(Sambungan dari bagian 3)
Di sepanjang hidup saya sebelumnya, tidak pernah saya bermimpi atau bahkan
sekadar membayangkan bahwa pada suatu hari saya akan mengalami 'hari besar'
ini: Berdampingan dengan gadis cantik yang amat saya cintai di pelaminan yang
megah dan agung, di gedung yang bukan cuma terkenal mahal harga sewanya tetapi
juga panjang antrian calon penyewanya. Namun ternyata, semuanya itu tidak ada
artinya bagi Keluarga Besar Baskoro. Terbukti, kami sepertinya tak perlu antri untuk
dapat menyewa gedung ini.
Ribuan surat undangan yang kami sebarkan telah membuat pesta pernikahan kami menjadi tak pernah sepi sedetik pun. Orang-orang yang kami undang, maksud saya yang diundang Keluarga Besar Baskoro, terus berdatangan di sepanjang dua belas jam acara, sejak akad nikah hingga resepsi, yang dimulai sejak pukul 09 hingga pukul 21. Dan di sepanjang dua belas jam itu pula kemakmuran berlimpah-ruah di sekeliling kami. Makanan yang seolah tiada habis-habisnya dihidangkan, minuman yang terus-menerus mengalir mengisi gelas-gelas, dan mobil box pengangkut kado yang harus sigap bolak-balik ke rumah orangtua Nirmala. Semuanya seperti sebuah keajaiban. Seperti dongeng pernikahan Cinderella.
Ribuan surat undangan yang kami sebarkan telah membuat pesta pernikahan kami menjadi tak pernah sepi sedetik pun. Orang-orang yang kami undang, maksud saya yang diundang Keluarga Besar Baskoro, terus berdatangan di sepanjang dua belas jam acara, sejak akad nikah hingga resepsi, yang dimulai sejak pukul 09 hingga pukul 21. Dan di sepanjang dua belas jam itu pula kemakmuran berlimpah-ruah di sekeliling kami. Makanan yang seolah tiada habis-habisnya dihidangkan, minuman yang terus-menerus mengalir mengisi gelas-gelas, dan mobil box pengangkut kado yang harus sigap bolak-balik ke rumah orangtua Nirmala. Semuanya seperti sebuah keajaiban. Seperti dongeng pernikahan Cinderella.
Namun – sejujurnya harus diakui bahwa – penghormatan ini, keagungan ini,
kemegahan ini, sungguh membuat kami jadi merasa amat lelah. Amat-sangat lelah.
Sebab waktu untuk kami beristirahat praktis hanya pada saat-saat kami harus
sholat dan dirias ulang serta berganti pakaian. Itu saja. Sehingga saya jadi
merasa kuatir dengan Nirmala ketika ia mulai terlihat lesu dan pucat. Tapi
hebatnya perempuan ini, tak sepatah pun keluhan terlontar dari mulutnya. Ia
terus berusaha menampilkan keelokan senyumnya, terus berupaya meyakinkan saya
akan ketegarannya dengan tetap bersikap mesra. Dan itu benar-benar membuat saya
amat kagum padanya!
Bahkan setelah resepsi usai, dan kami telah berada di rumah orangtuanya,
dia masih berusaha untuk melayani saya dalam urusan-urusan remeh yang
sebenarnya tak perlu harus dia yang mengerjakannya. Dan saya tak bisa
membiarkan dia jadi keterlaluan seperti itu, maka dengan memohon maaf, saya
minta izin untuk segera beristirahat kepada orangtua Nirmala, Bapak dan Ibu
Baskoro, juga Bapak dan Ibu Ma'ruf, serta Keluarga Besar Baskoro yang lain.
Lalu saya pondong Nirmala masuk ke dalam kamar pengantin, sehingga semua orang
yang melihat atraksi ini jadi bertepuk tangan, dan Nirmala – entah senang atau
malu – menyembunyikan wajahnya ke leher saya.
Lantas, apa yang terjadi di kamar pengantin? Nah! Hanya dalam lima menit
saya tinggalkan, untuk gosok gigi di kamar mandi, ternyata dia telah terpulas
seperti bayi di atas ranjang pengantin. Namun – nah, inilah luar biasanya dia –
ketika saya bangun pada dini hari, ia pun turut bangun dan ikut sholat Tahajud
sebagai makmum. Tentu saja saya gembira mempunyai istri seperti dia. Tapi saya
juga amat kasihan, karena mengingat – dan melihat – bagaimana lelah serta
mengantuknya dia. Sehingga setelah selesai sholat Subuh, saya ajak dia untuk
kembali tidur. Dan apa yang terjadi kemudian? Pukul 11 dia baru bangun!
Bangun tidur, dia langsung mencari saya. Dengan sangat marah, tapi tidak
dalam suara keras, ia mengomeli saya karena membiarkannya tidur sampai hampir
tengah hari – sehingga rencananya untuk memasakkan makan siang buat saya jadi
berantakan, dan juga karena saya tidak ada di sisinya saat ia terjaga dari
tidurnya – itu penting buat saya! Ingat itu! peringatnya, mengakhiri limpahan
marahnya. Dan setelah itu, dengan kelakuan manjanya yang khas, ia memeluk dan
menyurukkan wajahnya ke leher saya, lantas dengan suara lembut bertanya,
"Kamu mau makan apa hari ini, Suamiku?"
Saya tidak menyangka bahwa saya akan seberuntung ini: Punya istri yang
sangat baik dan amat telaten mengurus serta melayani saya; Punya mertua yang
sayang dan amat memanjakan saya; Punya orangtua asuh yang selalu melimpahi
kebutuhan-kebutuhan saya, yang bahkan lebih mengutamakan kebutuhan saya
daripada anak kandungnya sendiri – yaitu Bapak dan Ibu Baskoro; Dan juga punya
orangtua asuh yang kebijaksanaan dan kearifannya selalu mengisi hidup saya –
yakni Bapak dan Ibu Ma'ruf. Nah, apa lagi yang saya butuhkan dalam hidup ini?
Ternyata ada. Itu baru saya sadari sesudah perkawinan kami telah melampaui
paruh-pertama tahun. Nirmala belum juga menunjukkan tanda-tanda 'berisi'. Ia
belum pernah muntah-muntah ataupun menginginkan yang asem-asem dan aneh-aneh.
Ia masih terlihat normal-normal saja. Dan itu, terus-terang, terasa mulai
mengganggu pikiran. Khususnya, setiap kali saya teringat pada perkataan Pak
Baskoro ketika akan mengawinkan saya dengan Nirmala, dulu: "Lha wong Mbakyu saya sudah pingin menimang cucu, kok!"
Ya Allah, apa yang terjadi pada kami? Saya mulai gemetar oleh rasa cemas
dan takut. Hingga akhirnya, terjadilah yang saya takutkan. Suatu malam, ketika
kami sedang bersiap akan berangkat tidur, tiba-tiba Nirmala menjatuhkan diri,
bersimpuh di hadapan saya, dan menangis di pangkuan saya sambil memeluk erat
pinggang saya. Tentu saja saya jadi kaget, bingung, dan tak mengerti. Ada apa
gerangan? Dan segala macam pikiran seram segera menyerbu benak saya. Membuat
hati saya terasa amat kecil oleh rasa gentar.
Adalah besarnya rasa cinta saya kepada Nirmala yang akhirnya mampu menumpas
semua kekacauan di benak dan hati saya itu. Dari sana lahir keikhlasan, kasih,
dan ketulusan untuk berlapang dada menerima segala apa pun yang akan terjadi.
Maka dengan kesejukan kasih-sayang, saya tenangkan kegundahannya, saya lipur
kesedihannya, dan saya sorongkan dengan rela diri saya untuk menjadi tempat
limpahan perasaannya, serta menjadi tempat bersandar terbaik baginya.
Setelah tangisnya agak mereda. Dengan wajah terlihat sangat sedih dan
kecewa, Nirmala bilang, "Maafkan saya... maafkan saya... maafkan
saya...." Lalu ia tersedu kembali. Saya hibur lagi dia, dan saya katakan
bahwa saya sudah memaafkannya, selalu bisa memaafkannya.
Akhirnya, setelah badai kesedihan beringsut dari hatinya, ia mengungkapkan
pangkal penyebab tangisnya itu, "Tadi siang saya menerima kabar dari
dokter ahli kandungan.... Ternyata saya...." Ia menangis lagi.
Dengan lembut saya elus-elus kepalanya, seraya terus membujuknya agar
tenang, berlapang hati, dan ikhlas dalam menerima semua cobaan ini.
"Maafkan saya, Hes... maafkan saya...," rintih perempuan yang
amat saya cintai itu dengan suara pilu. "Saya... saya nggak akan bisa...
punya anak...." Tangis itu kembali memenggal perkataannya. "Saya
nggak akan bisa ngasih kamu keturunan...."
Terasa ada tangan dingin yang menggenggam hati saya saat mendengar itu.
Namun kedalaman sanubari saya segera bereaksi. "Inna lillahi wa inna
ilaihi rojiun...," bisik saya, berserah diri kepada Tuhan. Dan tangan
dingin itu perlahan mencair oleh kehangatan sentuhan keikhlasan. Dengan
lembut saya angkat Nirmala dari simpuhnya, dan saya dudukkan di sisi saya, lalu
saya peluk dengan penuh kasih-sayang. Ia merangkul leher saya dan menyurukkan
wajahnya ke leher saya. Tangisnya tersisa dalam sedu-sedan kecil.
"Memangnya kalau kamu nggak bisa punya anak kenapa?" ujar saya,
halus, seraya mengecup sisi kepalanya dengan lembut. "Saya menikahi kamu
bukan dengan harapan agar kamu memberi saya keturunan, kok. Bukan, bukan itu,
Nirmala. Saya menikahi kamu karena saya mencintai kamu. Karena saya nggak mau
kehilangan kamu. Dan... rasanya sudah waktunya kamu tahu ini: Kamu adalah
satu-satunya perempuan yang saya cintai di sepanjang hidup saya. Jadi,
sebaiknya jangan rendahkan nilai diri kamu dengan hal-hal yang di luar
kekuasaan kamu. Saya sudah sangat bersyukur karena Allah mengabulkan harapan
saya untuk memperistri kamu. Jadi, kalau ternyata kamu punya sedikit
kekurangan, itu bukanlah salah kamu. Itu hanya bagian dari hidup kita. Kita toh
nggak bisa menuntut terlalu banyak dari Tuhan untuk kesempurnaan hidup kita.
Memangnya kita ini siapa? Nah, ayolah tunjukkan senyum kamu yang cantik itu
kepada suami tersayangmu ini. Ayo, dong, satu... dua... ti... nah, begitu,
dong....! Pinter." Dan saya cium dia dengan cinta.
Bagi saya, yang telah menjalani hidup sebagai manusia tanpa orangtua,
rasanya tidak menjadi masalah jika kemudian harus menjalani hal yang senada
lagi, menjadi orangtua tanpa anak. Memangnya kenapa? Apakah setiap orang harus
punya anak sendiri? Harus punya anak kandung? Lantas, jika semua orang
berpegang pada prinsip itu, bagaimana dengan nasib anak-anak yang terlantar?
Siapa yang akan menampung anak-anak yatim dan piatu itu? Apakah mereka akan
dibiarkan dan dianggap sebagai makhluk-makhluk yang sial? Alangkah tidak
adilnya.
Setelah mendapat penjelasan bahwa saya tidak fanatik dalam urusan anak, dan
Nirmala bisa memahami maksud saya itu, dia kemudian berusaha menjelaskan
ihwal kemandulannya kepada saya. Dia seperti seorang ahli kandungan saja
ketika menjelaskan proses reproduksi manusia – lengkap dengan nama-nama organ
reproduksinya – itu. Dan setelah dia pikir saya mengerti maksudnya, ia
menjelaskan di mana masalah yang terjadi pada organ reproduksinya. Lalu
sebagai penutup, sambil menyurukkan wajahnya ke leher saya, ia menyampaikan
vonis bagi dirinya: Bahwa kelainan pada organ reproduksinya itu tidak bisa
diperbaiki. Artinya, ia mandul total.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Segala yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya juga. Jadi, jangan dihalangi dengan ketidak-ikhlasan. Hanya akan menyakiti diri kita sendiri. Sebab kehendak Allah itu pasti dan tidak ada yang dapat merintangi terjadinya," ujar saya, mengingatkan. "Lagipula, kalau dipikir-pikir, ya syukurlah kalau benar begitu kejadiannya," saya terpikir sesuatu. "Jadi, saya nggak
perlu keluar biaya buat beli barang-barang kontrasepsi. Dan yang terutama,
karena kamu nggak akan pernah melahirkan, maka saya nggak usah ngasih kamu
anggaran buat beli jamu sari rapet."
***
Dua minggu setelah Nirmala mengabarkan 'musibah' rumah tangga kami itu,
Bapak dan Ibu Baskoro tiba-tiba memerintahkan saya untuk mengikuti pelatihan
di Jepang, yaitu dengan ikut bekerja sebagai pendamping manajer pemasaran di
kantor pusat perusahaan Jepang, yang bekerjasama dengan salah satu anak perusahaan milik Keluarga Baskoro yang pertumbuhannya dinilai masih lamban. Minimal untuk tiga bulan. Tentu saja
saya jadi heran dan tak mengerti dengan maksud rencana mendadak itu. Soalnya,
itu bukan kebiasaan Bapak ataupun Ibu Baskoro yang selalu ketat dalam hal penjadualan.
Tapi sebagai bawahan, sudah pasti saya harus patuh pada perintah atasan. Maka
saya terima tugas itu. Dan saya bersedia berangkat lusa.
Namun ketika saya menyampaikan hal itu pada Nirmala, bagaimana reaksinya?
Dia terhenyak. "Aduh, celaka...!" Dan itu membuat semangat saya
langsung terbang. Tapi saya berupaya keras untuk memahami alasannya. Ia memang
harus membantu mengurus perusahaan orangtuanya, di bidang tekstil dan batik,
yang akhir-akhir ini memang sedang maju pesat. Apa boleh buat?
Jadi, akhirnya saya harus berangkat ke Jepang sendirian. Dan ini merupakan
kali pertama saya berada berjauhan untuk waktu yang lumayan lama dengan
Nirmala. Minimal sampai Nirmala punya keluangan waktu buat menyusul saya ke
sana. Tapi kapan? Berapa lama? Saya pasrah.
Akan tetapi, itu bukan berarti bahwa persoalan telah selesai. Belum. Sebab
ternyata masih ada persoalan lain yang harus saya hadapi. Dan saya tidak tahu
persis, semua ini karena kenaifan saya atau karena kengawuran Bapak
dan Ibu Baskoro serta Nirmala sendiri. Sewaktu masih di Jakarta, di hadapan
Nirmala, mertua saya, serta Pak Baskoro, Ibu Baskoro bilang, "Kamu ndak usah
kuatir. Di Jepang ada keluarga kita yang akan menampung dan menjadi pemandu
kamu selama di sana. Dan saya sudah meminta dia supaya menjemput kamu di
Narita."
Dengan tanpa prasangka, saya oke saja. Malah, saya agak merasa lega. Karena
itu berarti akan mempermudah urusan-urusan saya selama di sana. Soalnya setahu saya, memang ada beberapa orang dari Keluarga Besar Baskoro yang sedang sekolah di Jepang. Bahkan adik bungsu Pak Baskoro, yang beristrikan orang Jepang, menetap di Jepang jadi mubalig. Namun ketika
saya mendarat di Narita, saya kaget setengah mati. Bagaimana tidak? Ternyata
'keluarga kita' yang dimaksud oleh Ibu Baskoro itu adalah Larasati Suryo Baskoro!
Anak sulung Bapak dan Ibu Baskoro. Nah, matilah saya! Dan... inna lillahi wa
inna ilaihi rojiun... saya harus tinggal bersama dia selama di sini? Gila!
Sepanjang perjalanan menuju apartemen Laras, saya berusaha menghubungi
Nirmala, tapi tak diangkat. Saya SMS, saya hubungi dengan BBM, WA, Line,
Messenger, juga tak ada respons. Demikian juga dengan Bapak dan Ibu Baskoro.
Bahkan mertua saya pun tidak bisa dihubungi. Tak ada yang merespons! Aduh, ada
apa sih ini? Apa telepon seluler saya yang bermasalah? Tapi waktu
saya telepon Pak Ma'ruf, bisa tersambung. Apa-apaan sih ini?
Akhirnya, saya dapat akal, setelah mengabarkan bahwa saya sudah sampai di
Jepang dengan selamat, saya minta tolong beliau untuk menghubungi Nirmala dan
meminta agar istri saya itu segera menelepon saya. Pak Ma'ruf menyanggupi.
Alhamdulillah, saya jadi sedikit lega.
Namun, saya tunggu-tunggu hasil permintaan tolong saya kepada Pak Ma'ruf
itu, sampai akhirnya kami tiba di apartemen Laras, belum juga menunjukkan
hasil. Nirmala belum juga menghubungi saya, dan tetap tak bisa saya hubungi.
Aduh, ada apa ini? Saya jadi mulai panik. Saya berusaha menghubungi mereka ke
kantor masing-masing, tapi resepsionis kantor mereka bilang mereka lagi pada
keluar kantor. Ya Allah, ada apa ini sebenarnya?
Laras yang berusaha membantu saya menghubungi mereka, sambil terus
berupaya menenangkan saya, akhirnya juga jadi ikut bingung. Hingga akhirnya,
ketika kami telah sama putus asa, kami lantas 'ribut' mengenai keengganan saya
untuk tinggal bersamanya.
"Memangnya kenapa sih, Mas?" tanya Laras, tak paham dengan
sikap saya. Entah memang tak paham, atau tak mau paham, saya tak begitu jelas.
"Lho, kamu ini gimana sih, Ras?" ujar saya, mencoba sabar
memberi penjelasan. "Kamu ini 'kan perempuan, sudah besar dan sudah bisa dianggap
pantas untuk dikawinkan. Sementara saya ini 'kan laki-laki, sudah dewasa, sudah
berkeluarga dan lagi jauh dari istri. Apa itu nggak berarti apa-apa buat
kamu?"
"Maksud Mas Hesa... dikuatirkan bisa terjadi hal-hal yang...."
"Nah, itu yang saya maksud!" sambar saya, cepat.
Laras mengangguk-angguk. "Tapi kita 'kan kakak-adik, Mas!"
ujarnya kemudian, polos. "Masak iya sih kita mau berbuat hal-hal yang
ngaco kayak begitu?"
Itu membuat saya tertegun. Bengong. Saya bisa bilang apa lagi coba? Sebab faktanya,
kami ini memang kakak-adik – meski cuma dengan status saudara angkat. Dan
karena itu, maka kami harus bisa hidup sebagaimana mestinya dua orang
saudara. Rukun, saling menyayangi, dan sebagainya. Tapi masalahnya, dia itu
perempuan yang lagi beranjak dewasa – dan bohong kalau saya bilang dia bukan
gadis yang cantik dan seksi. Di lain pihak, saya ini laki-laki dewasa yang
lagi jauh dari istri – lagi kehilangan kehangatan istri. Dan kami tinggal di
bawah satu atap. Hanya berdua! Nah, bagaimana kalau ada setan yang iseng dan
mampir? Tak peduli siapa yang lebih dulu memulai! Apa tidak jadi kacau
nantinya? Dan itu yang amat saya takutkan!
Maka, ketika akhirnya Nirmala menghubungi saya dengan meminta-minta maaf
karena seharian rapat marathon bersama Bapak dan Ibu Baskoro serta kedua
orangtuanya, di luar kantor, dengan pihak yang akan bekerjasama dengan
perusahaan batiknya, saya jelaskan soal keengganan saya tinggal seapartemen
dengan Laras itu kepadanya. Dan tak lupa memintanya untuk membujuk om dan
tantenya agar mengizinkan saya tinggal di tempat lain. Tapi apa jawaban yang
saya peroleh darinya? "Waduh, gimana, ya... soalnya dari awal saya udah
setuju sih kamu tinggal sama Laras. Jadi, kalau saya menyampaikan permintaan
kamu ini ke mereka, saya kuatir mereka jadi berpikir bahwa kamu bukan tipe
suami yang bisa dipercaya. Habis, belum apa-apa udah punya pikiran yang
nggak-nggak kayak begitu. Sebaliknya, kalau mereka mengira ini ide saya, saya
kuatir mereka akan menyangka saya nggak percaya sama suami dan Laras. Aduh...
jadi, gimana, dong?" Ya, bagaimana? Soalnya dia ada benarnya juga! Ya
Allah, bisa celaka ini saya...!
"Tapi kalau sampai terjadi hal-hal yang...." Saya tak sampai hati
untuk mengatakannya. Dan dalam hati saya berdoa: Semoga tidak pernah terjadi.
Tolong saya, ya Allah...!
"Yaa... kalau memang akhirnya sampai terjadi, ya apa boleh buat?
Mungkin kamu harus mengawini Laras. Apa lagi kalau dia sampai hamil."
Untuk sekian jenak, Nirmala berdiam diri. Lalu: "Tapi... kebetulan juga,
‘kan? Kamu jadi punya istri dua dan kita jadi bisa punya anak. Iya,
nggak?" Dan ia tertawa. Tapi saya dengar, itu seperti bukan tawanya.
"Hush, jangan ngaco kamu!" omel saya. Tapi Nirmala terus saja tertawa-tawa.
Ini memang benar-benar masalah gila. Tapi saya tidak punya pilihan. Dan
selain itu, saya juga tak mau dianggap sebagai orang yang punya kecenderungan
kurang baik. Maka akhirnya kepada Tuhanlah saya menyerahkan diri dan memohon –
dengan sangat-sangat-sangat – pertolongan-Nya. Peliharakan saya dari perbuatan
maksiat. Peliharakan saya dari perbuatan dosa. Peliharakan saya dari
perzinahan, ya Robb. Cuma Engkau yang bisa menolong saya.
Di sepanjang minggu pertama, Laras jadi amat sibuk dengan aktivitas
kuliahnya dan saya. Kuliahnya yang sudah pada tahap akhir, tentu membuatnya
jadi banyak mendapat tugas-tugas. Dan itu harus ditambah dengan tugas 'mengasuh
kakaknya ini', agar bisa lekas beradaptasi dengan lingkungan dan cara hidup di
Negeri Sakura ini. Yang paling utama ialah, bagaimana cara pergi dan pulang
kantor. Dan yang tak kalah penting, bagaimana cara menghindarkan diri dari
makanan yang mengandung unsur-unsur haram. Ini yang menyebabkan tuan-tuan di
kantor pusat mengira saya seorang vegetarian. Soalnya setiap kali diajak ke
restoran, yang saya pilih selalu menu-menu dari kelompok vegetarian.
Kalau di rumah, maksud saya di apartemen Laras, makanan kami nyaris
normal - karena selalu ada nasi, meski lauk-pauknya melulu dari jenis ikan dan
sayuran. Laras yang memasak. Dan harus saya akui bahwa masakannya hampir
setara dengan Nirmala. Tapi itu tidak mengherankan saya, mengingat gadis ini
adalah adik asuh Nirmala sejak bayi hingga tamat SMA. Sehingga saya bahkan
tidak pula heran dengan kemiripan tingkah-laku dan sifat-sifat mereka berdua.
Namun begitu, saya bisa menemukan beberapa perbedaan penting dalam tabiat
mereka. Nirmala lebih galak tapi lebih rendah hati dan tertutup. Sedangkan
Laras, barangkali karena masih muda – lebih manja, terbuka tapi agak angkuh.
Itu sebabnya tiap berada dekat Laras, saya senantiasa diayun oleh perasaan
kontradiktif. Di satu pihak saya senang berada di sisinya, karena selalu
mengingatkan saya pada Nirmala. Namun di pihak lain, saya takut dekat-dekat
dengannya karena kemiripan tingkah-lakunya dengan Nirmala. Kalau saya 'keseleo
otak' dan menanggapinya sebagai Nirmala bagaimana? Soalnya saya lagi jauh dari
Nirmala, nih. Dan kebutuhan saya akan dirinya betul-betul tak bisa tersalurkan.
Kesadaran itulah yang membuat saya berusaha menjaga jarak dari Laras jika
di rumah. Dan kelihatannya, Laras bisa memahami hal itu. Cuma, kadang-kadang,
kalau sifat manjanya keluar, ia bisa jadi 'benar-benar keterlaluan'. Ia bisa
dengan enaknya: memeluk, menciumi pipi, menyandarkan diri, berbaring di
pangkuan, bahkan menerkam hingga saya jatuh telentang dengan dirinya di atas
saya, seolah-olah saya ini pacar atau suaminya. Gila!
Namun sampai sejauh ini – syukurlah Tuhan masih memelihara iman saya – saya
masih bisa mengendalikan diri. Dan saya selalu menyampaikan segala yang terjadi
antara saya dan Laras itu kepada Nirmala, baik lewat sms, media chatting, maupun
pembicaraan melalui video atau pun voice chat, tapi apa jawabannya?
Dengan enteng dia bilang, "Syukurlah kalau begitu. Jadi, kamu nggak
terlalu kangen lagi sama saya, ‘kan?" Apa dia sudah gila? Tentu saja saya
jadi marah-marah dan mengancam akan pulang kalau dia tidak segera menyusul.
Tapi, ya itulah masalahnya, Nirmala selalu punya seribu satu cara untuk
membujuk-rayu saya agar 'patuh dan mengikuti' semua keinginannya. Akhirnya, ya
terus saja saya yang jadi gila sendirian. Nasib...!
***
Memasuki bulan keempat, saya merasa bahwa dunia akan segera meledak, atau
setidaknya kepala sayalah yang meledak. Dan agar malapetaka itu tak
benar-benar terjadi, maka saya putuskan untuk menerima ajakan Katagiri,
manajer pemasaran, yang selama ini selalu saya tolak dengan halus, untuk menikmati kehidupan malam Tokyo. Namun sebelum menyatakan menerima ajakannya, saya bilang padanya: "Tapi saya
cuma bisa sampai pukul sepuluh, Katagiri-san. Bagaimana?" Soalnya saya
tahu, dia sering pulang lewat tengah malam.
"Pukul sepuluh?" Katagiri seperti keheranan. "Itu masih
sore, Mahesa-san. Buat apa pulang sore-sore begitu? Apa istri you galak?"
"Ah, tidak," geleng saya bersama senyum. "Istri saya di
Jakarta. Saya harus pulang karena masih ada keperluan lain yang sangat penting,"
dalih saya.
"Aah, begitu...." Katagiri mengangguk-angguk. "Okelah, yang
penting you bisa ikut. Siapa tahu you nanti
berubah pikiran." Ia membawa saya ke klub karaoke langganannya – sebuah
tempat hiburan yang sempit tapi luar biasa, karena penataan ruangannya sangat efisien
- dan kami bersantai di sana. Selain menyanyi dan softdrink,
hampir semua tawarannya saya tolak. Gadis pendamping? Tidak. Alkohol?
Tidak. Snack? Saya tanya dulu, berupa apa? Kacang? Oke.
Meski hanya dua jam – ini karena tradisi pulang kantor Katagiri adalah
paling cepat pukul delapan malam, alhamdulillah, saya agak terhibur juga.
Khususnya karena menonton bagaimana lucunya Katagiri setelah mulai mabuk.
Juga karena suara Katagiri yang tak jelas nadanya saat menyanyi. Tapi terutama,
karena saya ge-er oleh sambutan Katagiri dan gadis pendampingnya yang selalu
bertepuk tangan riuh kalau saya menyanyi. Dan sungguh, pada saat itu saya
merasa sangat bersyukur karena sering – dipaksa – dilatih Nirmala di rumah,
dan Laras di sini – soalnya mereka memang sama-sama keranjingan dengan karaoke,
sehingga penampilan saya tidak mempermalukan martabat bangsa.
Namun, seperti yang telah saya tetapkan sebelumnya, saya harus pulang
pukul sepuluh malam. Tak ada kompromi. Soalnya saya belum sholat Isya. Dan selain
itu, saya juga perlu tidur beberapa jam sebelum bangun untuk sholat Tahajud di
tengah malam nanti. Maka, dengan meminta maaf kepada Katagiri serta gadis
pendampingnya, saya memohon diri. Katagiri, sambil oleng kian ke mari karena
mabuk, mengantar saya keluar hingga saya mendapat taksi. Ia yang memberi
panduan kepada sopir taksi, perihal tujuan saya. Dia memang orang yang baik.
Suatu malam, ketika saya tiba di apartemen, saya dikejutkan oleh perempuan yang saya dapati tidur di
kamar saya. Awalnya, saya kira itu adalah Laras. Tapi kemudian saya merasa
ada yang ganjil. Perempuan itu berambut panjang. Padahal rambut Laras pendek.
Saya kembali ke ruang tengah, dan bersila di atas tatami. Benak saya penuh
oleh dugaan-dugaan. Siapa perempuan itu? Tiba-tiba terdengar suara
pintu-geser dari sisi kanan saya. Itu pintu kamar saya! Dan jantung saya
seketika gemetar. Otak saya membeku. Hanya jantung saya yang ribut dalam
menunggu apa yang akan terjadi sebentar lagi.
Saya mendengar langkah-langkah halus di belakang saya. Dan saya kenal dengan
suara itu! Saya mencium aroma parfum lembut menyebar di udara. Dan saya juga
kenal aroma itu! Saya merasakan dan mendengar gerakan orang duduk di belakang
saya, lalu tangan itu merengkuh saya dari belakang, wajahnya disandarkan ke
punggung saya, dan lantas suaranya terdengar melantun lembut, "Kamu baru
pulang?" Oh Tuhan, saya kenal suara itu! Nirmala!
Dengan cepat saya geser posisi duduk dan saya putar tubuh, menghadap
padanya. Dan saya terpana. "Astaghfirullah... Mala!" pekik saya. Ia tersenyum
dan merengkuh saya. "Ya Allah, Mala!" Saya dekap ia erat-erat.
"Ya Allah, saya kira siapa. Kapan kamu datang? Sama siapa? Laras ke
mana?"
Namun jawaban dari Nirmala adalah suara isak tangis dan ungkapan di antara
sedunya, "Saya kangen, Hes...! Saya kangen...!"
Ya Allah, betapa amat rindunya saya pada suara tangisnya yang halus itu,
pada ungkapan kasih-sayangnya yang lembut itu. Dengan penuh kerinduan dan
luapan rasa cinta, saya ciumi wajahnya yang basah oleh airmata. "Saya juga
kangen sama kamu," kata saya. "Saya kangeeen banget. Saya sudah
hampir gila karena kangen sama kamu."
Bodohnya saya. Tentu saja itu membuatnya jadi tambah menangis. "Maafin
saya, Hes... maafin saya...." ucapnya di sela tangis.
Dengan penuh kasih sayang saya tenteramkan hatinya. "Tentu saya maafin
kamu. Lagipula... kapan sih kamu pernah bikin salah sama saya? Sudahlah...
saya sebetulnya suka ngeliat kamu nangis kayak begini. Tapi kamu juga bikin
saya jadi ikut sedih. Nah, sekarang gembirakan saya dengan senyum kamu yang cantik
itu. Ayo, dong... saya udah kangen banget pengen liat senyum cantik kamu itu,
lho. Ayooo...."
Setelah suasana normal kembali; saya sudah mandi air hangat, ganti pakaian
dan sholat Isya; saya nikmati wedang jahe dan makanan kecil yang dihidangkan
Nirmala sambil berbincang mengenai segala macam. Dan dari Nirmala saya tahu
bahwa tadi sore Laras pergi berakhir pekan dengan Kimiko, teman kuliahnya.
Itu menjawab teka-teki dalam kepala saya perihal: Mengapa minggu ini Laras tidak membicarakan rencana akhir pekan kami? Apa itu berarti ia tahu bahwa
Nirmala akan datang? Bisa jadi. Tapi saya tak mau memperpanjang hal itu.
Soalnya, sekarang Nirmala sudah ada di sisi saya. Jadi, kalau dunia mau kiamat
- ya kiamatlah! Tak ada masalah.
Dengan adanya Nirmala di sisi saya, rasanya Jepang - khususnya Tokyo -
jadi lebih menarik untuk diperhatikan dan lebih indah. Tapi saya jadi capek.
Soalnya sepanjang akhir pekan, sejak pagi hingga petang, ia mengajak saya
menjelajah pusat-pusat perbelanjaan: Ginza, Akihabara, Shinjuku, dan entah
daerah apa lagi. Dia tahu semua tempat itu seperti di kampungnya sendiri.
Gila! Praktis saat untuk kami beristirahat ialah apabila kami makan, atau
sekadar mengistirahatkan kaki sambil minum minuman ringan, dan juga saat
sholat – yang kami lakukan di tempat-tempat umum dan terbuka, sehingga kami
agak menjadi tontonan orang.
Pada Sabtu dan Minggu itu, ia hanya belanja khusus untuk saya, untuk
oleh-oleh buat Bapak dan Ibu Ma'ruf serta semua penghuni panti asuhannya, dan
sambil mencatati barang-barang pesanan 'rakyatnya' di Jakarta beserta harganya.
Yang membuat saya tercengang ialah banyaknya jumlah barang pesanan tersebut.
Gila! Di rumah, maksud saya di apartemen Laras, ia kemudian menulis semua
hasil surveinya itu di laptop Laras dan mengirimkannya kepada para pemesan,
baik lewat inbox di jejaring sosial maupun e-mail.
Minggu petang, ketika kami pulang dari penjelajahan, Laras telah menanti
kami di rumah. Maka, setelah Nirmala usai mandi dan berganti pakaian,
keajaiban dunia pun segera tercipta. Hanya dengan mereka berdua, saya merasa
bahwa dunia telah menjadi begitu ramai dan seru. Sambil menyaksikan dan
mendengarkan mereka, saya berbaring dekat Nirmala, di atas tatami. Dan entah
karena sangat capek, atau karena hati saya merasa tenteram, saya merasa
terlena sesaat. Tapi saat saya terjaga, saya dapati Nirmala tidur sambil
memeluk saya. Dan saat saya tinjau arloji, ternyata sudah hampir pukul 2. Dengan
halus saya sentuh pipi Nirmala - itu cara saya membangunkan dia. Nirmala segera
membuka mata dan memandang saya dengan mata mengantuknya.
"Mau ikut sholat Tahajud?" tanya saya.
"He-hm," gumamnya, bersama anggukan pelan.
Kami bangun. Dan baru pada saat itulah saya mengetahui bahwa Laras juga
tidur di situ, di tempat tadi dia duduk. Saya geleng-geleng kepala. Pasti
mereka mengobrol sampai jauh malam, pikir saya, seraya bangkit dan melangkah ke
kamar mandi. Ketika saya memasuki kamar mandi, saya mendengar Nirmala
membangunkan Laras, tapi saya tak begitu jelas apa yang dikatakannya. Saat
akan sholat, barulah saya tahu apa maksud Nirmala membangunkan Laras;
ternyata untuk mengajak sholat Tahajud bersama. Alhamdulillah, saya bersyukur
di dalam hati.
Namun yang tidak saya duga adalah tujuan Nirmala di balik itu.
"Beginilah suasana rumah tangga kita kalau kamu menikahi kami berdua.
Bagaimana? Kamu suka?"
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.