Sebelas birama yang hilang inilah yang membuat rintihannya
jadi terasa janggal dan mengambang. Aku menghela napas lega. Ada kebahagiaan
yang merambat hadir, sebuah rasa dari masa lalu, yang kemudian mendekap erat.
Hangat membentangkan cakrawala yang penuh keceriaan dalam fatamorgana. Simfoni
itu telah sempurna sekarang. Aku bangkit dari depan piano dan melangkah dengan
perasaan ringan menuju ruang depan, keluar, lalu berdiri di teras, memandang ke vila di
puncak bukit itu, dengan senyum bahagia di bibir. Ah...!
Cahaya redup terpancar dari ruang depan vila itu. Dalam
siluet, perempuan bergaun panjang putih berdiri di terasnya, memandang ke
arahku. Rambutnya yang sebahu, tergerai lepas, bergerak-gerak pelan dimainkan
angin dingin. Juga gaun putihnya. Aku tahu ia melihatku, seperti aku pun yakin
ia tahu aku melihatnya. Kami memang tak pernah mengenal rupa masing-masing.
Yang kami kenal hanya sosok siluet yang menarik, yang tampil dari balik tabir
misteri yang melingkung. Aku dan dia adalah dua sosok misteri yang berdiri di
belakang tirai masing-masing, yang ditautkan oleh sebuah simfoni tak sempurna, yang mencoba saling menjabat, memberi dan
menerima. Saling mencinta? Aku termangu. Aku tak tahu. Mungkin waktu dan suasana hati
kamilah yang akhirnya akan menentukan.
Kami baru seminggu ini berkenalan. Berkenalan dalam misteri
masing-masing maksudku. Dia sosok perempuan yang aneh, seperti ia pun mungkin
menganggapku sebagai sosok lelaki yang aneh. Yaaa, sama-sama aneh! Kami tak
pernah bertemu muka, tapi kami merasa saling mengenal. Ah, apa dia juga merasa
begitu? Baiklah, kuanggap saja dia pun merasa begitu. Kami tak pernah saling
kenal nama, tapi kami bisa saling menyapa dengan wajar dan akrab, saling
berbincang, saling menghibur dan mengutarakan kesedihan. Hhh, sebuah dunia yang
aneh!
Seminggu yang lalu, pada malam pertama aku berada di sini,
aku mendengar ia berbincang dengan sepi. Sepi yang selalu dibenci oleh semua
orang itu! Tapi... dia begitu akrab dengannya. Ia begitu intim dengan kesepian
itu.
Pada malam itu, sampai jauh malam aku ‘menguping’
percakapannya dengan sunyi. Percakapan yang murung. Percakapan yang dimulai
pada hitungan keempat setelah dentang kesembilan jam dinding. Ia menyapa sepi
dengan simfoninya yang tak sempurna itu. Simfoninya yang kehilangan sebelas
birama terakhir itulah yang menarik perhatianku. Aku sampai-sampai tak percaya
pada pendengaranku. Bagaimana mungkin, ada nyanyian yang kandas begitu saja,
tanpa penyelesaian yang jelas? Ah, apakah yang memainkannya tidak sanggup lagi
untuk meneruskannya? Atau... apakah karena ia lupa pada birama-birama
selanjutnya? Hei, ini sungguh-sungguh aneh! Ya, ini aneh sekali! Lagu yang
begitu bagus dan begitu lancar mengalir bisa terpenggal tanpa keputusan seperti
itu. Ah! Ini tidak boleh terjadi. Tidak. Dia harus menyelesaikan permainannya
itu. Harus! Ia tak boleh merusakkan jalinan nada yang telah dirangkai begitu
sempurna itu. Tidak boleh!
Aku keluar ke teras, mencari-cari asal suara piano tadi.
Dan ketika itulah aku pertama kali mengenalnya. Ia berdiri di teras, seperti
arca bidadari, mengenakan gaun panjang putih yang berkibar-kibar perlahan
dimainkan oleh angin dingin. Aku tertegun. Dari pantulan kemurungannya itu aku
mendapat kepastian yang tegas. Ia memang tak akan pernah menyelesaikan
simfoninya itu. Ia telah kehilangan birama-birama selanjutnya....
Aku terus mengamatinya, sampai suatu saat ia beranjak lagi
ke dalam lalu memainkan pianonya kembali. Aku termangu. Nada-nada sendu
membelah keheningan malam. Dingin mengalir pelan, bersama ketukan-ketukan nada
murungnya. Aku beranjak masuk. Ada sesuatu yang mencengkeram. Entah apa. Tapi
semua lagu-lagu yang dimainkannya itu pernah kukenal. Pernah begitu akrab
dengan diriku.
If You Leave Me Now-nya
Chicago, You-nya Bazil Valdez, I Wanna See You Now,
dan For You to Remember-nya Leon Hainess Band, dan juga yang
lain-lainnya. Ah, semua itu mengingatkanku pada masa-masa ketika masih di SMA.
Terutama pada dua gadis itu....
***
Ika dan Ira.
Mereka adalah sahabat-sahabatku. Kuanggap mereka aneh,
karena mereka menyukaiku dari dua sisi yang bertentangan. Hmmm. Aku tersenyum
diam-diam. Bayangan mereka melintas dalam kegelapan yang terhampar. Ika yang
pendiam dan sederhana – tapi selalu mudah marah kepadaku. Dia suka kalau aku
menyanyi, tapi benci kalau aku main piano. Lalu Ira yang periang dan glamour
itu. Dia suka kalau aku main piano, tapi paling benci kalau aku nyanyi!
“Aneh...,” gumamku, pelan, pada diri sendiri.
“Aneh?” Ika menatapku. “Apa yang aneh?”
“Kamu yang aneh, Ka,” ujarku begitu saja.
Ika langsung melotot padaku. Aku kaget dan buru-buru
menenangkannya.
“Sabar, Non, sabaaarrr. Jangan marah dulu. Aku belum
menjelaskan alasanku, 'kan?”
“Oke, coba jelaskan!” tuntut Ika. Matanya tetap garang
padaku.
“Oke, oke. Sekarang... coba kamu jawab. Kenapa kamu nggak
suka aku main piano?”
Ika kontan terdiam. Sirat kemarahan pada wajahnya seketika
lenyap. Ia terlihat bersusah payah menelan ludah dan lantas menghela napas seraya
kemudian merunduk. Jemarinya mempermainkan tisu di tangannya.
“Kok diam? Enggak punya alasan?”
Ika menggeleng pelan. “Aku cuma nggak suka aja liat kamu
main piano. Itu aja. Nggak tau kenapa....”
Aku tertawa kecil. “Terus... kenapa kamu suka liat aku
nyanyi, kalau kamu nggak suka liat aku main piano? Padahal kamu 'kan tau, nyanyi itu enaknya yang sambil diiringi musik.”
“Tapi kamu 'kan bisa main gitar,” dalihnya, “Ya diiringi
pakai gitar aja.”
“Oh, gitu...?” Aku menatapnya. “Jadi, kalau aku nyanyi,
lebih baik sambil main gitar?”
“Iya,” angguknya.
Aku mengangguk-angguk. Ia memerhatikanku.
“Tapi... bukan karena Ira lebih suka liat aku main piano,
'kan?”
Ika seketika melotot bulat. “Apa?” lengkingnya. Waduh,
salah lagi deh aku!
“Eh-eh! Sabar, Non, sabaaarrr!” Buru-buru kuraih tangannya
dan mengenggamnya. “Kamu nggak ngerti maksudku, Ka, kamu nggak ngerti.”
“Jadi, apa maksud kamu sebenarnya?” ia menyorotku dengan
mata beringas.
Aku menepuk-nepuk punggung tangannya. “Aku cuma kuatir,
kalo-kalo kamu punya maksud begitu.”
Ika mengibaskan tanganku dengan sengit. “Lepas! Brengsek
kamu! Aku nggak suka kamu sangka begitu, tau!” semburnya, betul-betul marah.
Waduh! Aku garuk-garuk kepala tidak gatal. “Maaf, maaf...!”
***
Kulayangkan lagi pandanganku ke vila di puncak bukit itu.
Dia masih berdiri di sana. Angin dingin mulai terasa menyakiti kulit. Aku
melambai padanya. Ia membalas kecil, lalu beranjak masuk. Aku pun kemudian
masuk. Setelah menutup pintu, aku pergi ke depan perapian. Kehangatan terasa
mengelus lembut. Kumasukkan beberapa potong kayu pinus ke dalam tungku,
kemudian aku berbaring ke sofa. Samar-samar, di antara geretak suara kayu yang
terbakar, kudengar nyanyian itu. Woman in love-nya Barbra Streisand.
Aku bersenandung lirih:
“Life is a moment to space. When a dream is gone, it’s a
lonely a place. I kiss the morning good bye down inside. You know we never know
why....”
Hidup adalah masa yang mesti dilalui. Jika impian telah
pudar, ia menjadi tempat yang sunyi. Kuucapkan selamat tinggal pada pagi dalam
hatiku. Kau mengerti kita tak pernah tahu sebabnya...
Aku merenungi langit-langit putih. Aku teringat pada Ira.
Dia dulu selalu memainkan lagu itu bila aku ada di rumahnya. Dan Ika yang duduk
di seberang meja, menatap padaku dengan sorot menyelidik. Cemburukah dia? Ah,
itu 'kan cuma perasaanmu saja, Hes. Begitu selalu kutepiskan sangkaanku
terhadapnya. Dan Ira terus mengetuk nada. Aku melihat sesuatu yang janggal
dalam mata Ika. Entah apa....
“Gimana, Hes? Permainanku udah sempurna belum?” tanya Ira,
ketika telah menyudahi Woman in love, seraya duduk di samping
kiriku.
“Lumayan, cuma... improf kamu sering nggak
pas. Kamu juga masih sering salah tekan tone!” komentarku.
Ira tertawa. “Emang kedengaran?” tanyanya, polos.
“Ya kedengaran aja. Namanya juga nada. Biar cuma
sepersekian ketukan, kalau udah berbunyi pasti kedengaran. Apalagi kesalahan
dalam jalinan lagu yang udah tersusun rapi.”
Ira manggut-manggut. “Jadi, nggak boleh salah tekan, ya?”
Aku mengangguk pelan, sambil mencuri-curi pandang pada Ika,
tapi tertangkap basah. Ika melotot bulat. Aku menyeringai sambil memalingkan
muka, agar tak terlihat oleh Ira.
“Oke, sekarang coba kamu mainkan Something,”
kataku pada Ira.
“Kasih contoh dulu, dong,” pinta Ira, menjeling manja.
Aku bangkit, sambil memandang pada Ika. Ia memberengut. Aku
beranjak ke piano. Kumainkan Something-nya The Beatles itu. Ira
berdiri di sisiku, memerhatikan. Di wajahnya terpancar sesuatu yang tak bisa
kupahami.
“Oke, cukup?” Aku memandangnya, setelah mengakhiri
permainan.
Ira mengangguk dan segera mengambil alih tempat duduk.
Aku meraih gitar dan menuju ke tempat dudukku semula, di
depan Ika, berseberangan meja. Ira memainkan piano, aku memetik gitar dan
bernyanyi:
“Something in the way she moves. Attracsme like no other
lover. Something in the way she woos me....”
Wajah Ika berubah cerah. Matanya berpendar-pendar indah.
Ah, bahagia sekali bisa bersikap adil pada mereka....
Tawa riang Ira dan senyum lembut Ika terasa akrab mendekap
diri, menghangati malam yang kian membeku, sebelum kegelapan menyergap, dan
segalanya pudar....
***
Aku sedang menyusun buku-buku musik ketika lembaran itu
terjatuh. Aku memungut dan memeriksanya. “Bila Esok Kita Berpisah” judul lagu
itu. Aku tertegun. Sesuatu yang sendu, yang pernah terlupakan, tiba-tiba
menyeruak bangkit kembali. Pesta kecil di rumah Ira itu... ah! Dan duka lama
kembali menganga. Hatiku menyanyikan untaian not-not balok itu dengan
jantung dibalur kesenduan yang dingin:
“Bila esok kita berpisah. Mestikah jabatan ini kita
lepaskan? Jangan, biarkan kubawa dirimu dalam kepergian ini. Tempatku kembali
dan mengadukan sepi, bila suatu malam kurindui kamu. Dan salju berderai luruh,
mendekap Wina nan jauh....”
Kedua gadis itu duduk membeku, menatapku dengan mata
kosong. Suara piano dan nyanyianku merangkum ruangan. Murung. Di luar, langit
mulai temaram. Aku terus bernyanyi bersama piano, mengucapkan salam perpisahan
yang perih.
Besok aku berangkat ke Wina, untuk memperdalam ilmu
musik. Orangtuaku yang menghendaki ini. Mereka ingin aku menjadi pemusik yang
hebat, sehebat kakekku dulu. Dan bahkan, mereka menginginkan agar aku mampu
tampil sebagai pemusik yang sanggup menyejajari kehebatan Beethoven! Hm, mimpi!
Padahal mereka tahu, aku tidak pernah bisa menyukai musik-musik klasik
yang njlimet! Nah, bagaimana mungkin aku bisa mewujudkan harapan
mereka? Tapi sudahlah, itu urusan nanti. Namun satu hal yang jelas, yang tak
kuingin terjadi. Aku tak ingin hidupku kelak akan semalang hidup pemusik akbar
itu. Tidak. Aku tidak ingin itu!
“Hes... ajarin aku lagu itu, dong?” Ira berdiri di sisiku,
aku memandangnya. Matanya basah.
Aku menghela napas diam-diam.
“Supaya kalo aku kangen ama kamu, aku bisa mainin lagu
itu...,” lanjutnya dengan suara tersendat.
Aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum. Ia duduk di
sampingku. Ika kemudian berdiri di sisi kananku. Kugenggam jemarinya. Ia
membalas hangat. Sesuatu yang tak kami pahami semakin mendekatkan perasaan kami
satu sama lain. Dan kami bernyanyi. Lagu perpisahan. Kemurungan mencengkeram
dengan kejam.
Dari tumpukan buku musik yang tadi sudah kususun,
kudapatkan lembar keduanya yang terpisah. Kuamati lembar kedua itu, dan aku
terpana. Sebelas birama! Aku berlari-lari kecil ke piano. Kucocokkan lagu itu
dengan simfoni gadis dari vila di puncak bukit itu. Mirip! Aku terduduk di
kursi. Perasaanku mendadak rusuh dalam huru-hara berbagai rasa.
Irakah yang telah menggubah kembali lagu ini? Diakah?
Jadi...? Diakah perempuan di vila puncak bukit itu? Benarkah dia? Tapi...
bukankah dia sudah bersuami? Dia... ah! Aku menggigit bibir. Beribu tanya
berpusaran di benak, menuntut jawab yang tak dapat kuberikan. Tapi satu
keyakinan telah membuatku sedikit tenang. Perempuan di vila puncak bukit itu
pasti Ira! Soalnya cuma dia yang bisa memainkan lagu ini, selain aku sebagai penggubahnya. Cuma dia! Hatiku
merekah oleh rasa bahagia. Tiba-tiba saja perasaan rindu pada murid pianoku itu
menyerbu seperti bah. Melibas segalanya.
Tapi kalau ternyata orang lain bagaimana? Mendadak keraguan
menghadang. Aku tertegun, tapi cepat kutepis. Ah, tak mungkin. Tidak mungkin
ada dua hasil ciptaan dari orang yang berbeda bisa sama persis! Tak mungkin!
Ya, sangat tidak mungkin! Dan, berarti dia memang benar Ira. Hm... berarti pula
Ika akan dapat kutemukan lagi. Yah, Ira pasti tahu, di mana Ika sekarang
berada. Ah! Sebuah harapan merekah diam-diam, seperti bunga-bunga di musim
semi. Ahai...!
Ika....
Hm, dia perempuan yang sangat lembut hati – walaupun selalu
mudah marah terhadapku. Perempuan sederhana yang selama ini diam-diam kucintai.
Oh, aku harus menemukannya kembali. Harus! Aku tak akan peduli, siapa pun dia
sekarang, isteri siapa pun dia sekarang! Yang penting, aku harus menemuinya,
titik! Aku, akulah yang harus membangun kembali jalinan lama yang telah kandas
ini. Jalinan yang mempersatukan dia, aku dan Ira. Ya...!
Aku masih ingat betul isi surat terakhirnya kepadaku, dua
tahun yang lalu:
Jakarta, 6 Oktober 1987
Dear Mahesa,
Ketika kamu membaca suratku ini, kuharap kamu sehat saja,
seperti juga diriku saat ini.
Mahesa sahabatku,
Maafkan aku, karena akhir-akhir ini aku sering terlambat
membalas suratmu. Bukan karena apa-apa, Hes. Kamu sendiri tahu, 'kan? Sekarang
ini aku baru selesai menyusun skripsi.
Sekali lagi maafkan aku, Sahabat. Kumohon mulai saat ini,
jangan terlalu sering menulis surat kepadaku. Karena... ah, sulit sekali
menjelaskannya, Hes. Tapi ini harus kukatakan kepadamu. Aku... setelah berhasil
meraih titel sarjana nanti, akan segera menikah dengan lelaki yang ditentukan
oleh orangtuaku. Hes, kuharap kamu bisa memaklumi maksudku. Kita memang cuma
bersahabat. Tapi orangtuaku tak bisa mengerti akan hal ini, Hes. Kamu bisa
memaafkan mereka, 'kan?
Yang terakhir, Hes. Kalau kamu tak keberatan, aku ingin
memberitahukan sesuatu yang mungkin selama ini tak kamu ketahui. Ira, Hes. Dia
mencintaimu. Dia sangat mengharapkan dirimu. Ah, aku selalu berdoa, semoga
kelak kalian bisa hidup bersama sebagai sepasang suami-istri yang saling
mencintai dan bahagia. Aamiinnn.
Sekian saja suratku ini, Hes. Maafkan kelancanganku.
Sahabatmu yang kini jauh,
Kartika
Semenjak itu, Ika tak pernah membalas surat-suratku lagi.
Entah apa yang telah terjadi sebenarnya. Tapi yang jelas. Di negeri yang jauh
itu, hidupku hancur luluh. Satu-satunya tambatan hari esokku telah menentukan
jalan hidupnya sendiri. Ika yang kucintai diam-diam. Ika yang selalu kuimpikan
akan mendampingiku sepanjang hayat, ternyata akan jadi milik orang lain. Entah
siapa....
Setahun setelah surat terakhir Ika itu, aku menerima
sepucuk surat, lebih tepat sebagai pemberitahuan sebenarnya, dari Ira. Isi
surat itu sederhana sekali:
Menikah:
Dewi Irawati dengan Drs. Dany Ardiansyah
Jakarta, 9 Oktober 1988
Larangan keras dari orangtuaku untuk tidak meninggalkan
Wina barang sebentar pun, menyebabkan aku cuma bisa mengirimkan kado dan ucapan
selamat kepada Ira dan suaminya. Sebulan kemudian, aku menerima sepucuk surat.
Dari Ika. Isinya selembar foto dan surat pendek, ia menulis:
Mahesa sahabatku,
Coba kamu perhatikan suami Ira dalam foto itu, dan coba
pula perhatikan wajahmu dalam cermin. Sekarang jelas bukan, mengapa Ira memilih
lelaki itu sebagai suaminya?
Terus terang, Hes. Aku menyesalimu, karena kamu ternyata
tak mau mendengar kata-kataku. Tapi sekarang segalanya sudah terlanjur. Tak ada
gunanya disesali.
Sekian.
Aku,
Kartika.
Setelah itu tak ada surat-surat lagi dari mereka. Tidak
dari Ika, dan tidak juga dari Ira. Dan memang, sejak saat itu aku telah tak mau
lagi menulis surat bagi siapa pun. Juga bagi keluargaku sendiri.
Dua bulan kemudian, dua minggu setelah aku diwisuda jadi
sarjana musik, aku minggat ke Jepang, dan baru kembali ke negeri tercinta ini
tiga minggu yang lalu. Kedua orangtuaku menyambut dengan mata melotot sampai
hampir loncat dari rongganya. Lima tahun aku jadi manusia Wina, tapi ketika
waktunya aku harus kembali ke tanah air, aku malah minggat ke Jepang dan
tinggal di sana selama satu tahun. Bagaimana mereka tidak jadi membeliak-beliak
coba? Tapi terus-terang, aku merasa puas sekarang. Lima tahun mereka biarkan
aku jadi layang-layang putus di negeri orang. Sakit dan senang harus kutelan
sendiri. Nah, itulah pembalasanku!
“Den, makan malamnya sudah siap,” Isteri Mang Tatang,
penjaga vila keluargaku ini, menjagakanku dari lamunan.
Aku melihat ke jam dinding. Pukul 19.29.
“Tolong hidupkan pemanas air dulu, Bi. Saya mau mandi,”
kataku padanya, sambil bangkit dan beranjak keluar. Dari teras aku memandang ke
vila di puncak bukit itu. Perempuan... ah, maksudku Ira, dia sudah ada di sana.
Berdiri di teras, memandang ke arahku. Ia mengenakan, kalau tidak salah,
sweater berwarna merah muda dan celana panjang yang nampaknya seperti blue
jeans. Hm, gayanya masih aja kayak dulu, pikirku sambil tersenyum diam-diam.
Aku melambai padanya. Ia membalas ringan.
“Sudah, Den.” Bi Tatang muncul di pintu.
Aku melambai sekali lagi padanya, lalu beranjak masuk,
seraya bernyanyi kecil. Sambil lewat kulirik Bi Tatang, dia lagi
memerhatikanku dengan perasaan heran terpancar jelas pada wajahnya. Dia heran
melihat aku bisa gembira! Terlalu....
***
Setelah gema dentang kesembilan itu pudar, aku mulai
menghitung: Satu, dua, tiga, empat... Lho, mana suara piano itu?
Penasaran, aku menghitung lagi: Satu, dua, tiga, empat... Lho, kok nggak bunyi
juga? Aku bergegas keluar. Ha? Kok dia di luar? Brengsek! Dia ingkar janji! Aku
bergegas masuk lagi, duduk di depan grand piano-ku dan segera memainkan “Bila Esok Kita
Berpisah”. Mula-mula yang gubahanku, setelah itu yang telah digubah kembali
oleh Ira.
Selesai memainkan lagu itu, aku keluar. Kulayangkan pandang
ke vila di puncak bukit itu. Eh, ke mana dia? Tengah aku berpikir-pikir begitu,
tiba-tiba dering telepon melengking. “Kriiiiing!” Aku beranjak masuk. Kuangkat
telepon itu.
“Selamat malam. Mahesa di si...”
“Apa kabar, Hes?” suara di seberang sana mencegat
kata-kataku.
“Baik. Maaf, dengan siapa saya bicara, ya?”
“Duuuh, lupa, ya? Wah, sombongnya. Aku ini sahabat lamamu,
Hes! Sudah lupa? Apa dilupakan?”
Sebuah nama langsung meloncat di benakku. “Ira, ya? Wah,
brengsek kamu! Kamu tinggal di vila di atas itu, ya?”
Dia tertawa kecil. “Akhirnya kamu tau juga.”
“Alhamdulillah...! Eh, boleh aku main-main ke situ, Ir?”
“Datanglah sekarang, Hes, kutunggu.” Dan, klik!
Aku melongo. Buset! Apa-apaan, sih?
***
Kira-kira hanya beberapa puluh meter jarak vila kami. Tapi untuk
mencapai ke sana, aku harus menempuh jarak kurang lebih dari seratus meteran.
Soalnya kalau mau cuma beberapa puluh meter itu, aku harus mendaki dan menerobos semak belukar, dan
untuk melakukan itu aku ngeri. Bukan ngeri sama hantu, tapi sama ular!
Dengan napas setengah megap-megap, aku menaiki tangga semen vila
itu. Ira berdiri menyambutku di bibir teras, di ujung tangga yang lagi kudaki. Karena sinar lampu di belakangnya lebih terang, dirinya terlihat lebih menonjol sebagai siluet.
“Hai!” sapaku, sambil berjuang mendaki anak-anak tangga terakhir, menjelang puncaknya. Tapi, ketika aku akhirnya sampai pada anak tangga terakhir, “Lho,
kok kamu?” aku melongo memandangnya. Rasanya tak bisa kupercaya bahwa ini nyata.
“Iya, ini aku. Kok heran?” Ia tersenyum agak mengejek.
Aku menyeringai dan garuk-garuk kepala tidak gatal. Bingung
karena bisa salah menduga! Kukira dia Ira, ternyata Ika! Ah, aku jadi salah
tingkah. Bagaimana tidak? Aku tak menduga akan bertemu lagi dengan perempuan
yang kucintai ini secara tak terduga begini. Secara mental aku betul-betul belum siap.
“Oh, ya. Eh... suamimu mana?” tanyaku, akhirnya, berusaha
menetralisir suasana hati.
“Suamiku yang mana?” Ika balik bertanya.
“Lho, kok yang mana? Memangnya suami kamu berapa, sih?”
Ika tertawa. Masih seperti dulu, suara tawa dan caranya tertawa, enak sekali untuk didengar serta dipandang. Tapi entah kenapa, kali ini aku justru merasa diejek oleh tawanya itu!
“Ayo masuk,” katanya, di ujung tawanya. Aku beranjak
mengikutinya.
Kami memasuki beranda vila di puncak bukit itu. Dan aku
segera memerhatikan suasana di ruang depan itu, lalu mataku terantuk pada piano upright tua yang terdapat di sudut ruangan, dan kemudian terpacak pada foto yang
diletakkan di atasnya. Aku terbeliak. Eh!
“Kok fotoku ada di sini?” kataku, tak mengerti, sambil
menghampiri foto itu, meraihnya dan memerhatikannya cermat-cermat. Ini memang
fotoku!
“Itu foto calon suamiku,” ujar Ika, kalem.
Aku menolehnya, ada banyak tanda tanya berloncatan di dalam
kepalaku. “Tapi ini 'kan fotoku, Ka?”
“Memang...!” jawab suara lain. Dan orangnya muncul dari
ruang dalam. Ira! Di belakangnya, serombongan orang turut muncul. Waduh! Aku
merasa dicekik. Kok mereka...?
“Itu memang foto kamu, Hes,” kata Ira, kalem. “Dan calon
suaminya Ika ya memang kamu itu! Enggak percaya? Tanya aja tuh ama
papa-mama kamu,” lanjutnya.
Aku memandang pada papa-mamaku. Mereka mengangguk serempak,
dengan senyum.
“Kok Papa Mama nggak pernah bilang kalo...?” protesku.
“Sengaja,” cegat Ira. “Aku yang ngatur semuanya ini,”
lanjutnya, kalem.
Aku melotot padanya. Dan mereka, bersama-sama
mentertawakanku. Brengsek!
*****
Jakarta, 27
Oktober 1983
Telah
diterbitkan
pada Majalah
Gadis No. 15, 30 Juni-10 Juli 1984
di bawah
nama: M. H. Thamrin Mahesarani.
Revisi terakhir:
26 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.