27 Mei 2016

Cerpen: Vila di Puncak Bukit

Setelah gema dentang kesembilan jam dinding itu pudar, aku mulai menghitung: Satu, dua, tiga, empat... dan suara piano itu pun terdengar. Lamat-lamat membelah keheningan malam yang kian membeku. Murung menggigil, simfoni hati yang lelah didera duka dan rindu. Aku tercenung, bersandar pada pilar di teras, diam-diam menghela napas berat. Terasa ada kesenduan yang menyelusup. Sementara jauh di dalam kesamaran ingatan, ada kilasan-kilasan hari yang terasa dikenali namun tak teraih. Ada wajah, ada senyum, ada nyanyian, ada tawa, dan ada kesedihan yang terasa begitu kelam, yang masih terasa menyisakan sakit di relung sanubari.
   Dengan helaan napas aku melepaskan diri dari kemuraman, lalu beranjak masuk, langsung menuju ruang tengah dan duduk di belakang grand piano yang terletak di tengah ruangan itu. Sejenak kutenangkan diri, dan lantas mengikuti dentang-denting irama yang sayup itu dengan gumaman, sambil kucocokkan dengan notasi yang kubuat. Persis! Aku tersenyum. Mataku terus mengikuti not-not balok itu. Birama ke-25, birama ke-26, kuatur jemari di tuts-tuts piano, dia menyudahi birama ke-27 dan berhenti dengan janggal, aku segera menyambungnya dengan birama ke-28 sampai birama terakhir, birama ke-39.
Sebelas birama yang hilang inilah yang membuat rintihannya jadi terasa janggal dan mengambang. Aku menghela napas lega. Ada kebahagiaan yang merambat hadir, sebuah rasa dari masa lalu, yang kemudian mendekap erat. Hangat membentangkan cakrawala yang penuh keceriaan dalam fatamorgana. Simfoni itu telah sempurna sekarang. Aku bangkit dari depan piano dan melangkah dengan perasaan ringan menuju ruang depan, keluar, lalu berdiri di teras, memandang ke vila di puncak bukit itu, dengan senyum bahagia di bibir. Ah...!
Cahaya redup terpancar dari ruang depan vila itu. Dalam siluet, perempuan bergaun panjang putih berdiri di terasnya, memandang ke arahku. Rambutnya yang sebahu, tergerai lepas, bergerak-gerak pelan dimainkan angin dingin. Juga gaun putihnya. Aku tahu ia melihatku, seperti aku pun yakin ia tahu aku melihatnya. Kami memang tak pernah mengenal rupa masing-masing. Yang kami kenal hanya sosok siluet yang menarik, yang tampil dari balik tabir misteri yang melingkung. Aku dan dia adalah dua sosok misteri yang berdiri di belakang tirai masing-masing, yang ditautkan oleh sebuah simfoni tak sempurna, yang mencoba saling menjabat, memberi dan menerima. Saling mencinta? Aku termangu. Aku tak tahu. Mungkin waktu dan suasana hati kamilah yang akhirnya akan menentukan.
Kami baru seminggu ini berkenalan. Berkenalan dalam misteri masing-masing maksudku. Dia sosok perempuan yang aneh, seperti ia pun mungkin menganggapku sebagai sosok lelaki yang aneh. Yaaa, sama-sama aneh! Kami tak pernah bertemu muka, tapi kami merasa saling mengenal. Ah, apa dia juga merasa begitu? Baiklah, kuanggap saja dia pun merasa begitu. Kami tak pernah saling kenal nama, tapi kami bisa saling menyapa dengan wajar dan akrab, saling berbincang, saling menghibur dan mengutarakan kesedihan. Hhh, sebuah dunia yang aneh!
Seminggu yang lalu, pada malam pertama aku berada di sini, aku mendengar ia berbincang dengan sepi. Sepi yang selalu dibenci oleh semua orang itu! Tapi... dia begitu akrab dengannya. Ia begitu intim dengan kesepian itu.
Pada malam itu, sampai jauh malam aku ‘menguping’ percakapannya dengan sunyi. Percakapan yang murung. Percakapan yang dimulai pada hitungan keempat setelah dentang kesembilan jam dinding. Ia menyapa sepi dengan simfoninya yang tak sempurna itu. Simfoninya yang kehilangan sebelas birama terakhir itulah yang menarik perhatianku. Aku sampai-sampai tak percaya pada pendengaranku. Bagaimana mungkin, ada nyanyian yang kandas begitu saja, tanpa penyelesaian yang jelas? Ah, apakah yang memainkannya tidak sanggup lagi untuk meneruskannya? Atau... apakah karena ia lupa pada birama-birama selanjutnya? Hei, ini sungguh-sungguh aneh! Ya, ini aneh sekali! Lagu yang begitu bagus dan begitu lancar mengalir bisa terpenggal tanpa keputusan seperti itu. Ah! Ini tidak boleh terjadi. Tidak. Dia harus menyelesaikan permainannya itu. Harus! Ia tak boleh merusakkan jalinan nada yang telah dirangkai begitu sempurna itu. Tidak boleh!
Aku keluar ke teras, mencari-cari asal suara piano tadi. Dan ketika itulah aku pertama kali mengenalnya. Ia berdiri di teras, seperti arca bidadari, mengenakan gaun panjang putih yang berkibar-kibar perlahan dimainkan oleh angin dingin. Aku tertegun. Dari pantulan kemurungannya itu aku mendapat kepastian yang tegas. Ia memang tak akan pernah menyelesaikan simfoninya itu. Ia telah kehilangan birama-birama selanjutnya....
Aku terus mengamatinya, sampai suatu saat ia beranjak lagi ke dalam lalu memainkan pianonya kembali. Aku termangu. Nada-nada sendu membelah keheningan malam. Dingin mengalir pelan, bersama ketukan-ketukan nada murungnya. Aku beranjak masuk. Ada sesuatu yang mencengkeram. Entah apa. Tapi semua lagu-lagu yang dimainkannya itu pernah kukenal. Pernah begitu akrab dengan diriku.
If You Leave Me Now-nya Chicago, You-nya Bazil Valdez, I Wanna See You Now, dan For You to Remember-nya Leon Hainess Band, dan juga yang lain-lainnya. Ah, semua itu mengingatkanku pada masa-masa ketika masih di SMA. Terutama pada dua gadis itu....
***
Ika dan Ira.
Mereka adalah sahabat-sahabatku. Kuanggap mereka aneh, karena mereka menyukaiku dari dua sisi yang bertentangan. Hmmm. Aku tersenyum diam-diam. Bayangan mereka melintas dalam kegelapan yang terhampar. Ika yang pendiam dan sederhana – tapi selalu mudah marah kepadaku. Dia suka kalau aku menyanyi, tapi benci kalau aku main piano. Lalu Ira yang periang dan glamour itu. Dia suka kalau aku main piano, tapi paling benci kalau aku nyanyi!
“Aneh...,” gumamku, pelan, pada diri sendiri.
“Aneh?” Ika menatapku. “Apa yang aneh?”
“Kamu yang aneh, Ka,” ujarku begitu saja.
Ika langsung melotot padaku. Aku kaget dan buru-buru menenangkannya.
“Sabar, Non, sabaaarrr. Jangan marah dulu. Aku belum menjelaskan alasanku, 'kan?”
“Oke, coba jelaskan!” tuntut Ika. Matanya tetap garang padaku.
“Oke, oke. Sekarang... coba kamu jawab. Kenapa kamu nggak suka aku main piano?”
Ika kontan terdiam. Sirat kemarahan pada wajahnya seketika lenyap. Ia terlihat bersusah payah menelan ludah dan lantas menghela napas seraya kemudian merunduk. Jemarinya mempermainkan tisu di tangannya.
“Kok diam? Enggak punya alasan?”
Ika menggeleng pelan. “Aku cuma nggak suka aja liat kamu main piano. Itu aja. Nggak tau kenapa....”
Aku tertawa kecil. “Terus... kenapa kamu suka liat aku nyanyi, kalau kamu nggak suka liat aku main piano? Padahal kamu 'kan tau, nyanyi itu enaknya yang sambil diiringi musik.”
“Tapi kamu 'kan bisa main gitar,” dalihnya, “Ya diiringi pakai gitar aja.”
“Oh, gitu...?” Aku menatapnya. “Jadi, kalau aku nyanyi, lebih baik sambil main gitar?”
“Iya,” angguknya.
Aku mengangguk-angguk. Ia memerhatikanku.
“Tapi... bukan karena Ira lebih suka liat aku main piano, 'kan?”
Ika seketika melotot bulat. “Apa?” lengkingnya. Waduh, salah lagi deh aku!
“Eh-eh! Sabar, Non, sabaaarrr!” Buru-buru kuraih tangannya dan mengenggamnya. “Kamu nggak ngerti maksudku, Ka, kamu nggak ngerti.”
“Jadi, apa maksud kamu sebenarnya?” ia menyorotku dengan mata beringas.
Aku menepuk-nepuk punggung tangannya. “Aku cuma kuatir, kalo-kalo kamu punya maksud begitu.”
Ika mengibaskan tanganku dengan sengit. “Lepas! Brengsek kamu! Aku nggak suka kamu sangka begitu, tau!” semburnya, betul-betul marah.
Waduh! Aku garuk-garuk kepala tidak gatal. “Maaf, maaf...!”
***
Kulayangkan lagi pandanganku ke vila di puncak bukit itu. Dia masih berdiri di sana. Angin dingin mulai terasa menyakiti kulit. Aku melambai padanya. Ia membalas kecil, lalu beranjak masuk. Aku pun kemudian masuk. Setelah menutup pintu, aku pergi ke depan perapian. Kehangatan terasa mengelus lembut. Kumasukkan beberapa potong kayu pinus ke dalam tungku, kemudian aku berbaring ke sofa. Samar-samar, di antara geretak suara kayu yang terbakar, kudengar nyanyian itu. Woman in love-nya Barbra Streisand. Aku bersenandung lirih:
Life is a moment to space. When a dream is gone, it’s a lonely a place. I kiss the morning good bye down inside. You know we never know why....”
Hidup adalah masa yang mesti dilalui. Jika impian telah pudar, ia menjadi tempat yang sunyi. Kuucapkan selamat tinggal pada pagi dalam hatiku. Kau mengerti kita tak pernah tahu sebabnya...
Aku merenungi langit-langit putih. Aku teringat pada Ira. Dia dulu selalu memainkan lagu itu bila aku ada di rumahnya. Dan Ika yang duduk di seberang meja, menatap padaku dengan sorot menyelidik. Cemburukah dia? Ah, itu 'kan cuma perasaanmu saja, Hes. Begitu selalu kutepiskan sangkaanku terhadapnya. Dan Ira terus mengetuk nada. Aku melihat sesuatu yang janggal dalam mata Ika. Entah apa....
“Gimana, Hes? Permainanku udah sempurna belum?” tanya Ira, ketika telah menyudahi Woman in love, seraya duduk di samping kiriku.
“Lumayan, cuma... improf kamu sering nggak pas. Kamu juga masih sering salah tekan tone!” komentarku.
Ira tertawa. “Emang kedengaran?” tanyanya, polos.
“Ya kedengaran aja. Namanya juga nada. Biar cuma sepersekian ketukan, kalau udah berbunyi pasti kedengaran. Apalagi kesalahan dalam jalinan lagu yang udah tersusun rapi.”
Ira manggut-manggut. “Jadi, nggak boleh salah tekan, ya?”
Aku mengangguk pelan, sambil mencuri-curi pandang pada Ika, tapi tertangkap basah. Ika melotot bulat. Aku menyeringai sambil memalingkan muka, agar tak terlihat oleh Ira.
“Oke, sekarang coba kamu mainkan Something,” kataku pada Ira.
“Kasih contoh dulu, dong,” pinta Ira, menjeling manja.
Aku bangkit, sambil memandang pada Ika. Ia memberengut. Aku beranjak ke piano. Kumainkan Something-nya The Beatles itu. Ira berdiri di sisiku, memerhatikan. Di wajahnya terpancar sesuatu yang tak bisa kupahami.
“Oke, cukup?” Aku memandangnya, setelah mengakhiri permainan.
Ira mengangguk dan segera mengambil alih tempat duduk.
Aku meraih gitar dan menuju ke tempat dudukku semula, di depan Ika, berseberangan meja. Ira memainkan piano, aku memetik gitar dan bernyanyi:
Something in the way she moves. Attracsme like no other lover. Something in the way she woos me....”
Wajah Ika berubah cerah. Matanya berpendar-pendar indah. Ah, bahagia sekali bisa bersikap adil pada mereka....
Tawa riang Ira dan senyum lembut Ika terasa akrab mendekap diri, menghangati malam yang kian membeku, sebelum kegelapan menyergap, dan segalanya pudar....
***
Aku sedang menyusun buku-buku musik ketika lembaran itu terjatuh. Aku memungut dan memeriksanya. “Bila Esok Kita Berpisah” judul lagu itu. Aku tertegun. Sesuatu yang sendu, yang pernah terlupakan, tiba-tiba menyeruak bangkit kembali. Pesta kecil di rumah Ira itu... ah! Dan duka lama kembali menganga. Hatiku menyanyikan untaian not-not balok itu dengan jantung dibalur kesenduan yang dingin:
“Bila esok kita berpisah. Mestikah jabatan ini kita lepaskan? Jangan, biarkan kubawa dirimu dalam kepergian ini. Tempatku kembali dan mengadukan sepi, bila suatu malam kurindui kamu. Dan salju berderai luruh, mendekap Wina nan jauh....”
Kedua gadis itu duduk membeku, menatapku dengan mata kosong. Suara piano dan nyanyianku merangkum ruangan. Murung. Di luar, langit mulai temaram. Aku terus bernyanyi bersama piano, mengucapkan salam perpisahan yang perih.
Besok aku berangkat ke Wina, untuk memperdalam ilmu musik. Orangtuaku yang menghendaki ini. Mereka ingin aku menjadi pemusik yang hebat, sehebat kakekku dulu. Dan bahkan, mereka menginginkan agar aku mampu tampil sebagai pemusik yang sanggup menyejajari kehebatan Beethoven! Hm, mimpi! Padahal mereka tahu, aku tidak pernah bisa menyukai musik-musik klasik yang njlimet! Nah, bagaimana mungkin aku bisa mewujudkan harapan mereka? Tapi sudahlah, itu urusan nanti. Namun satu hal yang jelas, yang tak kuingin terjadi. Aku tak ingin hidupku kelak akan semalang hidup pemusik akbar itu. Tidak. Aku tidak ingin itu!
“Hes... ajarin aku lagu itu, dong?” Ira berdiri di sisiku, aku memandangnya. Matanya basah.
Aku menghela napas diam-diam.
“Supaya kalo aku kangen ama kamu, aku bisa mainin lagu itu...,” lanjutnya dengan suara tersendat.
Aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum. Ia duduk di sampingku. Ika kemudian berdiri di sisi kananku. Kugenggam jemarinya. Ia membalas hangat. Sesuatu yang tak kami pahami semakin mendekatkan perasaan kami satu sama lain. Dan kami bernyanyi. Lagu perpisahan. Kemurungan mencengkeram dengan kejam.
Dari tumpukan buku musik yang tadi sudah kususun, kudapatkan lembar keduanya yang terpisah. Kuamati lembar kedua itu, dan aku terpana. Sebelas birama! Aku berlari-lari kecil ke piano. Kucocokkan lagu itu dengan simfoni gadis dari vila di puncak bukit itu. Mirip! Aku terduduk di kursi. Perasaanku mendadak rusuh dalam huru-hara berbagai rasa.
Irakah yang telah menggubah kembali lagu ini? Diakah? Jadi...? Diakah perempuan di vila puncak bukit itu? Benarkah dia? Tapi... bukankah dia sudah bersuami? Dia... ah! Aku menggigit bibir. Beribu tanya berpusaran di benak, menuntut jawab yang tak dapat kuberikan. Tapi satu keyakinan telah membuatku sedikit tenang. Perempuan di vila puncak bukit itu pasti Ira! Soalnya cuma dia yang bisa memainkan lagu ini, selain aku sebagai penggubahnya. Cuma dia! Hatiku merekah oleh rasa bahagia. Tiba-tiba saja perasaan rindu pada murid pianoku itu menyerbu seperti bah. Melibas segalanya.
Tapi kalau ternyata orang lain bagaimana? Mendadak keraguan menghadang. Aku tertegun, tapi cepat kutepis. Ah, tak mungkin. Tidak mungkin ada dua hasil ciptaan dari orang yang berbeda bisa sama persis! Tak mungkin! Ya, sangat tidak mungkin! Dan, berarti dia memang benar Ira. Hm... berarti pula Ika akan dapat kutemukan lagi. Yah, Ira pasti tahu, di mana Ika sekarang berada. Ah! Sebuah harapan merekah diam-diam, seperti bunga-bunga di musim semi. Ahai...!
Ika....
Hm, dia perempuan yang sangat lembut hati – walaupun selalu mudah marah terhadapku. Perempuan sederhana yang selama ini diam-diam kucintai. Oh, aku harus menemukannya kembali. Harus! Aku tak akan peduli, siapa pun dia sekarang, isteri siapa pun dia sekarang! Yang penting, aku harus menemuinya, titik! Aku, akulah yang harus membangun kembali jalinan lama yang telah kandas ini. Jalinan yang mempersatukan dia, aku dan Ira. Ya...!
Aku masih ingat betul isi surat terakhirnya kepadaku, dua tahun yang lalu:
Jakarta, 6 Oktober 1987
Dear Mahesa,
Ketika kamu membaca suratku ini, kuharap kamu sehat saja, seperti juga diriku saat ini.
Mahesa sahabatku,
Maafkan aku, karena akhir-akhir ini aku sering terlambat membalas suratmu. Bukan karena apa-apa, Hes. Kamu sendiri tahu, 'kan? Sekarang ini aku baru selesai menyusun skripsi.
Sekali lagi maafkan aku, Sahabat. Kumohon mulai saat ini, jangan terlalu sering menulis surat kepadaku. Karena... ah, sulit sekali menjelaskannya, Hes. Tapi ini harus kukatakan kepadamu. Aku... setelah berhasil meraih titel sarjana nanti, akan segera menikah dengan lelaki yang ditentukan oleh orangtuaku. Hes, kuharap kamu bisa memaklumi maksudku. Kita memang cuma bersahabat. Tapi orangtuaku tak bisa mengerti akan hal ini, Hes. Kamu bisa memaafkan mereka, 'kan?
Yang terakhir, Hes. Kalau kamu tak keberatan, aku ingin memberitahukan sesuatu yang mungkin selama ini tak kamu ketahui. Ira, Hes. Dia mencintaimu. Dia sangat mengharapkan dirimu. Ah, aku selalu berdoa, semoga kelak kalian bisa hidup bersama sebagai sepasang suami-istri yang saling mencintai dan bahagia. Aamiinnn.
Sekian saja suratku ini, Hes. Maafkan kelancanganku.
Sahabatmu yang kini jauh,
Kartika
Semenjak itu, Ika tak pernah membalas surat-suratku lagi. Entah apa yang telah terjadi sebenarnya. Tapi yang jelas. Di negeri yang jauh itu, hidupku hancur luluh. Satu-satunya tambatan hari esokku telah menentukan jalan hidupnya sendiri. Ika yang kucintai diam-diam. Ika yang selalu kuimpikan akan mendampingiku sepanjang hayat, ternyata akan jadi milik orang lain. Entah siapa....
Setahun setelah surat terakhir Ika itu, aku menerima sepucuk surat, lebih tepat sebagai pemberitahuan sebenarnya, dari Ira. Isi surat itu sederhana sekali:
Menikah:
Dewi Irawati dengan Drs. Dany Ardiansyah
Jakarta, 9 Oktober 1988
Larangan keras dari orangtuaku untuk tidak meninggalkan Wina barang sebentar pun, menyebabkan aku cuma bisa mengirimkan kado dan ucapan selamat kepada Ira dan suaminya. Sebulan kemudian, aku menerima sepucuk surat. Dari Ika. Isinya selembar foto dan surat pendek, ia menulis:
Mahesa sahabatku,
Coba kamu perhatikan suami Ira dalam foto itu, dan coba pula perhatikan wajahmu dalam cermin. Sekarang jelas bukan, mengapa Ira memilih lelaki itu sebagai suaminya?
Terus terang, Hes. Aku menyesalimu, karena kamu ternyata tak mau mendengar kata-kataku. Tapi sekarang segalanya sudah terlanjur. Tak ada gunanya disesali.
Sekian.
Aku,
Kartika.
Setelah itu tak ada surat-surat lagi dari mereka. Tidak dari Ika, dan tidak juga dari Ira. Dan memang, sejak saat itu aku telah tak mau lagi menulis surat bagi siapa pun. Juga bagi keluargaku sendiri.
Dua bulan kemudian, dua minggu setelah aku diwisuda jadi sarjana musik, aku minggat ke Jepang, dan baru kembali ke negeri tercinta ini tiga minggu yang lalu. Kedua orangtuaku menyambut dengan mata melotot sampai hampir loncat dari rongganya. Lima tahun aku jadi manusia Wina, tapi ketika waktunya aku harus kembali ke tanah air, aku malah minggat ke Jepang dan tinggal di sana selama satu tahun. Bagaimana mereka tidak jadi membeliak-beliak coba? Tapi terus-terang, aku merasa puas sekarang. Lima tahun mereka biarkan aku jadi layang-layang putus di negeri orang. Sakit dan senang harus kutelan sendiri. Nah, itulah pembalasanku!
“Den, makan malamnya sudah siap,” Isteri Mang Tatang, penjaga vila keluargaku ini, menjagakanku dari lamunan.
Aku melihat ke jam dinding. Pukul 19.29.
“Tolong hidupkan pemanas air dulu, Bi. Saya mau mandi,” kataku padanya, sambil bangkit dan beranjak keluar. Dari teras aku memandang ke vila di puncak bukit itu. Perempuan... ah, maksudku Ira, dia sudah ada di sana. Berdiri di teras, memandang ke arahku. Ia mengenakan, kalau tidak salah, sweater berwarna merah muda dan celana panjang yang nampaknya seperti blue jeans. Hm, gayanya masih aja kayak dulu, pikirku sambil tersenyum diam-diam. Aku melambai padanya. Ia membalas ringan.
“Sudah, Den.” Bi Tatang muncul di pintu.
Aku melambai sekali lagi padanya, lalu beranjak masuk, seraya bernyanyi kecil. Sambil lewat kulirik Bi Tatang, dia lagi memerhatikanku dengan perasaan heran terpancar jelas pada wajahnya. Dia heran melihat aku bisa gembira! Terlalu....
***
Setelah gema dentang kesembilan itu pudar, aku mulai menghitung: Satu, dua, tiga, empat... Lho, mana suara piano itu? Penasaran, aku menghitung lagi: Satu, dua, tiga, empat... Lho, kok nggak bunyi juga? Aku bergegas keluar. Ha? Kok dia di luar? Brengsek! Dia ingkar janji! Aku bergegas masuk lagi, duduk di depan grand piano-ku dan segera memainkan “Bila Esok Kita Berpisah”. Mula-mula yang gubahanku, setelah itu yang telah digubah kembali oleh Ira.
Selesai memainkan lagu itu, aku keluar. Kulayangkan pandang ke vila di puncak bukit itu. Eh, ke mana dia? Tengah aku berpikir-pikir begitu, tiba-tiba dering telepon melengking. “Kriiiiing!” Aku beranjak masuk. Kuangkat telepon itu.
“Selamat malam. Mahesa di si...”
“Apa kabar, Hes?” suara di seberang sana mencegat kata-kataku.
“Baik. Maaf, dengan siapa saya bicara, ya?”
“Duuuh, lupa, ya? Wah, sombongnya. Aku ini sahabat lamamu, Hes! Sudah lupa? Apa dilupakan?”
Sebuah nama langsung meloncat di benakku. “Ira, ya? Wah, brengsek kamu! Kamu tinggal di vila di atas itu, ya?”
Dia tertawa kecil. “Akhirnya kamu tau juga.”
“Alhamdulillah...! Eh, boleh aku main-main ke situ, Ir?”
“Datanglah sekarang, Hes, kutunggu.” Dan, klik!
Aku melongo. Buset! Apa-apaan, sih?
***
Kira-kira hanya beberapa puluh meter jarak vila kami. Tapi untuk mencapai ke sana, aku harus menempuh jarak kurang lebih dari seratus meteran. Soalnya kalau mau cuma beberapa puluh meter itu, aku harus mendaki dan menerobos semak belukar, dan untuk melakukan itu aku ngeri. Bukan ngeri sama hantu, tapi sama ular!
Dengan napas setengah megap-megap, aku menaiki tangga semen vila itu. Ira berdiri menyambutku di bibir teras, di ujung tangga yang lagi kudaki. Karena sinar lampu di belakangnya lebih terang, dirinya terlihat lebih menonjol sebagai siluet.
“Hai!” sapaku, sambil berjuang mendaki anak-anak tangga terakhir, menjelang puncaknya. Tapi, ketika aku akhirnya sampai pada anak tangga terakhir, “Lho, kok kamu?” aku melongo memandangnya. Rasanya tak bisa kupercaya bahwa ini nyata.
“Iya, ini aku. Kok heran?” Ia tersenyum agak mengejek.
Aku menyeringai dan garuk-garuk kepala tidak gatal. Bingung karena bisa salah menduga! Kukira dia Ira, ternyata Ika! Ah, aku jadi salah tingkah. Bagaimana tidak? Aku tak menduga akan bertemu lagi dengan perempuan yang kucintai ini secara tak terduga begini. Secara mental aku betul-betul belum siap.
“Oh, ya. Eh... suamimu mana?” tanyaku, akhirnya, berusaha menetralisir suasana hati.
“Suamiku yang mana?” Ika balik bertanya.
“Lho, kok yang mana? Memangnya suami kamu berapa, sih?”
Ika tertawa. Masih seperti dulu, suara tawa dan caranya tertawa, enak sekali untuk didengar serta dipandang. Tapi entah kenapa, kali ini aku justru merasa diejek oleh tawanya itu!
“Ayo masuk,” katanya, di ujung tawanya. Aku beranjak mengikutinya.
Kami memasuki beranda vila di puncak bukit itu. Dan aku segera memerhatikan suasana di ruang depan itu, lalu mataku terantuk pada piano upright tua yang terdapat di sudut ruangan, dan kemudian terpacak pada foto yang diletakkan di atasnya. Aku terbeliak. Eh!
“Kok fotoku ada di sini?” kataku, tak mengerti, sambil menghampiri foto itu, meraihnya dan memerhatikannya cermat-cermat. Ini memang fotoku!
“Itu foto calon suamiku,” ujar Ika, kalem.
Aku menolehnya, ada banyak tanda tanya berloncatan di dalam kepalaku. “Tapi ini 'kan fotoku, Ka?”
“Memang...!” jawab suara lain. Dan orangnya muncul dari ruang dalam. Ira! Di belakangnya, serombongan orang turut muncul. Waduh! Aku merasa dicekik. Kok mereka...?
“Itu memang foto kamu, Hes,” kata Ira, kalem. “Dan calon suaminya Ika ya memang kamu itu! Enggak percaya? Tanya aja tuh ama  papa-mama kamu,” lanjutnya.
Aku memandang pada papa-mamaku. Mereka mengangguk serempak, dengan senyum.
“Kok Papa Mama nggak pernah bilang kalo...?” protesku.
“Sengaja,” cegat Ira. “Aku yang ngatur semuanya ini,” lanjutnya, kalem.
Aku melotot padanya. Dan mereka, bersama-sama mentertawakanku. Brengsek!
*****

Jakarta, 27 Oktober 1983
Telah diterbitkan
pada Majalah Gadis No. 15, 30 Juni-10 Juli 1984
di bawah nama: M. H. Thamrin Mahesarani.

Revisi terakhir: 26 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.