Dengan mata setengah terpicing Anggraini mencoba menafsirkan siapa
sebenarnya bayangan itu. Bayangan yang sedang membuka pintu pagar rumah
kostnya. Ia tak berhasil, karena bayangan itu tampak sangat jauh dan hanya
berupa siluet kabur. Diam-diam ia jadi sedikit menyesal karena tadi tak
mengenakan kacamatanya.
“Pasti nggak pakai kacamata,” bayangan itu nyeletuk dengan suara khasnya.
“Ah, kamu! Kupikir siapa,” ujar Anggraini pada bayangan yang masih lima
meter darinya itu. “Ada angin apa nih, Lang?”
“Ya, macem-macem. Ada angin Mamiri, ada tolak angin, ada juga yang masuk
angin,” jawab Langga, si bayangan itu. “Kamu mau yang mana?”
Anggraini tertawa kecil. Langga tiba di hadapannya dan duduk di kursi, di
samping kirinya.
“Eh, nggak salah nih? Rapi banget kamu?” komentar Anggraini,
memerhatikannya.
“Takjub, 'kan?”
“Ya, jelas, dong. Soalnya... nggak biasa-biasanya, sih.”
“Emang biasanya gimana?”
“Ya... kayak orang baru bangun tidur dan nggak sempet ganti pakaian.”
Langga terkekeh-kekeh. “Parah, ya?”
“Banget,” Anggraini mengangguk dan lantas tertawa kecil.
Langga kemudian sibuk dengan pakaiannya, merapikannya di sana-sini.
Anggraini memerhatikannya sambil mengulum senyum.
“Udaaah, masih rapi, kok...!” ganggu gadis itu kemudian, lalu tertawa
ketika Langga menolehnya sambil nyengir. “Kamu mau minum apa? Yang
panas apa dingin?” tanyanya, di ujung tawanya.
“Yang nggak panas-dingin aja.”
“Paracetamol mau?”
“Mau, mau, mau! Kalo deket kamu, aku emang selalu merasa demam sih
soalnya.”
Anggraini membeliak, tapi tarikan bibirnya menahan tawa. “Emangnya aku
nyamuk malaria?”
“Grogi, Anggi, aku grogiiii!” ungkap Langga, lalu dilanjut dengan gerutuan,
“Udah tiga tahun masih belum ngerti juga...!”
“Apa?” Anggraini berlagak tak mendengar.
“Nggak, nggak!” Langga menggeleng-geleng panik. “Udah buruan ambil minum
sana.”
Anggraini mengulum tawa, bangkit dari duduknya dan beranjak masuk.
“Yang penting kacamata kamu dulu. Soal minum terserah kebijaksanaan kamu
aja. Whisky boleh, wedang jahe juga oke,” kata Langga.
“Iya,” sahut Anggraini sambil terus melangkah. Ketika keluar lagi, di
nampan yang dibawanya ada dua cangkir teh manis hangat dan sepiring makanan
kecil.
“Kenapa nggak kuliah tadi, Lang?” tanyanya, seraya menata bawaannya di
meja, di depan tempat duduk mereka.
“Nggak kenapa-napa, lagi males aja.”
“Tapi kalau ngeluyur nggak males, ya?”
“Eh, siapa yang ngeluyur?”
“Siapa? Ya kamulah! Emangnya kamu pikir kamu ini lagi apa?”
“Eits, jangan salah, Jeng!” tangkis Langga. “Aku ini bukan lagi ngeluyur, tapi
lagi menunaikan kewajiban.”
“Halah, menunaikan kewajiban apa?”
“Ngapelin pacar, toh?” Langga memandang Anggraini sambil pasang senyum
terbaiknya.
“Hah?” mata di balik kacamata minus itu membelalak. Tapi indah sekali!
Langga langsung terbahak melihat reaksinya itu. Dan Anggraini, dengan mata
tetap melotot, mencengkeram pinggangnya kuat-kuat.
“Apa, Lang? Ayo, bilang sekali lagi!”
“Adududududu, ampun!” pekik Langga, seraya mencekal pergelangan tangan
Anggraini yang mencengkeram lambung kanannya. “Sakit, Anggi, sakiiittt!”
“Nggak! Bilang dulu, kamu ngomong apa barusan?”
“Lha iya benar, tho? Kamu 'kan pacarku!”
“Langga!” pekik Anggraini, gusar, melepaskan cengkeramannya pada pinggang
Langga dan menyalak. “Aku nggak suka kamu main-main dengan itu, tau? Tenan ini!
Aku serius!”
Langga terkesiap. Sikapnya seketika menjadi serius. Ia memandang Anggraini
dan lalu menghela napas dalam. Kesenduan merekah di wajahnya seperti setetes
air yang jatuh di permukaan telaga yang tenang.
“Kenapa, Anggi? Apa kamu...?” lirihnya.
“Kenapa?” sengat Anggraini, memotong perkataan Langga. Matanya yang terarah
pada Langga menyipit, lalu ia menggeleng-geleng sambil menghela napas. “Gusti
Pangeran...!” lenguhnya, menyandar, lemas. Kepalanya pun kemudian terkulai
layu. “Lantas... akan kamu kemanakan istri dan anakmu yang di Jakarta, Lang?
Apa kamu sudah lupa sama mereka?”
Langga terdiam. Ada sesuatu yang mengusik-usik dalam dirinya, ada sebuah
penyesalan kecil yang menggerumit. Diperhatikannya cincin di jari manis tangan
kanannya dan ia menghela napas sesak.
“Maafkan aku, Anggi...,” ucapnya dalam gumaman lemah.
Anggraini menolehnya. Di balik kacamata minusnya ada kegelapan menyaput.
“Aku mengerti, Lang,” ujarnya, menggeletar. “Maka sebaiknya... mulai
sekarang kita batasi saja hubungan kita ini.”
Langga tersentak, menoleh Anggraini dengan wajah seketika terlihat cemas.
“Jangan, Anggi, jangan. Kumohon...,” pintanya, “Please....”
Anggraini menatap Langga dengan dahi berkerut, karena melihat sikapnya itu.
Langga yang biasanya selalu terlihat kokoh, tegar, penuh optimisme, mengapa
sekarang jadi begini rapuh?
“Kenapa?” tanyanya.
Agak lama Langga hanya diam, terlihat gelisah, lalu menggeleng-geleng
pelan.
“Suatu saat... aku berharap akan bisa menjelaskannya ke kamu... kenapa
sebenarnya.”
Anggraini kemudian membungkam. Juga Langga. Keheningan berlalu
lambat-lambat di antara mereka, terus mengalir, sampai akhirnya.
“Aku mau pinjam catatan kuliahmu hari ini,” pecah Langga.
Anggraini mengerlingnya diam-diam.
“Semuanya?” tanyanya.
Langga menjawab dengan anggukan lemah.
Anggraini segera bangkit dan pergi masuk, untuk mengambilkan semua catatan
kuliah hari ini. Ketika ia kembali ke teras, ia lihat Langga tengah berdiri di
bibir teras, menatapi bulan sabit yang mengapung di punggung langit. Mencahayai
langit bersama tebaran berjuta bintang-gemintang. Ia berdehem pelan seraya
duduk kembali ke tempatnya semula, meletakkan buku-buku catatan di atas meja.
Matanya mengawasi punggung Langga.
Langga membalik pelan. Wajahnya hampir segelap bayangan perdu di halaman.
“Anggi,” bibirnya menggeletar perlahan.
Anggraini membiarkan matanya tenggelam dalam tatapan pemuda itu.
“Kamu mau menolongku?” suara Langga terdengar jauh dan gundah.
“Insya Allah, kalau aku bisa,” angguk Anggraini.
Sepercik harapan seketika terlihat merekah di wajah Langga, bagai luncuran
kembang api ke langit malam dan meletup – memancarkan beraneka warna cahaya,
menerangi kegelapan dengan indah. Dan kesenduan itupun berangsur memudar.
“Besok, kamu ikut aku, ya?” katanya.
“Mau ke mana?”
“Kamu akan tahu nanti.”
Anggraini mencari-cari sesuatu di kedalaman mata pemuda itu, kemudian
perlahan sekali, ia mengangguk. Namun itu lebih dari cukup buat Langga.
“Terima kasih, Anggi, kamu baik sekali...,” ucap Langga, terharu. Ada
cahaya kegembiraan yang tersulut di dalam matanya, namun sesaat kemudian,
cahaya itu kembali padam. Wajahnya juga kembali disaput kesenduan. Setelah
menghela napas dalam, dengan gerakan enggan diraihnya buku-buku catatan kuliah
Anggraini di atas meja.
“Aku pulang sekarang saja,” katanya.
“Tehnya belum diminum, lho,” ujar Anggraini.
“Oh iya,” Langga jadi gugup. Ia lalu beranjak dan kembali duduk di
tempatnya, di sebelah Anggraini, diraihnya cangkir minumnya lalu direguknya
isinya, sedikit. Anggraini memerhatikannya diam-diam, merasa heran dengan
sikapnya yang tak biasanya itu.
Langga membisu. Anggraini kelu. Kesunyian membentang diam-diam di antara
mereka. Ada suara jangkrik dari balik bayangan gelap perdu di sudut halaman,
terbenam sejenak ketika derum mobil melintas di jalan depan rumah, lalu
melengking lagi bersama malam yang merambat perlahan, tertatih dan terus
menjauh. Mereka sama mengatup dalam diri sendiri.
“Ada apa sih sebenarnya, Lang?” tiba-tiba suara Anggraini meruntuhkan sepi.
Langga menolehnya. Ada bulan sabit di matanya, redup. Ia bergumam lirih.
“Susah menjelaskannya, Anggi. Dan aku kuatir akan salah menjelaskannya,
terus kamu....” Langga menggantung kata-katanya di situ.
“Tentang apa, sih?”
“Tentang laki-laki yang bodoh.”
“Dan laki-laki itu... kamu?”
Langga hanya mengangguk kecil.
Kemudian sunyi kembali. Ada suara berisik knalpot sepeda motor tua melintas di
jalanan, dan hening lagi.
Langga mengangkat cangkir minumnya, mereguk isinya hingga habis, lalu
bangkit.
“Aku pulang sekarang, Anggi,” katanya.
Anggraini mengantarkannya sampai pintu pagar. Ketika telah berada di luar
halaman, Langga mengeluarkan telepon genggamnya, membuka inbox sms dan membuka
salah satu sms yang ada di situ, lalu menunjukkannya kepada Anggraini.
“Aku tadi terima kabar ini,” katanya. “Aku forward ke kamu, ya?”
“Dari siapa?” Anggraini mencoba membaca isi sms itu, tapi Langga sudah
menarik telepon selulernya itu karena mau meneruskan pesan singkat tersebut ke
telepon genggam Anggraini. “Mengenai apa, sih?” Ia jadi penasaran.
Langga tersenyum sumbang.
“Katanya dia ingin kenalan sama kamu,” ujarnya. Dan itu membuat jantung
Anggraini jadi terasa berdetak dengan gemetar. Waduh! pekik hatinya.
Ringtone penanda sms masuk terdengar dari telepon seluler Anggraini, dan gadis
itu segera mengeluarkannya dari saku celana panjangnya. Dengan cekatan jemari
gadis itu membuka pesan yang masuk dan membacanya: “Mama berangkat ke
Jogja malam ini, dengan kereta api Taksaka. Jemput di Stasiun Tugu, jam 3
pagi.”
“Maafkan aku, Anggi....” ucap Langga, menatap wajah yang sedang runduk
membaca sms itu. “Tapi aku... aku...,” ia mengahela napas, dalam sekali, dan
lantas melepaskannya kembali bersama kata-katanya yang gamang. “Aku sudah nggak
sanggup lagi buat terus membohongi diri sendiri...,” terasa ada kepedihan dalam
suaranya. “Aku... aku... mencintaimu, Anggi....”
Itu bagai lecutan petir buat hati Anggraini. Sehingga untuk sesaat napasnya
jadi tercekat, dan dadanya diguncang gempa. Ada huru-hara yang tiba-tiba
melanda perasaannya. Namun belum lagi ia bisa menguasai perasaannya, Langga
telah melangkah pergi. Dengan perasaan tak menentu ditatapinya pemuda itu. Di
dinding hatinya ada terpancang potret, tak berpigura.
Ketika telah berada di dalam kamarnya, dibacanya kembali isi pesan singkat
itu: “Mama berangkat ke Jogja malam ini, dengan kereta api Taksaka.
Jemput di Stasiun Tugu, jam 3 pagi.” Ia duduk termangu di tepi
pembaringannya. Berarti besok istrinya Langga akan ada di sini. Dan Langga akan
memperkenalkan aku kepadanya. Sebagai apanya? Teman? Sahabat? Atau pacar? Ia
menggigit bibir. Tiba-tiba ia merasa disergap perasaan takut yang sangat
dilematis. Di satu sisi ia merasa berdosa pada istrinya Langga, tapi di sisi
lain ia takut kehilangan Langga.
Malam segera menjadi neraka bagi Anggraini. Kecamuk di hatinya menyiksanya,
ditambah lagi dengan rasa takut untuk bertemu istri Langga. Dan yang paling
buruk ialah, tiba-tiba saja ia menyadari bahwa ia sebenarnya amat mencintai
Langga, dan takut kehilangan pemuda yang selalu menyenangkan hatinya dengan
perhatian-perhatiannya itu. Ya, Itulah yang membuatnya kemudian jadi menangis.
Ia begitu merasa nelangsa dalam ketak-berdayaan. Menjelang Subuh, ia memutuskan
untuk sholat Istikharoh, meminta petunjuk dan pertolongan kepada Allah. Dan
setelah sholat Subuh, akhirnya ia terlena, tertidur dalam posisi duduk di atas
sajadah, di tengah zikirnya.
***
Pukul 06, seperti biasa, alarm telepon genggamnya berbunyi. Biasanya untuk
mengingatkan agar ia memulai aktivitas pagi – senam ringan dan kemudian pergi
mandi. Namun kali ini, alarm itulah yang menjagakannya dari tidur duduknya di
atas sajadah. Tidur yang tanpa mimpi. Tidur yang rasanya baru terlena sedetik
saja. Dan ia terbangun dengan leher dan punggung terasa sakit serta kaki
kesemutan. Tanpa membuka mukenanya, ia beringsut naik ke pembaringan, dengan
susah-payah karena tak bisa berdiri akibat kesemutan pada kakinya. Ia lantas
berbaring di tempat tidur untuk meluruskan punggung dan lehernya yang tertekuk
saat tidur duduk tadi.
Setelah kesemutannya hilang, punggung dan lehernya juga sudah terasa lebih
enakan, ia bangun dan turun dari pembaringan. Sesudah melepas mukena, ia
melakukan senam ringan beberapa saat, berusaha memulihkan punggung dan
lehernya. Tubuhnya terasa lemah. Kurang tidur dan rasa cemas dengan apa yang
akan dialaminya nanti – saat bertemu dengan istri Langga, membuat semangatnya
terpuruk dan pikirannya tumpul.
Sebenarnya ia merasa sangat enggan untuk mandi, karena tubuhnya rasanya
sedang tak ingin kena air dingin. Namun karena kuatir tiba-tiba Langga muncul
untuk mengajaknya pergi, maka ia paksakan buat membersihkan badan di kamar
mandi. Dan meskipun tubuhnya merinding saat diguyur air, tapi sesudahnya ia
jadi merasa sedikit segar. Keluar dari kamar mandi ia langsung ke dapur dan
menyeduh teh celup dengan air panas dari dispenser. Supaya lebih segar, ia
menambahkan perasan jeruk nipis dan madu.
Sesudah meminum teh jeruk madu itu, Anggraini merasa semangat dan kesegaran
tubuhnya mulai pulih. Lewat pukul 07, ia sholat Dhuha 6 rakaat. Setelah itu
berdoa panjang, dengan hati diliputi rasa cemas, memohon agar Allah menjaganya
dari hal-hal yang tak diinginkannya. Tapi jauh di relung hatinya, ia tetap
berharap tidak akan kehilangan Langga, walaupun seraya terus mengabaikan
pertanyaan nuraninya: “Istrinya bagaimana?”
Ketika ia sedang membereskan peralatan sholatnya, Warno – penjaga rumah
kost – mengetuk pintu kamarnya dan memberitahu, “Mbak Anggi, ada Mas Langga di
depan!”
“Iya, No, terima kasih,” sahut Anggraini, lalu bergegas ke meja rias,
menyisir rambutnya, memeriksa wajahnya dan mengusapnya di sana-sini dengan
jemari, dan lantas merasa kesal karena mukanya terlihat layu serta ada bilur
biru di bawah matanya. Tapi mau bagaimana lagi? Langga sudah datang, dan ia
harus menemuinya.
Di teras, begitu Anggraini muncul, Langga memerhatikan wajah gadis itu,
dan sebaliknya Anggraini juga memerhatikan muka Langga yang kuyu. Anggraini
menghela napas.
“Kamu belum tidur, ya?” tanyanya, sebenarnya menerka.
Langga tersenyum hambar dan balik bertanya, “Kamu juga kurang tidur?”
Anggraini mendesiskan tawa kecil. “Kita mau berangkat sekarang? Aku ganti
pakaian dulu, ya?” katanya kemudian.
“Iya,” angguk Langga. “Tapi nggak usah buru-buru.”
Anggraini beranjak masuk. Langsung ke dapur. Ia membuatkan teh jeruk madu
buat Langga, lalu membawanya ke teras. “Ini, kamu minum ini dulu, biar agak
segeran,” katanya, seraya menyerahkan minuman itu kepada Langga.
“Iya, makasih.” Langga menerima teh jeruk madu itu dan menghirup uapnya.
Anggraini beranjak masuk lagi. Di dalam kamar, ketika membuka lemari
pakaiannya, ia berdiri tercenung dengan pertanyaan di dalam kepalanya:
“Sebaiknya aku pakai apa, ya? Perlukah aku berdandan?” Ia memejam, menggigit bibir
dan menengadah. Menimbang-nimbang dengan nurani, dan akhirnya ia memutuskan.
Ketika Anggraini keluar, menemuinya lagi di teras, Langga memerhatikan
penampilan gadis itu dan tersenyum.
“Nggak apa-apa 'kan aku pakai pakaian kayak begini?” Anggraini minta
persetujuan.
“Aku suka, karena kamu tetap menjadi diri kamu sendiri,” angguk Langga,
setuju dengan pakaian Anggraini yang seperti pakaian sehari-harinya kalau pergi
kuliah.
“Alhamdulillah,” Anggraini mengempaskan napas lega, lalu duduk.
“Tehnya enak, seger,” puji Langga. “Makasih, ya. Aku jadi merasa agak
segeran sekarang.”
“Sama-sama,” angguk Anggraini. “Aku juga minum itu tadi.”
“Oo... pantes kamu kelihatan lebih cantik pagi ini,” ujar Langga, menggoda.
“Eh, nggak ada hubungannya, ya?”
Anggraini pura-pura merajuk, melirik tajam pada Langga. Tapi Langga malah
tertawa.
“Nah, itu yang pingin aku lihat!” ujarnya. “Temen-temen bilang, itu wajah
judes kamu yang paling menciutkan hati. Tapi aku bilang, ya memang bener juga,
sih...!”
Anggraini seketika meletup tertawa, sambil mendorong pangkal lengan Langga.
“Brengsek! Kirain mau muji...!”
Dan mereka sama tertawa. Di pekarangan, seekor kupu-kupu menari-nari di
antara bunga-bunga yang mekar, bermandikan cahaya pagi yang hangat cemerlang.
***
Selama dalam perjalanan sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah mewah
di Kaliurang, Langga dan Anggraini sama membungkam dengan wajah suram. Keduanya
seperti orang yang tak saling kenal. Percakapan di antara mereka hanya terjadi
pada dua saat, yaitu saat akan berangkat, dan saat mereka akan turun dari mobil
di halaman rumah mewah itu.
“Rumah siapa ini, Lang?” letup Anggraini sambil mengamati rumah itu.
“Tempat tinggal Budeku,” sahut Langga, tak terlihat antusias.
“Rumah bude kamu? Dan kamu malah milih tinggal di rumah kost yang....”
Anggraini tak sampai hati untuk mengatakan rumah kost Langga yang kecil, di
tengah permukiman yang padat dan agak kumuh, yang bisa membuat orang tersesat
karena gang-gang sempitnya yang seperti labirin, yang kamarnya selalu berudara
panas karena ventilasinya yang kurang baik, dan yang harus antri kalau mau
mandi.
“Ya,” angguk Langga, tegas. “Supaya aku bisa belajar mengurus hidupku
sendiri.”
Anggraini memandang Langga. Dia senang mendengar itu. Tapi juga kasihan
kalau mengingat kamar kostnya. Ia bersama beberapa teman kuliah pernah ke sana.
Dan mereka, berenam, langsung membuat kamar itu jadi penuh. Sesak. Panas. Tak
leluasa bergerak. Berebut oksigen dalam sirkulasi udara yang buruk. Akibatnya,
hanya dalam lima belas menit, mereka semua telah bermandi peluh. Akhirnya,
sambil tertawa Langga mengajak mereka keluar dari kamar kostnya dan pindah ke
tempat yang lebih manusiawi, di kafe lesehan yang terdapat di bagian luar
kawasan permukiman itu.
“Ayo, masuk.” Langga mengempaskan Anggraini kembali ke bumi, seraya
melangkah. Pintu rumah terbuka. Seorang gadis, remaja, melangkah keluar. Cantik
dan kelihatan amat terawat. Ia menoleh ke arah Langga yang mengacungkan kunci
mobil kepadanya. “Makasih, ya,” ucap Langga ketika menyerahkan kunci mobil
kepada gadis itu.
“Ma-sama,” jawab gadis itu bersama angguk. Tapi matanya tertuju pada
Anggraini. Langga melihat itu dan bertindak.
“Oh iya, kenalkan, ini Anggraini,” lalu pada Anggraini, “Anggi, ini Juwita,
sepupuku, anak budeku.”
Anggraini dan Juwita berjabatan dan saling menyebutkan nama pendek
masing-masing:
“Anggi.”
“Wita.”
“Kamu mau ke mana, Wit?” tanya Langga kemudian.
“Mau beli roti buat Riano. Dia minta roti panggang,” sahut Juwita sambil
membuka pintu mobil. “Buruan deh masuk. Si Riano udah mulai rewel tuh nanyain
ayahnya.”
“Oke,” angguk Langga, lalu menggamit Anggraini, “Masuk, yuk.”
Anggraini mengikuti Langga, melangkah menuju pintu. Juwita menjalankan
mobilnya. Anggraini menolehnya. Diam-diam dia merasa menyesal karena telah
punya prasangka kurang baik kepada Langga mengenai mobil itu. Namun itu
sebenarnya wajar saja. Karena selama ini ia, dan juga kebanyakan teman kuliah
mereka, tahunya Langga itu mahasiswa kurang mampu. Maka amat beralasan kalau tadi,
ketika Langga mengajaknya naik ke mobil BMW yang terlihat masih baru, ia
spontan bertanya tak percaya:
“Mobil siapa ini?”
“Mobil pinjaman,” sahut Langga, biasa saja. “Ayo naik.”
Kalau Langga tak membukakan pintu untuknya, Anggraini pasti tidak akan
pernah berani membuka pintunya, apalagi menaikinya. Dan ternyata, itu memang
betul mobil pinjaman dari Juwita, sepupunya. Ya Allah, begitu mudahnya
prasangka itu muncul... sesal Anggraini.
***
Anggraini sebenarnya termasuk anak orang berada, namun memasuki rumah mewah
yang bagai istana itu, ia merasa dirinya norak juga. Karena begitu banyak
‘obyek sasaran rasa ingin tahu’ yang tersebar di seantero rumah itu. Dari mulai
kemegahan bangunannya sampai tatanan interior dan aneka pernak-pernik mebelnya.
Dan ia tiba-tiba merasa dirinya seperti Cinderella yang sedang memasuki istana.
Namun istana itu sepi. Tak ada seorang pun di situ. Dan Langga, dengan sikap
tak acuh, terus melangkah melewati ruang-ruang, hingga akhirnya mereka sampai
di taman belakang. Rupanya di situlah semua penghuni istana ini berada, sedang
sarapan sambil menikmati kehangatan matahari pagi.
“Ayaaaahhhh!” bocah lelaki berusia sekitar tiga tahunan langsung lari
menghambur ke arah Langga. Dan Langga menyambutnya dengan wajah gembira,
menekuk kakinya, merendahkan tubuhnya serta merentangkan kedua tangannya.
Disambutnya bocah lelaki itu ke dalam pelukannya, hangat. Si bocah langsung
merengkuh lehernya. “Ayah dari mana, sih? Nano tadi bangun Ayah nggak ada,”
celoteh bocah itu, komplain.
Teriakan bocah itu tadi telah membuat semua orang yang ada di taman itu
jadi mengalihkan perhatian kepada Langga, dan lantas juga kepada Anggraini.
Namun Anggraini belum menyadari hal itu. Karena perhatiannya sedang terpusat
pada si bocah dan Langga. Selama ini ia hanya tahu, berdasarkan pengakuan
Langga, bahwa Langga sudah punya anak. Laki-laki. Berusia sekitar tiga tahun.
Riano namanya. Dan kini, akhirnya ia melihat ujud nyata anak itu. Tapi
tiba-tiba terasa ada bagian dari dirinya yang runtuh. Oh... ada kesedihan yang
seketika meruyak dari kedalaman hatinya yang sangat jauh.
Sambil menggendong Riano, Langga melangkah mendekati Anggraini dan berkata pada Riano. “Nano, ayo
kasih salam sama Tante Anggi. Kenalan.” Nano adalah nama panggilan bocah itu.
Anggraini tiba-tiba merasa terjaga dari sesuatu. Dengan gugup ia merekahkan
senyum di bibirnya, dan lalu menyambut uluran tangan Riano dalam jabatan lunak
namun hangat.
“Assalammu alaykum, Tante. Nama aku Riano. Tapi dipanggilnya Nano, kayak
merek permen yang aku suka,” ucap Riano dengan sikap manis, lalu mencium
punggung tangan Anggraini.
“Wa alaykum salam wa rohmatullah, Riano,” balas Anggraini, takjub, lalu
memujinya sambil mencubit gemas pipi bocah itu. “Ih, pinternya kamu. Siapa yang
ngajarin? Ayah, ya?”
“Iya, Tante,” angguk Riano, "Nama Tante siapa?"
"Oh, iya! Maaf, Tante sampe lupa. Abis kamu pinter banget, sih," ujar Anggraini, seraya menoel pipi Riano. "Nama Tante, Anggraini. Tapi panggil aja Tante Anggi."
Riano menatap Anggraini seperti terpesona, lalu seolah merasa malu, ia menyurukkan wajahnya ke leher Langga dan berbisik, tapi suaranya terlalu keras untuk tidak kedengaran oleh Anggraini. “Ayah, Ayah, Tante Anggi cantik, ya? Pacarnya Ayah, ya?”
"Oh, iya! Maaf, Tante sampe lupa. Abis kamu pinter banget, sih," ujar Anggraini, seraya menoel pipi Riano. "Nama Tante, Anggraini. Tapi panggil aja Tante Anggi."
Riano menatap Anggraini seperti terpesona, lalu seolah merasa malu, ia menyurukkan wajahnya ke leher Langga dan berbisik, tapi suaranya terlalu keras untuk tidak kedengaran oleh Anggraini. “Ayah, Ayah, Tante Anggi cantik, ya? Pacarnya Ayah, ya?”
“Kenapa? Kamu naksir?” goda Langga.
Riano tersipu-sipu sambil mencuri-curi pandang pada Anggraini. Lalu
berbisik lagi pada Langga, “Ayah, Nano boleh minta gendong nggak ama Tante?”
“Hus, enak aja,” sahut Langga, “Ayah aja belum pernah digendong Tante,
masak kamu udah mau ngeduluin,” candanya.
“Heh, kamu, tuh!” Anggraini menampar ringan pangkal lengan Langga, sambil
mendelik. Tapi wajah manisnya segera ia tunjukkan lagi pada Riano. “Ayo, sini,
kalo Nano pengen Tante gendong,” katanya pada bocah itu, seraya merentangkan
kedua tangannya.
Riano pun dengan wajah gembira segera menyambutnya dengan rentangan kedua
tangan, minta digendong.
“Ya udah sana, rejeki kamu, tuh,” kata Langga, seraya menyerahkan Riano ke
pelukan Anggraini. “Tapi awas, ya!” ancamnya kemudian, mengacungkan telunjuk.
“Jangan coba-coba ngerayu Tante Anggi! Ayah sentil nanti kamu!”
Tanggapan Riano cuma ketawa-tawa saja. Anggraini pun ikut tertawa-tawa,
seraya kemudian menciumi pipi Riano dengan gemas, membuat Riano jadi bertambah
senang. Langga pun jadi gemas dibuatnya, dan memencet hidung bocah itu.
“Dasar perayu kecil!” katanya. “Awas ya, kalo Tante Anggi sampe jatuh cinta
sama kamu! Bisa repot tuh mama kamu bolak-balik Jakarta Jogja nanti.”
“Ya nggak apa-apa,” kata perempuan cantik yang mendatangi mereka, lalu
tersenyum ramah pada Anggraini saat menolehnya. “Asal kalian suka, Jakarta Jogja bukan
masalah.”
“Mama!” sambut Riano. “Ini kenalin, Ma. Tante Anggi. Pacarnya Ayah!”
Hah! Anggraini kaget. Astaghfirullah... bisiknya di hati. Apa-apaan sih ini?
Ia benar-benar tak mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam keluarga
ini. Bagaimana mungkin seorang anak memperkenalkan perempuan lain kepada ibunya
sebagai pacar ayahnya? Gila apa?
Namun mamanya Riano tersenyum biasa saja menanggapinya, dan malah dengan
gemas mencubit dagu anaknya. “Iya, Mama udah tahu,” katanya. “Kamu suka ya sama
Tante Anggi?”
“He eh,” angguk Riano, seraya kemudian menyandarkan sisi wajahnya ke leher
Anggraini.
Wah! Anggraini benar-benar merasa aneh. “Ini betul-betul keluarga yang
aneh,” katanya dalam batin.
“Hai, Anggi,” sapa mamanya Riano pada Anggraini, dengan senyum ramah,
seraya mengulurkan tangan. “Kenalkan, saya, Rinanti. Mamanya si perayu kecil
ini.”
Anggraini menjabat tangan Rinanti dengan hangat. “Anggraini,” sebutnya.
“Ayuk, gabung sama yang lain,” ajak Rinanti kemudian.
Anggraini mengikuti ajakan Rinanti, sementara Langga sudah duluan bergabung
di meja makan marmer oval besar di pinggir kolam renang. Ia berdiri di antara pasangan
setengah baya – papa mamanya – sambil matanya menjelajah isi meja makan,
sementara mamanya mengusap-usap punggungnya dengan sayang. Rinanti dan
Anggraini tiba di sana. Rinanti langsung membimbing Anggraini menuju papa-mama
Langga.
“Pa, Ma, ini kenalkan, Anggraini,” kata Rinanti, begitu mereka sampai di
dekat mereka. Mama dan Papa Langga bergegas bangkit dari duduk. Langga menoleh
kepada mereka.
“Eee ini tho calon menantuku yang putri Solo itu,” ujar
Mama Langga dengan wajah gembira. Dan Anggraini jadi tersipu-sipu dibuatnya.
Tapi rasa heran di dalam hatinya semakin menjadi-jadi. Apa-apaan sih ini?
Setelah Anggraini mencium tangannya, Mama Langga bilang pada Riano dengan nada
memerintah, “Hei, kamu, Perayu Kecil. Ayo, pindah gendong sama ayah kamu sana!
Eyang Uti mau meluk Tante Anggi.”
“Hahaha,” Langga langsung membentangkan kedua tangannya dengan gembira,
“akhirnya dia kembali kepadaku! Ayo, sini!”
“Aaah, Eyang Uti nih ada aja, sih!” keluh Riano, tapi sambil patuh
berpindah ke pelukan Langga. Mama Langga segera memeluk Anggraini dengan penuh
kehangatan dan rasa sayang. Dan Anggraini, meski merasa canggung, namun
menikmati kehangatan sikap Mama Langga yang tulus itu.
“Tapi Eyang Kung nggak boleh meluk Tante Anggi juga, ya!” Riano menoleh
pada Papa Langga, menyampaikan larangan. Semua yang mendengar langsung meledak
tertawa. Papa Langga langsung pasang muka cemberut. Tapi Riano tak
memedulikannya. Ia sedang menoleh ke sana-ke mari dan menyebarkan larangannya,
“Papa juga nggak boleh!” kepada lelaki yang wajahnya mirip dengan Langga tapi
terlihat lebih dewasa, Arga, papanya Riano.
“Iya, siaapp, Komandan,” sahut Arga, sambil membuat gerakan menghormat.
“Pakde Bagus juga!” tunjuk Riano, pada pemuda yang sedang makan sambil
menjuntaikan kakinya ke dalam kolam renang. Yang ditunjuk langsung menoleh.
“Inggih, Ndoro Tuan!” sahutnya.
“Eyang Kung Pakde juga nggak boleh, ya!” Menunjuk Pakde, yang memang sudah
siap.
“Inggih! Aku rapopo,” sahutnya, lalu tertawa bersama yang lain, karena
ingat dengan “aku rapopo”nya Jokowi ketika dicerca lawan-lawan politiknya, saat
jadi Gubernur DKI Jakarta dan akan maju menyalonkan diri sebagai Presiden RI
Ke-7. Dan tetap “rapopo” meski telah jadi presiden.
“Tapi Bude boleh tho?” Bude angkat telunjuk.
“Iya, boleh. Tapi jangan lama-lama,” ujar Riano.
“Lho, memang kenapa kok ndak boleh lama-lama?” tanya Bude, usil.
“Soalnya Tante Anggi mau nyuapin Nano makan,” sahut Riano, yakin. “Soalnya
Nano udah laper, nih.”
“Eeeh, sembarangan aja!” tegur Rinanti, “Emang Tante Anggi mau nyuapin kamu
apa?”
“Ya pasti maulah,” sahut Riano, yakin. “Ya, Tante, ya?”
Semua jadi serempak tertawa dibuatnya. Anggraini hanya bisa geleng-geleng
kepala sambil mengulum tawa.
“Dasar tukang maksa!” gerutu Langga, mendorong dahi Riano. “Terus roti
panggangnya gimana? Katanya minta roti panggang. Bude Wita bisa marah lho kalo
roti panggangnya nggak kamu makan. Dia udah capek-capek tuh mbeliin buat kamu.”
Riano terdiam. Mikir. Tapi lalu punya ide brilian. “Iya, nggak
papa. Tapi Ayah yang nyuapin, ya?” cetusnya sambil memandang pada Langga dengan
tatapan merayunya.
“Wuih, enak aja,” sahut Langga. “Wani piro kamu?”
Riano kaget, tak menyangka akan mendapat tantangan begitu. Tapi otak
cerdasnya bergegas mencari solusi, dan ia dapatkan dengan cepat. Ia lalu
membisiki Langga, “Nanti Ayah boleh meluk Tante Anggi, deh.”
“Hah?” Langga kaget. Mama dan Papa Langga serempak meledak tertawa karena
mendengar bisikan Riano itu. Yang lain jadi penasaran, melihat ke arah mereka
sambil bertanya-tanya, “Apa, sih? Apa, sih?”
“Dasar kamu!” Langga mendorong dahi Riano, “Perayu nggak modal!” Tapi Riano
hanya tertawa-tawa saja.
Ada hal yang tak dimengerti Anggraini, setelah ia berkenalan dengan seluruh
keluarga besar Langga itu, dan kemudian membaur ke tengah-tengah mereka –
sebagai calon anggota keluarga baru, karena mereka semua menganggapnya sebagai
pacar Langga. Ia dengan begitu saja lantas merasa bahwa dirinya memang bagian
dari keluarga ini. Ia merasa nyaman dan betah. Apa karena mereka semua dengan
tulus menganggapnya sebagai bagian dari keluarga? Entahlah. Namun Anggraini
bahagia berada di tengah-tengah mereka. Sehingga, ketika akhirnya ia harus
mohon diri untuk pulang ke rumah kostnya, ia benar-benar merasa enggan. Ia
masih betah. Ia ingin terus berada di tengah-tengah keluarga Langga itu,
meskipun terus dimonopoli oleh Riano.
***
Dari Rinanti, Anggraini mendapat kisah lengkap rahasia perkawinan Langga
dengan Rinanti. Semuanya berawal dari perjalanan cinta Langga dan Julia ketika
di SMA. Langga yang seorang bintang pelajar di sekolahnya, dan Julia yang
seorang artis baru. Mereka pacaran, menurut anggapan Langga. Tapi entah menurut
Julia sendiri. Namun yang jelas, kebanyakan teman Langga memperingatkan bahwa
Langga hanya dimanfaatkan oleh Julia.
Langga yang tulus mencintai dan selalu menganggap bahwa semua orang adalah
baik, seperti dirinya, akhirnya menemukan kenyataan yang amat melukai hatinya.
Setelah tamat SMA, dan mereka masuk kuliah di fakultas yang berbeda, tiba-tiba
Julia meninggalkan Langga begitu saja dan berpaling kepada pemuda lain
sefakultasnya. Padahal Julia bisa lulus SMA, menurut semua temannya, adalah
karena bantuan Langga – yang memberinya les semua pelajaran di sela-sela
kesibukan syuting Julia. Bahkan untuk menghadapi ujian akhir sekolah dan ujian
nasional, Langgalah yang memberinya bimbingan.
Tapi yang paling menyakitkan ialah, janji akan bertunangan setelah tamat
SMA dibatalkan begitu saja oleh Julia – dan dengan alasan karena dia berubah
pikiran. Padahal persiapan untuk acara itu sudah mulai dilakukan. Langga
langsung tumbang, patah hati dan memutuskan berhenti kuliah. Ia tak sanggup
kalau harus bertemu lagi dengan Julia di kampus. Namun ia janji akan kuliah
lagi tahun depan, di luar Jakarta. “Dan untungnya Langga memilih masuk UGM,
sehingga akhirnya bisa ketemu aku,” kata hati Anggraini saat itu, merasa
kebagian hikmah atas musibah yang menimpa Langga.
Di saat Langga sedang dirundung kedukaan, musibah lain datang. Arga, kakak
Langga, yang pergi mengantarkan sahabatnya, Agung, ke Bandung untuk menikah
dengan Rinanti, mendapat kecelakaan di tol Purbaleunyi. Agung meninggal dan
Arga terluka parah. Padahal pernikahan Agung dan Rinanti akan dilaksanakan dua
hari lagi. Ketika datang menjenguk kakaknya di rumah sakit, Langga merasa heran
melihat kakaknya terus-menerus menangis dan merengek agar diizinkan pergi ke
Bandung untuk menggantikan Agung menikahi Rinanti. Soalnya, setahunya, kakaknya
itu jagoan. Preman kampus. Dan paling anti dengan kecengengan.
Dengan kesabaran seorang ibu, akhirnya Mama berhasil membuat Arga mau
menjelaskan ada apa sebenarnya dengannya. Rupanya, Arga merasa bersalah dengan
meninggalnya Agung, dan dia menguatirkan nasib Rinanti yang yatim piatu dan
sedang mengandung, kalau sampai gagal menikah. Keluarga tantenya pasti akan
merasa dipermalukan oleh kehamilan di luar nikahnya. Dan selain itu, bagaimana
nasib anaknya nanti?
“Jadi, kamu mau menggantikan Agung buat menikahi pacarnya yang hamil itu?”
tanya Papa, dengan nada kurang setuju.
Arga tak menjawab. Tapi Mama tahu bahwa Arga memang berniat begitu. Mama
kenal Rinanti, karena sudah beberapa kali diajak ke rumah oleh Agung. Dan Agung
sendiri juga sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Mama, karena Mama melihat
Agung bisa diandalkan untuk menjagai Arga di luar sana.
“Tapi keadaan kamu kayak begini, Arga,” ujar Mama, “Bagaimana mungkin kamu
bisa pergi ke Bandung buat menikahi Rinanti?”
Airmata Arga meleleh. “Maafin gue, Gung, maafin gue...!” rintihnya, dalam
isak perih.
Tiba-tiba Langga ambil keputusan. “Kalo gitu, biar Angga aja yang ke
Bandung, Ma. Angga yang akan ngewakilin Mas Arga menikahi Mbak Rinanti.”
Papa dan Mama kaget, jelas sangat tidak setuju. Tapi entah mengapa,
tiba-tiba saja Langga bisa jadi begitu teguh dengan keputusannya, sehingga Papa
dan Mama yang akhirnya menyerah. Maka perundingan darurat segera dilakukan. Dan
kemudian diputuskan bahwa Mama yang akan ikut ke Bandung buat mendampingi
Langga, menikahi Rinanti mewakili Arga. Syukurlah, semua berjalan lancar. Juga
saat resepsi, ketika Langga tampil sebagai mempelai pria mewakili kakaknya. Tak
banyak yang tahu kalau dia hanyalah pengantin wakil.
Dan sejak pernikahan wakil itu, Langga mengenakan cincin pada jari manis tangan kanannya. Tapi itu sebenarnya bukan cincin kawin antara Arga dan
Rinanti, melainkan cincin yang rencananya untuk tanda pertunangannya dengan
Julia. Ya Allah...! Anggraini merasa berdosa karena pernah mengira cincin itu
adalah cincin kawin Langga dengan Rinanti.
“Dan kamu tau, kenapa Riano memanggil Langga dengan sebutan Ayah?” tanya
Rinanti pada Anggraini. Dan dijawabi dengan gelengan kepala oleh Anggraini.
“Soalnya, sejak Riano jebrol lahir, sampai akhirnya dia
berangkat ke Jogja buat kuliah, dialah yang paling repot mengurus Riano. Bahkan
kalau tengah malam Riano nangis dan susah didiamkan, dia yang tanganin. Anak
itu langsung anteng dan tidur pulas.”
“O ya?” Anggraini ternganga takjub. “Sampai kayak gitu, Mbak?”
“Iya,” angguk Rinanti, tegas. “Makanya kamu nggak usah kuatir. Kalau nanti
kalian punya anak, Langga udah mahir kok ngurus bayi. Jadi, kamu bisa fokus
ngurus bapaknya aja.”
“Hahahaha,” Anggraini tertawa dengan rona merah menyebar cepat di wajahnya,
“Mbak bisa aja...!”
***
Malamnya, ketika Langga mengantarkannya pulang ke rumah kostnya, Anggraini
mengajak Langga duduk dulu di teras.
“Ada yang perlu aku omongin,” kata Anggraini.
Langga duduk, diam, menunggu dengan jantung gemetar dan hati digerumit
kecemasan. Anggraini meraih tangan kanan Langga dan mengamati cincin emas putih
di jari manisnya itu.
“Boleh aku liat?” pintanya, sambil hendak melepaskan cincin itu. Langga
mengangguk. Anggraini melepaskan cincin itu dan ia baru tahu kalau cincin itu
ternyata ada matanya, berlian merah muda. Rupanya Langga selalu mengenakan
cincin itu dengan menghadapkan bagian matanya di sebelah dalam. Anggraini hanya
memerhatikan mata cincin itu sebentar, lalu serius mengamati lingkaran
dalamnya. Kosong.
“Belum ada namanya, kok,” jelas Langga.
Anggraini tersenyum dan mengembalikan cincin itu, memasangkannya ke jari
manis tangan kiri Langga dan menghadapkan mata berliannya ke luar. Setelah itu
ia menadahkan tangan pada Langga, meminta. “Pasangannya mana?”
Langga menatap Anggraini. Mencoba menerka maksud gadis itu. Anggraini
mengangguk.
“Aku tau cincin itu ada pasangannya,” katanya.
Langga menghela napas dan menarik keluar kalungnya. Di kalung itu ia
menyimpan cincin pasangannya. Anggraini pernah melihat sekilas cincin di kalung
Langga itu. Dan setelah mengetahui rahasia perkawinan Langga, ia menduga bahwa
cincin itu adalah pasangan dari cincin yang dipakai Langga. Ternyata benar.
Langga melepaskan cincin itu dari kalung dan meletakkannya di atas telapak
tangan Anggraini. Dengan senyum manis tersungging di bibirnya, Anggraini
mengamati cincin itu. Modelnya sama persis dengan cincin yang dipakai Langga.
Emas putih dengan mata berlian merah muda. Ia periksa lingkaran dalamnya. Kosong.
Senyumnya jadi semakin indah. Dimasukkannya cincin itu ke jari manis tangan
kirinya. Ternyata ukurannya pas. Ia lalu mengamati cincin bermata berlian merah
muda di jari manis tangan kirinya itu.
“Pas dan pantes banget,” ujarnya, lalu menoleh Langga. “Boleh aku pakai?”
tanyanya.
Langga mengangguk. “Kalau kamu memang mau memakainya,” ujarnya.
“Ya pasti maulah,” sahut Anggraini, tersenyum bahagia. “Sampai kita selesai
kuliah, cincin ini dulu aja ya yang kita pakai. Nanti, kalau udah wisuda, baru
kita siapin penggantinya. Cincin pernikahan. Setuju?”
Langga mengangguk dengan senyum dan kembang api memancarkan aneka warna di
dalam matanya. “Iya, aku setuju. Tapi... berarti misi keluargaku datang ke
sini... gagal?”
“Nggak juga,” geleng Anggraini. “Lusa kita semua bareng-bareng ke Solo, dan
hari Minggunya kita resmikan pertunangan kita di sana. Nanti aku telepon ke
Solo buat nyiapin segala sesuatunya.”
Langga langsung terlihat lega dan sangat bahagia. “Alhamdulillah...,”
ucapnya. “Makasih, Anggi, terima kasih....”
Anggraini tersenyum dan menggenggam tangan kanan Langga. “Aku juga
berterima kasih, karena kamu udah memilih aku buat mengisi hati kamu....” Di
dinding hatinya ada terpancang potret, kini telah berpigura.
*****
Telah
diterbitkan
pada Majalah
Gadis No. 19, 18-28 Juli 1983,
di bawah nama
penulis: M. H. Thamrin Mahesarani.
Revisi
terakhir: 01 Mei 2016.
mantaapp bro....
BalasHapusMakasih, Bro. Mudah-mudahan cukup menghibur. Tetap semangat.
Hapus