02 Agustus 2016

Cerpen: Gadis di Metro Mini

Di Jakarta, sebelum era TransJakarta yang sering disebut sebagai busway, Metro Mini – buskota ukuran sedang – adalah angkutan umum yang paling menyedihkan tapi juga paling dibutuhkan. Ya, memang paling dibutuhkan, karena seringkali tak ada pilihan selain harus naik angkutan umum itu – kecuali kalau mampu bayar ongkos taksi atau ojek. Dan sebagai angkutan paling menyedihkan, sebab di dalam Metro Mini setiap penumpang pasti akan mendapat jatah ‘siksaan’ yang harus diterima dengan pasrah, kecuali bagi mereka yang sangat beruntung. Tapi yang sudah pasti, Metro Mini itu kendaraan yang selalu berjalan semau-maunya. Kalau ngebut, bisa bikin jantung jadi kiwir-kiwir serasa mau copot, sebaliknya kalau lamban, ngetemnya lamaaa, dan kalau pun jalan, jalannya juga nyaris cuma 5 km per jam – bikin yang perlu buru-buru jadi hampir stroke karena menahan rasa tak sabar.
Gambaran umumnya, suhu rata-rata di dalam Metro Mini sangat tepat buat mereka yang ingin berkeringat. Jadi, kalau kita naik Metro Mini tapi tidak berkeringat, sebaiknya kita bersegera memeriksakan diri ke dokter. Soalnya, pasti ada yang tak beres dengan kesehatan kita. Rinciannya, udara panas, berkeringat, atmosfer pengap oleh aroma badan para penumpang dan awak Metro Mini, ditambah dengan berisiknya pengamen yang suaranya cempreng dan tak jelas nadanya, tidak hapal lagunya juga, serta diiringi oleh gitar yang tidak distem dengan benar sehingga tak jelas pula apa bunyinya, lalu di tengah suasana itu, ada serombongan copet yang lagi mengincar mangsa, lengkingan anak kecil yang menangis meraung-raung karena kepanasan, dan disempurnakan oleh jalanan yang macet parah. Maka, lengkaplah penderitaan para penumpang. Eh, sialnya, ada pula manusia tidak punya otak, yang asyik merokok dan menyebarkan asap racun ke dalam ruangan yang sudah nyaris tak beroksigen itu. Dan kalau ditambah dengan yang satu ini, maka neraka dunialah jadinya....
“Waduh! Sialan! Siapa nih yang kentut?” teriak seorang penumpang yang duduk di bangku tengah, sambil memencet hidungnya sampai gepeng, hingga membuat suaranya jadi terdengar aneh. “Kentut sih kentut, tapi tau waktunya, dong! Lagi penuh gini pake kentut! Tahan dikitlah!” gerutunya, tetap dengan suara kerasnya yang aneh itu, kesal.
Aku langsung terpancing untuk memikirkan perkataannya, apa kentut harus ada waktunya? Kalau sudah tak tahan, bagaimana? Lagipula, pasti orang itu tidak tahu bahwa kentut memang ‘barang’ yang sulit ditahan. Soalnya, penahanan itu bisa menimbulkan terjadinya huru-hara di dalam lambung. Dan selain itu, orang itu pasti juga belum tahu bahwa ada orang yang harus mengeluarkan ongkos jutaan hanya demi bisa kentut. Kalau tak percaya, tanya saja ke rumah sakit.
“Buset! Mana baunya tujuh rupa gini lagi! Ya Ampuuuunnnnn!” Orang itu terus juga memprovokasi. Tapi yang kali ini aku setuju, kentut itu baunya memang luar biasa kental. Kalau dalam istilah minyak wangi, yang ini pasti biangnya.
“Anjrit, bau banget!” penumpang lain mulai bereaksi. Rupanya aroma itu telah mulai terdistribusi dengan baik ke seantero kabin Metro Mini ini. Maka ramailah suasana oleh berbagai komentar, “Huek, makannya bangkai kali ini orang, ya? Gila, dahsyat banget nih kentut! Tapi katanya kentut itu obat kanker juga, lho! Kanker kepala lu, ini kentut lebih sadis daripada gas sarap, tau! Semoga yang kentut mendapat hidayahlah. Kalo yang kentut mau ngaku, biaya rumah sakitnya gue yang tanggung, deh!” Wah, parah sekali jadinya! Bahkan pengamen juga jadi bernasib sial. Tak ada seorang pun yang memberinya uang. Soalnya semua sibuk menghadapi masalah bau kentut itu.
Untungnya, aku duduk di dekat jendela yang terbuka. Maka kukeluarkan saja setengah mukaku ke luar. Lumayan, cuma sedikit saja aroma busuk itu yang tercium olehku, soalnya sudah tercampur oleh udara luar. Dan bagusnya, karena otakku tak terlalu tercemari oleh kentut luar biasa itu, maka aku masih bisa berpikir jernih. Nah, maka kupikir, di antara yang teriak-teriak itu, pasti yang kentut juga ikut mengomentari hasil karyanya. Soalnya kalau dia diam saja, pasti akan dicurigai oleh kaum yang sedang merasa dizalimi ini. Kecuali kalau dia perempuan, maka dia bisa bersikap pasrah sambil menutup hidung dengan saputangan atau tisu seperti yang lain. Hikmahnya, anak kecil yang tadi menangis histeris, mendadak diam dan lalu bertingkah seperti orang bingung. Aku jadi kuatir, jangan-jangan kentut itu telah merusak otaknya. Tapi kemudian kubantah sendiri dengan nalar: Mana mungkinlah!
Aku pernah membaca hasil penelitian dari seorang ahli bebauan yang mengatakan, bahwa aroma yang konstan hanya akan tercium selama beberapa menit saja. Sebab setelah jangka waktu itu, otak akan mengirimkan sinyal penyesuaian ke indera penciuman, sehingga kita jadi terbiasa dengan aroma itu dan tak terganggu lagi. Artinya, aroma kentut yang kental itu akan merasuk sampai ke otak, dan kita lantas jadi tenang-tenang saja menghirupnya. Bayangkan...!
Tapi memang terbukti. Setelah beberapa menit, entah karena aroma itu sudah terhisap habis oleh kami semua, atau karena faktor seperti yang dibilang oleh ahli bebauan itu, kami tak lagi ribut soal bau kentut. Semua kembali tenggelam dalam bencana yang reguler. Kepanasan, keringatan, dehidrasi, lelah, mengantuk, dan ingin meledak karena tak tahan mendengar tangis histeris anak kecil yang kepanasan itu. Sementara Metro Mini berjalan semeter demi semeter.
Namun seperti judul novel, Badai Pasti Berlalu, begitu juga dengan siksaan di Metro Mini. Itu biasanya terjadi kalau sudah sampai di tujuan, entah secara perorangan – turun di tengah perjalanan – maupun karena Metro Mini telah sampai di terminal bus. Dan begitu menginjakkan kaki ke bumi, turun dari Metro Mini itu, rasanya seperti terbebas dari siksaan yang telah berlangsung berabad-abad. Legaaaa sekali. Tapi bukan berarti nasib buruk sudah berakhir, bila perjalanan selanjutnya juga harus dilakukan dengan Metro Mini lagi, walaupun beda trayek. Memangnya hidup ini mudah?
Nah, aku masih harus berurusan dengan Metro Mini lagi. Jadi, dengan pasrah aku beranjak menuju Metro Mini yang lain, yang lagi ngetem. Mudah-mudahan yang kali ini tak seburuk yang tadi, doaku, sambil naik dan kemudian memilih tempat duduk. Karena masih baru beberapa orang saja penumpangnya, maka kupilih tempat duduk persis di mulut pintu. Tempat yang paling strategis. Sangat dekat dengan akses keluar-masuk dan cukup banyak dapat angin. Sepertinya ini menjadi pembukaan dari nasib baikku.
Dan... ah, benar saja! Ini Metro Mini keberuntunganku! Bayangkan, di kendaraan penyiksa ini aku masih bisa menemukan keberuntungan! Tak percaya? Begini kejadiannya. Waktu aku baru duduk di bangku dekat pintu itu, tak sengaja mataku melihat ada gadis yang baru turun dari Miniarta jurusan Depok–Pasar Minggu. Miniarta itu semacam Metro Mini juga, hanya beda nama. Cantikkah gadis itu? Ya, pastinyalah. Kalau tidak, apa menariknya buat diceritakan coba? Nah, tak sengaja tatapan kami bertemu. Eh, dia kasih senyum. Wah...! Ya langsung kubalas dong dengan harapan yang melambung sampai ke langit ketujuh. Siapa tahu...?
Tuhan Maha Besar! Dia juga naik Metro Mini ini! Dan duduk di sebelahku! Ini betul-betul seperti mimpi yang jadi kenyataan. Ya Allah... dia cantik sekali. Wangi lagi! Senyumnya, gerak-geriknya, geraian rambutnya, tatapan matanya yang hangat dan ramah, serta kehalusan kulit lengannya yang tak sengaja tersentuh punggung tanganku yang memegang tiang besi, saat dia mau duduk.
Suaranya yang terasa indah mengalun merdu ke telingaku.
“Hai, pulang kuliah, ya?” senyumnya tak kalah menawan dengan senyumnya Julia Roberts.
Tapi tunggu dulu... aku kaget, nih. Kok dia tahu aku baru pulang kuliah? Ini harus dicurigai! Siapa sebenarnya gadis berseragam putih abu-abu ini? Tetanggaku? Atau, adik teman kuliahku? Wah, entahlah. Jadi, bagaimana? Aku harus merasa gembira atau malah kuatir? Hmmm, tapi aku harus jawab apa untuk pertanyaannya itu?
“Kok tau aku baru pulang kuliah?” itu pertanyaan yang ada di dalam kepalaku sebenarnya.
“Itu, kamu masih pake jaket almamater Kampus Tercinta,” katanya, sambil menunjuk jaket almamater yang kukenakan.
Hah? Ah, buset! Kok aku lupa masih pakai jaket ini, ya! Hahaha, aku tertawa dalam hati, menertawakan kege-eranku tadi. Prasangka sudah ke mana-mana, tak tahunya cuma lantaran jaket ini. Malu, deh...! Oh ya, soal jaket ini, ceritanya begini. Tadi di kampus, aku menjadi salah satu wakil mahasiswa jurusan jurnalistik yang menghadap ke rektor, dalam rangka rencana kegiatan perayaan ulang tahun kampus. Dan rektor punya kebijakan, tak mau menerima mahasiswa yang menghadap bila tak mengenakan jaket almamater. Nah, inilah hasilnya.
“Kamu...,” aku melihat sekilas ke emblem yang terpasang di lengan baju seragamnya, yang menjelaskan dia siswi sekolah apa dan di daerah mana lokasinya, “baru mau berangkat sekolah?” tanyaku. Dia sekolah di sebuah SMA di daerah Duren Tiga, dan Metro Mini yang kami tumpangi adalah tujuan Pasar Minggu-Manggarai, melewati daerah Duren Tiga itu.
Ia melihat ke emblem di lengan bajunya, tertawa kecil, lalu mengangguk. “Emang lagi ada acara apa sih di kampus? Kok tumben pake jaket almamater segala? Biasanya cuma pake kaos,” ia balik menyerangku lagi dengan pertanyaannya yang mengejutkan.
Eh, buset lagi! Berarti anak ini kenal betul dengan diriku! Wah... siapa ya dia? Prasangkaku langsung berloncatan, menerka-nerka siapa gadis ini sebenarnya. Tapi aku tak menemukan jawaban, bahkan sekadar dugaan pun, mengenai gadis SMA ini. Siapa sih dia?
Metro Mini yang kami tumpangi mulai beranjak meninggalkan terminal. Soalnya bus sudah setengah penuh, dan kernet bus yang di belakangnya sudah ngomel-ngomel menyuruh berangkat karena takut tak kebagian rejeki. Kurang beriman banget....
“Kok kayaknya kamu tau betul siapa aku, ya?” cetusku akhirnya, menyerah.
“Ya iyalah,” sahut gadis itu, enteng. “Siapa sih yang nggak kenal sama Thamrin Mahesarani yang pengarang dan mahasiswa di Kampus Tercinta ini,” lanjutnya, melengkapi. Entah untuk tujuan mengejek atau sengaja membuatku makin penasaran.
Waduh! Dia bukan cuma tahu kalau aku kuliah di Kampus Tercinta, tapi juga tahu namaku, dan bahkan statusku sebagai pengarang! Siapa sih gadis ini sebenarnya? Apa dia salah satu penggemar karya-karyaku yang suka berkirim surat kepadaku? Mungkin. Ya, bisa jadi benar begitu! Hmmm, tapi rasanya aku belum pernah melihat ada foto penggemarku yang wajahnya secantik ini.
“Yang kamu bilang itu emang bener semua. Tapi kayaknya aku nggak sehebat itu deh, sampe orang harus tau aku ini siapa gitu,” ujarku, sok berendah hati. Air laut memang sudah asin, 'kan? Jadi, buat apa digarami lagi?
“Ya kalo kenyataannya emang gitu, gimana?”
“Yaaa... gimana, ya?” Aku akhirnya jadi mangkak juga. Tapi sudahlah, itu normal, kok. “Eh, ngomong-ngomong, boleh aku tau siapa nama kamu? Kamu 'kan udah tau banyak soal aku. Jadi... boleh dong aku juga tau siapa kamu.”
Dia memandangku dengan tatapan nakal – mempermainkan perasaanku. “Gitu, ya?” ujarnya, sambil mengulum senyum. “Kamu tuh mau tau doang... apa mau tau banget?”
“Ya mau tau banget, dong,” aku ikut bermain.
Ia membelalakkan matanya. Buset, bagus banget itu mata! Rasanya hati saya sudah kena rampok oleh pesonanya. “Terus... kalo udah tau, mau buat apa?” tanyanya, dengan tatapan dan kuluman senyum nakal. Aduh....
“Yaaa...,” aku memikirkan sesuatu yang gombal, “buat aku simpan di sini,” sambil menunjuk ke dadaku. Haha, gombal habis.
Ia membelalak indah. Sepertinya betul-betul kaget atau tersanjung. “Wah... senangnya,” ujarnya, bahagia. Namun, mendadak wajahnya berubah. “Tapi... ah, jangan, deh...!”
“Lho, kenapa?” Aduh, rasanya ada yang mengempis dengan tiba-tiba di dalam dadaku.
“Nanti pacar kamu cemburu!” ucapnya, seperti dalam sikap merajuk.
“Pacar?” Aku seketika merasa seperti pengendara yang mau ditilang. Tapi setan lantas mengajakku main gila. “Pacar yang mana? Orang aku belom punya pacar, kok.”
Ia seketika menyeringai, “Ngibul banget! Aku 'kan tau...,” ujarnya.
“Enggak! Serius!” sangkalku. Basah-basahan sekalianlah. “Aku emang belom punya pacar. Sumpah! Kalo punya temen cewek banyak, ya itu 'kan wajar-wajar aja.”
“Yang bener...?” ada yang bermain-main dengan nakal di dalam mata dan senyumnya.
“Bener!” Aku maju terus, pantang mundur. Maju kena mundur kena nih judulnya.
“Mmmm...,” ia terlihat berpikir-pikir, tetap dengan kenakalan yang bermain-main di dalam mata dan ulas senyumnya. “Tapi... ada syaratnya, ya,” cetusnya akhirnya.
Walah, kok pakai ada persyaratan segala! Tapi sudahlah, genderang perang sudah ditabuh, jadi, tidak ada pilihan selain terus maju. Makanya, “Apa syaratnya?” tanyaku, siap menerima.
“Syaratnya... jangan disimpan di hati.” Ah, ternyata cuma begitu saja syaratnya.
“Lho, kenapa?” Tapi aku merasa harus tahu alasannya, dong.
“Ya nggak kenapa-napa,” sahutnya. “Pokoknya, jangan disimpan di hati aja. Ntar bisa jadi penyakit. Bahaya! Cukup di ingatan aja, oke?”
“Jiah, bukannya itu justru lebih bahaya? Kalo jadi kanker otak gimana?” candaku. Dia tertawa.
“Dasar pengarang” ujarnya. “Pinter banget ngelesnya. Tapi sori ya, nggak ada tawar-menawar di sini. Jadi, mau apa nggak? Itu aja pilihannya.”
   Hmm, aku memang tak paham benar dengan apa maksudnya. Tapi sudahlah, itu tak penting betul, kok. Kalau aku sudah tahu siapa namanya, mana dia tahu akan kusimpan di mana? Iya, 'kan? Jadi, “Iya, deh.” Aku menyetujui persyaratannya.
Dia tersenyum manis sekali. “Ingat baik-baik, ya. Nama aku... Melanie. Panggil aja, Anie.”
“Hm... nama modern yang manis,” pujiku. “Terus... rumah kamu di mana? Mmm... di Depok berapa?” Aku mencoba menerka-nerka, supaya kelihatan perhatian gitu.
Ia agak kaget. “Kok tau aku tinggal di Depok?” letupnya.
“Tadi aku liat kamu turun dari Miniarta,” jelasku, jujur.
“Ooh...,” ia manggut-manggut. “Tapi... bisa aja 'kan aku naiknya di tengah perjalanan tadi?”
“Iya, sih,” anggukku, sependapat. “Tapi kamu emang bener tinggal di Depok, 'kan? Depok berapa?” kejarku.
“Di Depok Satu,” ungkapnya, mudah-mudahan tidak bohong.
“Di jalan apa? Nomor berapa? Sebelah mananya pasar?” kejarku, soalnya aku lumayan paham daerah itu.
Anie membeliakkan matanya. “Ih, nanya apa menginterogasi, nih?” cetusnya.
“Nanya sambil menginterogasi, hehehe,” ujarku, mencairkan.
Anie kemudian ikut tertawa. Tapi, sepertinya tak ingin memberitahukan alamat jelas rumahnya. Kuatir akan kurampok barangkali. Hmm, memang iya, sih. Aku ingin merampok hati dan cintanya, hahaha. Tapi....
“Ayo dong, An, kasih tau alamat rumah kamu,” pintaku, setelah yakin bahwa dia memang tak ingin memberitahukan alamat lengkap tempat tinggalnya. Namun Anie hanya senyum-senyum saja. Tak terlihat jual mahal, hanya tidak ingin memberitahu saja. Sementara Metro Mini terus melaju. Dan sebentar lagi akan sampai di Duren Tiga. “Ayo dong, An...,” rengekku.
Anie memandangku lewat sudut mata, dengan senyum misterius, “Emang kalo udah tau, kamu mau ngapain?” tanyanya, akhirnya.
“Ya... kalo boleh, mau mainlah,” jawabku.
   “Enak aja! Emangnya rumahku taman bermain apa?”
“Ya kalo bukan taman bermain, minimal aku 'kan bisa main-mainin kamu gitu, hehehe.”
“Huuu, dasar...!” cibirnya, bikin aku jadi ingin menggigit....
   “Gimana, boleh, 'kan?” Padahal dia belum kasih alamat jelas rumahnya, lho.
“Ya boleh aja, sih...,” Anie terlihat merasa berat. “Tapi... gimana, ya...?”
“Sumpah, aku cuma mau mampir, say hello, terus ngobrol-ngobrol doang, suwer,” aku membujuknya dengan penjelasan dan janji.
“Duren Tiga!” teriak kernet dari pintu belakang. “Tiga, ada, Tiga?” Aduh, itu dia!
Anie bangkit dan menoleh ke arah belakang, kepada kernet, “Ada, Bang!” katanya.
Aku panik. Kupegang pergelangan tangannya, uh, memang halus sekali kulitnya. “Ayo dong, An, kasih tau...!” pintaku, memelas.
Anie tersenyum, “Iya, aku kasih tau,” ujarnya, baik hati sekali sirat wajahnya.
Aku langsung lega, gembira. Tapi Metro Mini sudah menurunkan kecepatan dan akhirnya berhenti di halte Duren Tiga. Anie sudah harus turun. Berarti aku harus betul-betul menyiapkan diri buat mendengarkan dan mengingat baik-baik alamat rumahnya, yang akan diberitahukannya sebelum turun. Oke, aku sudah siap. Ayolah....
Dengan senyumnya yang memesona itu, Anie menyebutkan alamat rumahnya. “Alamat rumahku gampang, kok. Dan kamu pasti udah tau, deh. Soalnya... rumahku di sebelah rumah Devi,” katanya, panjang lebar tapi amat jelas, terutama yang terakhir: Rumahku di sebelah rumah Devi. Dan itu yang membuatku kaget seperti orang hampir tersambar kereta.
“Hah?” letupku, dengan jantung serasa melompat ke leher, “Di sebelah rumah Devi?” sepertinya aku mengatakannya dengan jeritan.
Tetap dengan senyum memesonanya, Anie mengangguk, “Iya, Devi pacar kamu itu.” Dan ia meloncat turun, sambil tertawa. Sumpah, suara tawanya sebetulnya terdengar sangat enak, tapi merobek gendang telingaku seperti ringkik tawa Mak Lampir. Mengejek!
“Mampus gue...!”
*****
Jakarta, 27 September 1983
Telah diterbitkan sebagai "Percikan"
pada Majalah Gadis No. 17, 21 Juni-11 Juli 1984
di bawah nama: M. H. Thamrin Mahesarani.
Revisi terakhir: 02 Agustus 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.