia merasa berdosa pada istrinya Langga, tapi di sisi lain ia takut kehilangan Langga.
Malam segera menjadi neraka bagi Anggraini. Kecamuk di hatinya menyiksanya, ditambah lagi dengan rasa takut untuk bertemu istri Langga. Dan yang paling buruk ialah, tiba-tiba saja ia menyadari bahwa ia sebenarnya amat mencintai Langga, dan takut kehilangan pemuda yang selalu menyenangkan hatinya dengan perhatian-perhatiannya itu. Ya, Itulah yang membuatnya kemudian jadi menangis. Ia begitu merasa nelangsa dalam ketak-berdayaan. Menjelang Subuh, ia memutuskan untuk sholat Istikharoh, meminta petunjuk dan pertolongan kepada Allah. Dan setelah sholat Subuh, akhirnya ia terlena, tertidur dalam posisi duduk di atas sajadah, di tengah zikirnya.
***
Pukul 06, seperti biasa, alarm telepon genggamnya berbunyi. Biasanya untuk mengingatkan agar ia memulai aktivitas pagi – senam ringan dan kemudian pergi mandi. Namun kali ini, alarm itulah yang menjagakannya dari tidur duduknya di atas sajadah. Tidur yang tanpa mimpi. Tidur yang rasanya baru terlena sedetik saja. Dan ia terbangun dengan leher dan punggung terasa sakit serta kaki kesemutan. Tanpa membuka mukenanya, ia beringsut naik ke pembaringan, dengan susah-payah karena tak bisa berdiri akibat kesemutan pada kakinya. Ia lantas berbaring di tempat tidur untuk meluruskan punggung dan lehernya yang tertekuk saat tidur duduk tadi.
Setelah kesemutannya hilang, punggung dan lehernya juga sudah terasa lebih enakan, ia bangun dan turun dari pembaringan. Sesudah melepas mukena, ia melakukan senam ringan beberapa saat, berusaha memulihkan punggung dan lehernya. Tubuhnya terasa lemah. Kurang tidur dan rasa cemas dengan apa yang akan dialaminya nanti – saat bertemu dengan istri Langga, membuat semangatnya terpuruk dan pikirannya tumpul.
Sebenarnya ia merasa sangat enggan untuk mandi, karena tubuhnya rasanya sedang tak ingin kena air dingin. Namun karena kuatir tiba-tiba Langga muncul untuk mengajaknya pergi, maka ia paksakan buat membersihkan badan di kamar mandi. Dan meskipun tubuhnya merinding saat diguyur air, tapi sesudahnya ia jadi merasa sedikit segar. Keluar dari kamar mandi ia langsung ke dapur dan menyeduh teh celup dengan air panas dari dispenser. Supaya lebih segar, ia menambahkan perasan jeruk nipis dan madu.
Sesudah meminum teh jeruk madu itu, Anggraini merasa semangat dan kesegaran tubuhnya mulai pulih. Lewat pukul 07, ia sholat Dhuha 6 rakaat. Setelah itu berdoa panjang, dengan hati diliputi rasa cemas, memohon agar Allah menjaganya dari hal-hal yang tak diinginkannya. Tapi jauh di relung hatinya, ia tetap berharap tidak akan kehilangan Langga, walaupun seraya terus mengabaikan pertanyaan nuraninya: “Istrinya bagaimana?”
Ketika ia sedang membereskan peralatan sholatnya, Warno – penjaga rumah kost – mengetuk pintu kamarnya dan memberitahu, “Mbak Anggi, ada Mas Langga di depan!”
“Iya, No, terima kasih,” sahut Anggraini, lalu bergegas ke meja rias, menyisir rambutnya, memeriksa wajahnya dan mengusapnya di sana-sini dengan jemari, dan lantas merasa kesal karena mukanya terlihat layu serta ada bilur biru di bawah matanya. Tapi mau bagaimana lagi? Langga sudah datang, dan ia harus menemuinya.
Di teras, begitu Anggraini muncul, Langga memerhatikan wajah gadis itu, dan sebaliknya Anggraini juga memerhatikan muka Langga yang kuyu. Anggraini menghela napas.
“Kamu belum tidur, ya?” tanyanya, sebenarnya menerka.
Langga tersenyum hambar dan balik bertanya, “Kamu juga kurang tidur?”
Anggraini mendesiskan tawa kecil. “Kita mau berangkat sekarang? Aku ganti pakaian dulu, ya?” katanya kemudian.
“Iya,” angguk Langga. “Tapi nggak usah buru-buru.”
Anggraini beranjak masuk. Langsung ke dapur. Ia membuatkan teh jeruk madu buat Langga, lalu membawanya ke teras. “Ini, kamu minum ini dulu, biar agak segeran,” katanya, seraya menyerahkan minuman itu kepada Langga.
“Iya, makasih.” Langga menerima teh jeruk madu itu dan menghirup uapnya.
Anggraini beranjak masuk lagi. Di dalam kamar, ketika membuka lemari pakaiannya, ia berdiri tercenung dengan pertanyaan di dalam kepalanya: “Sebaiknya aku pakai apa, ya? Perlukah aku berdandan?” Ia memejam, menggigit bibir dan menengadah. Menimbang-nimbang dengan nurani, dan akhirnya ia memutuskan.
Ketika Anggraini keluar, menemuinya lagi di teras, Langga memerhatikan penampilan gadis itu dan tersenyum.
“Nggak apa-apa 'kan aku pakai pakaian kayak begini?” Anggraini minta persetujuan.
“Aku suka, karena kamu tetap menjadi diri kamu sendiri,” angguk Langga, setuju dengan pakaian Anggraini yang seperti pakaian sehari-harinya kalau pergi kuliah.
“Alhamdulillah,” Anggraini mengempaskan napas lega, lalu duduk.
“Tehnya enak, seger,” puji Langga. “Makasih, ya. Aku jadi merasa agak segeran sekarang.”
“Sama-sama,” angguk Anggraini. “Aku juga minum itu tadi.”
“Oo... pantes kamu kelihatan lebih cantik pagi ini,” ujar Langga, menggoda. “Eh, nggak ada hubungannya, ya?”
Anggraini pura-pura merajuk, melirik tajam pada Langga. Tapi Langga malah tertawa.
“Nah, itu yang pingin aku lihat!” ujarnya. “Temen-temen bilang, itu wajah judes kamu yang paling menciutkan hati. Tapi aku bilang, ya memang bener juga, sih...!”
Anggraini seketika meletup tertawa, sambil mendorong pangkal lengan Langga. “Brengsek! Kirain mau muji...!”
Dan mereka sama tertawa. Di pekarangan, seekor kupu-kupu menari-nari di antara bunga-bunga yang mekar, bermandikan cahaya pagi yang hangat cemerlang.
***
Selama dalam perjalanan sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah mewah di Kaliurang, Langga dan Anggraini sama membungkam dengan wajah suram. Keduanya seperti orang yang tak saling kenal. Percakapan di antara mereka hanya terjadi pada dua saat, yaitu saat akan berangkat, dan saat mereka akan turun dari mobil di halaman rumah mewah itu.
“Rumah siapa ini, Lang?” letup Anggraini sambil mengamati rumah itu.
“Tempat tinggal Budeku,” sahut Langga, tak terlihat antusias.
“Rumah bude kamu? Dan kamu malah milih tinggal di rumah kost yang....” Anggraini tak sampai hati untuk mengatakan rumah kost Langga yang kecil, di tengah permukiman yang padat dan agak kumuh, yang bisa membuat orang tersesat karena gang-gang sempitnya yang seperti labirin, yang kamarnya selalu berudara panas karena ventilasinya yang kurang baik, dan yang harus antri kalau mau mandi.
“Ya,” angguk Langga, tegas. “Supaya aku bisa belajar mengurus hidupku sendiri.”
Anggraini memandang Langga. Dia senang mendengar itu. Tapi juga kasihan kalau mengingat kamar kostnya. Ia bersama beberapa teman kuliah pernah ke sana. Dan mereka, berenam, langsung membuat kamar itu jadi penuh. Sesak. Panas. Tak leluasa bergerak. Berebut oksigen dalam sirkulasi udara yang buruk. Akibatnya, hanya dalam lima belas menit, mereka semua telah bermandi peluh. Akhirnya, sambil tertawa Langga mengajak mereka keluar dari kamar kostnya dan pindah ke tempat yang lebih manusiawi, di kafe lesehan yang terdapat di bagian luar kawasan permukiman itu.
“Ayo, masuk.” Langga mengempaskan Anggraini kembali ke bumi, seraya melangkah. Pintu rumah terbuka. Seorang gadis, remaja, melangkah keluar. Cantik dan kelihatan amat terawat. Ia menoleh ke arah Langga yang mengacungkan kunci mobil kepadanya. “Makasih, ya,” ucap Langga ketika menyerahkan kunci mobil kepada gadis itu.
“Ma-sama,” jawab gadis itu bersama angguk. Tapi matanya tertuju pada Anggraini. Langga melihat itu dan bertindak.
“Oh iya, kenalkan, ini Anggraini,” lalu pada Anggraini, “Anggi, ini Juwita, sepupuku, anak budeku.”
Anggraini dan Juwita berjabatan dan saling menyebutkan nama pendek masing-masing:
“Anggi.”
“Wita.”
“Kamu mau ke mana, Wit?” tanya Langga kemudian.
“Mau beli roti buat Riano. Dia minta roti panggang,” sahut Juwita sambil membuka pintu mobil. “Buruan deh masuk. Si Riano udah mulai rewel tuh nanyain ayahnya.”
“Oke,” angguk Langga, lalu menggamit Anggraini, “Masuk, yuk.”
Anggraini mengikuti Langga, melangkah menuju pintu. Juwita menjalankan mobilnya. Anggraini menolehnya. Diam-diam dia merasa menyesal karena telah punya prasangka kurang baik kepada Langga mengenai mobil itu. Namun itu sebenarnya wajar saja. Karena selama ini ia, dan juga kebanyakan teman kuliah mereka, tahunya Langga itu mahasiswa kurang mampu. Maka amat beralasan kalau tadi, ketika Langga mengajaknya naik ke mobil BMW yang terlihat masih baru, ia spontan bertanya tak percaya:
“Mobil siapa ini?”
“Mobil pinjaman,” sahut Langga, biasa saja. “Ayo naik.”
Kalau Langga tak membukakan pintu untuknya, Anggraini pasti tidak akan pernah berani membuka pintunya, apalagi menaikinya. Dan ternyata, itu memang betul mobil pinjaman dari Juwita, sepupunya. Ya Allah, begitu mudahnya prasangka itu muncul... sesal Anggraini.
***
Anggraini sebenarnya termasuk anak orang berada, namun memasuki rumah mewah yang bagai istana itu, ia merasa dirinya norak juga. Karena begitu banyak ‘obyek sasaran rasa ingin tahu’ yang tersebar di seantero rumah itu. Dari mulai kemegahan bangunannya sampai tatanan interior dan aneka pernak-pernik mebelnya. Dan ia tiba-tiba merasa dirinya seperti Cinderella yang sedang memasuki istana. Namun istana itu sepi. Tak ada seorang pun di situ. Dan Langga, dengan sikap tak acuh, terus melangkah melewati ruang-ruang, hingga akhirnya mereka sampai di taman belakang. Rupanya di situlah semua penghuni istana ini berada, sedang sarapan sambil menikmati kehangatan matahari pagi.
“Ayaaaahhhh!” bocah lelaki berusia sekitar tiga tahunan langsung lari menghambur ke arah Langga. Dan Langga menyambutnya dengan wajah gembira, menekuk kakinya, merendahkan tubuhnya serta merentangkan kedua tangannya. Disambutnya bocah lelaki itu ke dalam pelukannya, hangat. Si bocah langsung merengkuh lehernya. “Ayah dari mana, sih? Nano tadi bangun Ayah nggak ada,” celoteh bocah itu, komplain.
Teriakan bocah itu tadi telah membuat semua orang yang ada di taman itu jadi mengalihkan perhatian kepada Langga, dan lantas juga kepada Anggraini. Namun Anggraini belum menyadari hal itu. Karena perhatiannya sedang terpusat pada si bocah dan Langga. Selama ini ia hanya tahu, berdasarkan pengakuan Langga, bahwa Langga sudah punya anak. Laki-laki. Berusia sekitar tiga tahun. Riano namanya. Dan kini, akhirnya ia melihat ujud nyata anak itu. Tapi tiba-tiba terasa ada bagian dari dirinya yang runtuh. Oh... ada kesedihan yang seketika meruyak dari kedalaman hatinya yang sangat jauh.
Sambil menggendong Riano, Langga melangkah mendekati Anggraini dan berkata pada Riano. “Nano, ayo kasih salam sama Tante Anggi. Kenalan.” Nano adalah nama panggilan bocah itu.
Anggraini tiba-tiba merasa terjaga dari sesuatu. Dengan gugup ia merekahkan senyum di bibirnya, dan lalu menyambut uluran tangan Riano dalam jabatan lunak namun hangat.
“Assalammu alaykum, Tante. Nama aku Riano. Tapi dipanggilnya Nano, kayak merek permen yang aku suka,” ucap Riano dengan sikap manis, lalu mencium punggung tangan Anggraini.
“Wa alaykum salam wa rohmatullah, Riano,” balas Anggraini, takjub, lalu memujinya sambil mencubit gemas pipi bocah itu. “Ih, pinternya kamu. Siapa yang ngajarin? Ayah, ya?”
“Iya, Tante,” angguk Riano, "Nama Tante siapa?"
   "Oh, iya! Maaf, Tante sampe lupa. Abis kamu pinter banget, sih," ujar Anggraini, seraya menoel pipi Riano. "Nama Tante, Anggraini. Tapi panggil aja Tante Anggi."
   Riano menatap Anggraini seperti terpesona, lalu seolah merasa malu, ia menyurukkan wajahnya ke leher Langga dan berbisik, tapi suaranya terlalu keras untuk tidak kedengaran oleh Anggraini. “Ayah, Ayah, Tante Anggi cantik, ya? Pacarnya Ayah, ya?”
“Kenapa? Kamu naksir?” goda Langga.
Riano tersipu-sipu sambil mencuri-curi pandang pada Anggraini. Lalu berbisik lagi pada Langga, “Ayah, Nano boleh minta gendong nggak ama Tante?”
“Hus, enak aja,” sahut Langga, “Ayah aja belum pernah digendong Tante, masak kamu udah mau ngeduluin,” candanya.
“Heh, kamu, tuh!” Anggraini menampar ringan pangkal lengan Langga, sambil mendelik. Tapi wajah manisnya segera ia tunjukkan lagi pada Riano. “Ayo, sini, kalo Nano pengen Tante gendong,” katanya pada bocah itu, seraya merentangkan kedua tangannya.
Riano pun dengan wajah gembira segera menyambutnya dengan rentangan kedua tangan, minta digendong.
“Ya udah sana, rejeki kamu, tuh,” kata Langga, seraya menyerahkan Riano ke pelukan Anggraini. “Tapi awas, ya!” ancamnya kemudian, mengacungkan telunjuk. “Jangan coba-coba ngerayu Tante Anggi! Ayah sentil nanti kamu!”
Tanggapan Riano cuma ketawa-tawa saja. Anggraini pun ikut tertawa-tawa, seraya kemudian menciumi pipi Riano dengan gemas, membuat Riano jadi bertambah senang. Langga pun jadi gemas dibuatnya, dan memencet hidung bocah itu.
“Dasar perayu kecil!” katanya. “Awas ya, kalo Tante Anggi sampe jatuh cinta sama kamu! Bisa repot tuh mama kamu bolak-balik Jakarta Jogja nanti.”
“Ya nggak apa-apa,” kata perempuan cantik yang mendatangi mereka, lalu tersenyum ramah pada Anggraini saat menolehnya. “Asal kalian suka, Jakarta Jogja bukan masalah.”
“Mama!” sambut Riano. “Ini kenalin, Ma. Tante Anggi. Pacarnya Ayah!”
Hah! Anggraini kaget. Astaghfirullah... bisiknya di hati. Apa-apaan sih ini? Ia benar-benar tak mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam keluarga ini. Bagaimana mungkin seorang anak memperkenalkan perempuan lain kepada ibunya sebagai pacar ayahnya? Gila apa?
Namun mamanya Riano tersenyum biasa saja menanggapinya, dan malah dengan gemas mencubit dagu anaknya. “Iya, Mama udah tahu,” katanya. “Kamu suka ya sama Tante Anggi?”
“He eh,” angguk Riano, seraya kemudian menyandarkan sisi wajahnya ke leher Anggraini.
Wah! Anggraini benar-benar merasa aneh. “Ini betul-betul keluarga yang aneh,” katanya dalam batin.
“Hai, Anggi,” sapa mamanya Riano pada Anggraini, dengan senyum ramah, seraya mengulurkan tangan. “Kenalkan, saya, Rinanti. Mamanya si perayu kecil ini.”
Anggraini menjabat tangan Rinanti dengan hangat. “Anggraini,” sebutnya.
“Ayuk, gabung sama yang lain,” ajak Rinanti kemudian.
Anggraini mengikuti ajakan Rinanti, sementara Langga sudah duluan bergabung di meja makan marmer oval besar di pinggir kolam renang. Ia berdiri di antara pasangan setengah baya – papa mamanya – sambil matanya menjelajah isi meja makan, sementara mamanya mengusap-usap punggungnya dengan sayang. Rinanti dan Anggraini tiba di sana. Rinanti langsung membimbing Anggraini menuju papa-mama Langga.
“Pa, Ma, ini kenalkan, Anggraini,” kata Rinanti, begitu mereka sampai di dekat mereka. Mama dan Papa Langga bergegas bangkit dari duduk. Langga menoleh kepada mereka.
“Eee ini tho calon menantuku yang putri Solo itu,” ujar Mama Langga dengan wajah gembira. Dan Anggraini jadi tersipu-sipu dibuatnya. Tapi rasa heran di dalam hatinya semakin menjadi-jadi. Apa-apaan sih ini? Setelah Anggraini mencium tangannya, Mama Langga bilang pada Riano dengan nada memerintah, “Hei, kamu, Perayu Kecil. Ayo, pindah gendong sama ayah kamu sana! Eyang Uti mau meluk Tante Anggi.”
“Hahaha,” Langga langsung membentangkan kedua tangannya dengan gembira, “akhirnya dia kembali kepadaku! Ayo, sini!”
“Aaah, Eyang Uti nih ada aja, sih!” keluh Riano, tapi sambil patuh berpindah ke pelukan Langga. Mama Langga segera memeluk Anggraini dengan penuh kehangatan dan rasa sayang. Dan Anggraini, meski merasa canggung, namun menikmati kehangatan sikap Mama Langga yang tulus itu.
“Tapi Eyang Kung nggak boleh meluk Tante Anggi juga, ya!” Riano menoleh pada Papa Langga, menyampaikan larangan. Semua yang mendengar langsung meledak tertawa. Papa Langga langsung pasang muka cemberut. Tapi Riano tak memedulikannya. Ia sedang menoleh ke sana-ke mari dan menyebarkan larangannya, “Papa juga nggak boleh!” kepada lelaki yang wajahnya mirip dengan Langga tapi terlihat lebih dewasa, Arga, papanya Riano.
“Iya, siaapp, Komandan,” sahut Arga, sambil membuat gerakan menghormat.
“Pakde Bagus juga!” tunjuk Riano, pada pemuda yang sedang makan sambil menjuntaikan kakinya ke dalam kolam renang. Yang ditunjuk langsung menoleh.
“Inggih, Ndoro Tuan!” sahutnya.
“Eyang Kung Pakde juga nggak boleh, ya!” Menunjuk Pakde, yang memang sudah siap.
“Inggih! Aku rapopo,” sahutnya, lalu tertawa bersama yang lain, karena ingat dengan “aku rapopo”nya Jokowi ketika dicerca lawan-lawan politiknya, saat jadi Gubernur DKI Jakarta dan akan maju menyalonkan diri sebagai Presiden RI Ke-7. Dan tetap “rapopo” meski telah jadi presiden.
“Tapi Bude boleh tho?” Bude angkat telunjuk.
“Iya, boleh. Tapi jangan lama-lama,” ujar Riano.
“Lho, memang kenapa kok ndak boleh lama-lama?” tanya Bude, usil.
“Soalnya Tante Anggi mau nyuapin Nano makan,” sahut Riano, yakin. “Soalnya Nano udah laper, nih.”
“Eeeh, sembarangan aja!” tegur Rinanti, “Emang Tante Anggi mau nyuapin kamu apa?”
“Ya pasti maulah,” sahut Riano, yakin. “Ya, Tante, ya?”
Semua jadi serempak tertawa dibuatnya. Anggraini hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengulum tawa.
“Dasar tukang maksa!” gerutu Langga, mendorong dahi Riano. “Terus roti panggangnya gimana? Katanya minta roti panggang. Bude Wita bisa marah lho kalo roti panggangnya nggak kamu makan. Dia udah capek-capek tuh mbeliin buat kamu.”
Riano terdiam. Mikir. Tapi lalu punya ide brilian. “Iya, nggak papa. Tapi Ayah yang nyuapin, ya?” cetusnya sambil memandang pada Langga dengan tatapan merayunya.
“Wuih, enak aja,” sahut Langga. “Wani piro kamu?”
Riano kaget, tak menyangka akan mendapat tantangan begitu. Tapi otak cerdasnya bergegas mencari solusi, dan ia dapatkan dengan cepat. Ia lalu membisiki Langga, “Nanti Ayah boleh meluk Tante Anggi, deh.”
“Hah?” Langga kaget. Mama dan Papa Langga serempak meledak tertawa karena mendengar bisikan Riano itu. Yang lain jadi penasaran, melihat ke arah mereka sambil bertanya-tanya, “Apa, sih? Apa, sih?”
“Dasar kamu!” Langga mendorong dahi Riano, “Perayu nggak modal!” Tapi Riano hanya tertawa-tawa saja.
Ada hal yang tak dimengerti Anggraini, setelah ia berkenalan dengan seluruh keluarga besar Langga itu, dan kemudian membaur ke tengah-tengah mereka – sebagai calon anggota keluarga baru, karena mereka semua menganggapnya sebagai pacar Langga. Ia dengan begitu saja lantas merasa bahwa dirinya memang bagian dari keluarga ini. Ia merasa nyaman dan betah. Apa karena mereka semua dengan tulus menganggapnya sebagai bagian dari keluarga? Entahlah. Namun Anggraini bahagia berada di tengah-tengah mereka. Sehingga, ketika akhirnya ia harus mohon diri untuk pulang ke rumah kostnya, ia benar-benar merasa enggan. Ia masih betah. Ia ingin terus berada di tengah-tengah keluarga Langga itu, meskipun terus dimonopoli oleh Riano.
***
Dari Rinanti, Anggraini mendapat kisah lengkap rahasia perkawinan Langga dengan Rinanti. Semuanya berawal dari perjalanan cinta Langga dan Julia ketika di SMA. Langga yang seorang bintang pelajar di sekolahnya, dan Julia yang seorang artis baru. Mereka pacaran, menurut anggapan Langga. Tapi entah menurut Julia sendiri. Namun yang jelas, kebanyakan teman Langga memperingatkan bahwa Langga hanya dimanfaatkan oleh Julia.
Langga yang tulus mencintai dan selalu menganggap bahwa semua orang adalah baik, seperti dirinya, akhirnya menemukan kenyataan yang amat melukai hatinya. Setelah tamat SMA, dan mereka masuk kuliah di fakultas yang berbeda, tiba-tiba Julia meninggalkan Langga begitu saja dan berpaling kepada pemuda lain sefakultasnya. Padahal Julia bisa lulus SMA, menurut semua temannya, adalah karena bantuan Langga – yang memberinya les semua pelajaran di sela-sela kesibukan syuting Julia. Bahkan untuk menghadapi ujian akhir sekolah dan ujian nasional, Langgalah yang memberinya bimbingan.
Tapi yang paling menyakitkan ialah, janji akan bertunangan setelah tamat SMA dibatalkan begitu saja oleh Julia – dan dengan alasan karena dia berubah pikiran. Padahal persiapan untuk acara itu sudah mulai dilakukan. Langga langsung tumbang, patah hati dan memutuskan berhenti kuliah. Ia tak sanggup kalau harus bertemu lagi dengan Julia di kampus. Namun ia janji akan kuliah lagi tahun depan, di luar Jakarta. “Dan untungnya Langga memilih masuk UGM, sehingga akhirnya bisa ketemu aku,” kata hati Anggraini saat itu, merasa kebagian hikmah atas musibah yang menimpa Langga.
Di saat Langga sedang dirundung kedukaan, musibah lain datang. Arga, kakak Langga, yang pergi mengantarkan sahabatnya, Agung, ke Bandung untuk menikah dengan Rinanti, mendapat kecelakaan di tol Purbaleunyi. Agung meninggal dan Arga terluka parah. Padahal pernikahan Agung dan Rinanti akan dilaksanakan dua hari lagi. Ketika datang menjenguk kakaknya di rumah sakit, Langga merasa heran melihat kakaknya terus-menerus menangis dan merengek agar diizinkan pergi ke Bandung untuk menggantikan Agung menikahi Rinanti. Soalnya, setahunya, kakaknya itu jagoan. Preman kampus. Dan paling anti dengan kecengengan.
Dengan kesabaran seorang ibu, akhirnya Mama berhasil membuat Arga mau menjelaskan ada apa sebenarnya dengannya. Rupanya, Arga merasa bersalah dengan meninggalnya Agung, dan dia menguatirkan nasib Rinanti yang yatim piatu dan sedang mengandung, kalau sampai gagal menikah. Keluarga tantenya pasti akan merasa dipermalukan oleh kehamilan di luar nikahnya. Dan selain itu, bagaimana nasib anaknya nanti?
“Jadi, kamu mau menggantikan Agung buat menikahi pacarnya yang hamil itu?” tanya Papa, dengan nada kurang setuju.
Arga tak menjawab. Tapi Mama tahu bahwa Arga memang berniat begitu. Mama kenal Rinanti, karena sudah beberapa kali diajak ke rumah oleh Agung. Dan Agung sendiri juga sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Mama, karena Mama melihat Agung bisa diandalkan untuk menjagai Arga di luar sana.
“Tapi keadaan kamu kayak begini, Arga,” ujar Mama, “Bagaimana mungkin kamu bisa pergi ke Bandung buat menikahi Rinanti?”
Airmata Arga meleleh. “Maafin gue, Gung, maafin gue...!” rintihnya, dalam isak perih.
Tiba-tiba Langga ambil keputusan. “Kalo gitu, biar Angga aja yang ke Bandung, Ma. Angga yang akan ngewakilin Mas Arga menikahi Mbak Rinanti.”
Papa dan Mama kaget, jelas sangat tidak setuju. Tapi entah mengapa, tiba-tiba saja Langga bisa jadi begitu teguh dengan keputusannya, sehingga Papa dan Mama yang akhirnya menyerah. Maka perundingan darurat segera dilakukan. Dan kemudian diputuskan bahwa Mama yang akan ikut ke Bandung buat mendampingi Langga, menikahi Rinanti mewakili Arga. Syukurlah, semua berjalan lancar. Juga saat resepsi, ketika Langga tampil sebagai mempelai pria mewakili kakaknya. Tak banyak yang tahu kalau dia hanyalah pengantin wakil.
Dan sejak pernikahan wakil itu, Langga mengenakan cincin pada jari manis tangan kanannya. Tapi itu sebenarnya bukan cincin kawin antara Arga dan Rinanti, melainkan cincin yang rencananya untuk tanda pertunangannya dengan Julia. Ya Allah...! Anggraini merasa berdosa karena pernah mengira cincin itu adalah cincin kawin Langga dengan Rinanti.
“Dan kamu tau, kenapa Riano memanggil Langga dengan sebutan Ayah?” tanya Rinanti pada Anggraini. Dan dijawabi dengan gelengan kepala oleh Anggraini. “Soalnya, sejak Riano jebrol lahir, sampai akhirnya dia berangkat ke Jogja buat kuliah, dialah yang paling repot mengurus Riano. Bahkan kalau tengah malam Riano nangis dan susah didiamkan, dia yang tanganin. Anak itu langsung anteng dan tidur pulas.”
“O ya?” Anggraini ternganga takjub. “Sampai kayak gitu, Mbak?”
“Iya,” angguk Rinanti, tegas. “Makanya kamu nggak usah kuatir. Kalau nanti kalian punya anak, Langga udah mahir kok ngurus bayi. Jadi, kamu bisa fokus ngurus bapaknya aja.”
“Hahahaha,” Anggraini tertawa dengan rona merah menyebar cepat di wajahnya, “Mbak bisa aja...!”
***
Malamnya, ketika Langga mengantarkannya pulang ke rumah kostnya, Anggraini mengajak Langga duduk dulu di teras.
“Ada yang perlu aku omongin,” kata Anggraini.
Langga duduk, diam, menunggu dengan jantung gemetar dan hati digerumit kecemasan. Anggraini meraih tangan kanan Langga dan mengamati cincin emas putih di jari manisnya itu.
“Boleh aku liat?” pintanya, sambil hendak melepaskan cincin itu. Langga mengangguk. Anggraini melepaskan cincin itu dan ia baru tahu kalau cincin itu ternyata ada matanya, berlian merah muda. Rupanya Langga selalu mengenakan cincin itu dengan menghadapkan bagian matanya di sebelah dalam. Anggraini hanya memerhatikan mata cincin itu sebentar, lalu serius mengamati lingkaran dalamnya. Kosong.
“Belum ada namanya, kok,” jelas Langga.
Anggraini tersenyum dan mengembalikan cincin itu, memasangkannya ke jari manis tangan kiri Langga dan menghadapkan mata berliannya ke luar. Setelah itu ia menadahkan tangan pada Langga, meminta. “Pasangannya mana?”
Langga menatap Anggraini. Mencoba menerka maksud gadis itu. Anggraini mengangguk.
“Aku tau cincin itu ada pasangannya,” katanya.
Langga menghela napas dan menarik keluar kalungnya. Di kalung itu ia menyimpan cincin pasangannya. Anggraini pernah melihat sekilas cincin di kalung Langga itu. Dan setelah mengetahui rahasia perkawinan Langga, ia menduga bahwa cincin itu adalah pasangan dari cincin yang dipakai Langga. Ternyata benar. Langga melepaskan cincin itu dari kalung dan meletakkannya di atas telapak tangan Anggraini. Dengan senyum manis tersungging di bibirnya, Anggraini mengamati cincin itu. Modelnya sama persis dengan cincin yang dipakai Langga. Emas putih dengan mata berlian merah muda. Ia periksa lingkaran dalamnya. Kosong. Senyumnya jadi semakin indah. Dimasukkannya cincin itu ke jari manis tangan kirinya. Ternyata ukurannya pas. Ia lalu mengamati cincin bermata berlian merah muda di jari manis tangan kirinya itu.
“Pas dan pantes banget,” ujarnya, lalu menoleh Langga. “Boleh aku pakai?” tanyanya.
Langga mengangguk. “Kalau kamu memang mau memakainya,” ujarnya.
“Ya pasti maulah,” sahut Anggraini, tersenyum bahagia. “Sampai kita selesai kuliah, cincin ini dulu aja ya yang kita pakai. Nanti, kalau udah wisuda, baru kita siapin penggantinya. Cincin pernikahan. Setuju?”
Langga mengangguk dengan senyum dan kembang api memancarkan aneka warna di dalam matanya. “Iya, aku setuju. Tapi... berarti misi keluargaku datang ke sini... gagal?”
“Nggak juga,” geleng Anggraini. “Lusa kita semua bareng-bareng ke Solo, dan hari Minggunya kita resmikan pertunangan kita di sana. Nanti aku telepon ke Solo buat nyiapin segala sesuatunya.”
Langga langsung terlihat lega dan sangat bahagia. “Alhamdulillah...,” ucapnya. “Makasih, Anggi, terima kasih....”
Anggraini tersenyum dan menggenggam tangan kanan Langga. “Aku juga berterima kasih, karena kamu udah memilih aku buat mengisi hati kamu....” Di dinding hatinya ada terpancang potret, kini telah berpigura.
*****

Telah diterbitkan
pada Majalah Gadis No. 19, 18-28 Juli 1983,
di bawah nama penulis: M. H. Thamrin Mahesarani.
Revisi terakhir: 01 Mei 2016.

2 komentar:

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.