16 April 2016

Cerbung: Lewat Tengah Malam (4)

(Sambungan dari bagian 3)
Di sepanjang hidup saya sebelumnya, tidak pernah saya bermimpi atau bahkan sekadar membayangkan bahwa pada suatu hari saya akan meng­alami 'hari besar' ini: Berdampingan dengan gadis cantik yang amat saya cintai di pelaminan yang megah dan agung, di gedung yang bukan cuma terkenal mahal harga sewanya tetapi juga panjang antrian calon penyewanya. Namun ternyata, semuanya itu tidak ada artinya bagi Keluarga Besar Baskoro. Terbukti, kami sepertinya tak perlu antri untuk dapat menyewa gedung ini.
   Ribuan surat undangan yang kami sebarkan telah membuat pesta per­ni­kahan kami menjadi tak pernah sepi sedetik pun. Orang-orang yang ka­mi undang, maksud saya yang diundang Keluarga Besar Baskoro, terus ber­datangan di sepanjang dua belas jam acara, sejak akad nikah hingga resepsi, yang dimulai sejak pukul 09 hingga pukul 21. Dan di sepanjang dua belas jam itu pula ke­makmuran berlimpah-ruah di sekeliling kami. Makanan yang seolah ti­ada habis-habisnya dihidangkan, minuman yang terus-menerus meng­alir mengisi gelas-gelas, dan mobil box pengangkut kado yang harus sigap bolak-balik ke rumah orangtua Nirmala. Semuanya seperti sebuah keajaiban. Seperti dongeng pernikahan Cinderella.
Namun – sejujurnya harus diakui bahwa – penghormatan ini, keagung­an ini, kemegahan ini, sungguh membuat kami jadi merasa amat lelah. Amat-sangat lelah. Sebab waktu untuk kami beristirahat praktis hanya pada saat-saat kami harus sholat dan dirias ulang serta berganti pakaian. Itu saja. Sehing­ga saya jadi merasa kuatir dengan Nirmala ketika ia mulai terlihat le­su dan pucat. Tapi hebatnya perempuan ini, tak sepatah pun keluhan terlontar dari mulutnya. Ia terus berusaha menampilkan keelokan senyumnya, terus berupaya meyakinkan saya akan ketegarannya dengan tetap bersikap mesra. Dan itu benar-benar membuat saya amat kagum padanya!
Bahkan setelah resepsi usai, dan kami telah berada di rumah orang­tuanya, dia masih berusaha untuk melayani saya dalam urusan-urusan re­meh yang sebenarnya tak perlu harus dia yang mengerjakannya. Dan saya tak bisa membiarkan dia jadi keterlaluan seperti itu, maka dengan memohon maaf, saya minta izin untuk segera beristirahat kepada orang­tua Nirmala, Bapak dan Ibu Baskoro, juga Bapak dan Ibu Ma'ruf, serta Keluarga Besar Baskoro yang lain. Lalu saya pondong Nirmala masuk ke dalam kamar pengantin, sehingga semua orang yang melihat atraksi ini jadi bertepuk tangan, dan Nirmala – entah senang atau malu – menyem­bunyikan wajahnya ke leher saya.
Lantas, apa yang terjadi di kamar pengantin? Nah! Hanya dalam lima menit saya tinggalkan, untuk gosok gigi di kamar mandi, ternyata dia telah terpulas seperti bayi di atas ranjang pengantin. Namun – nah, inilah luar biasanya dia – ketika saya bangun pada dini hari, ia pun turut bangun dan ikut sholat Tahajud sebagai makmum. Tentu saja saya gembira mempunyai istri seperti dia. Tapi saya juga amat kasihan, ka­rena mengingat – dan melihat – bagaimana lelah serta mengantuknya dia. Sehingga setelah selesai sholat Subuh, saya ajak dia untuk kem­bali tidur. Dan apa yang terjadi kemudian? Pukul 11 dia baru bangun!
Bangun tidur, dia langsung mencari saya. Dengan sangat marah, tapi tidak dalam suara keras, ia mengomeli saya karena membiarkannya ti­dur sampai hampir tengah hari – sehingga rencananya untuk memasakkan makan siang buat saya jadi berantakan, dan juga karena saya tidak ada di sisinya saat ia terjaga dari tidurnya – itu penting buat sa­ya! Ingat itu! peringatnya, mengakhiri limpahan marahnya. Dan sete­lah itu, dengan kelakuan manjanya yang khas, ia memeluk dan menyu­rukkan wajahnya ke leher saya, lantas dengan suara lembut bertanya, "Kamu mau makan apa hari ini, Suamiku?"
Saya tidak menyangka bahwa saya akan seberuntung ini: Punya istri yang sangat baik dan amat telaten mengurus serta melayani saya; Pu­nya mertua yang sayang dan amat memanjakan saya; Punya orangtua asuh yang selalu melimpahi kebutuhan-kebutuhan saya, yang bahkan lebih meng­utamakan kebutuhan saya daripada anak kandungnya sendiri – yaitu Bapak dan Ibu Baskoro; Dan juga punya orangtua asuh yang kebijak­sa­naan dan kearifannya selalu mengisi hidup saya – yakni Bapak dan Ibu Ma'ruf. Nah, apa lagi yang saya butuhkan dalam hidup ini?
Ternyata ada. Itu baru saya sadari sesudah perkawinan kami telah melampaui paruh-pertama tahun. Nirmala belum juga menunjukkan tanda-tanda 'berisi'. Ia belum pernah muntah-muntah ataupun menginginkan yang asem-asem dan aneh-aneh. Ia masih terlihat normal-normal saja. Dan itu, terus-terang, terasa mulai mengganggu pikiran. Khususnya, se­tiap kali saya teringat pada perkataan Pak Baskoro ketika akan mengawinkan saya dengan Nirmala, dulu: "Lha wong Mbakyu saya sudah pi­ngin menimang cucu, kok!"
Ya Allah, apa yang terjadi pada kami? Saya mulai gemetar oleh rasa cemas dan takut. Hingga akhirnya, terjadilah yang saya takutkan. Suatu malam, ketika kami sedang bersiap akan berangkat tidur, tiba-tiba Nirmala menjatuhkan diri, bersimpuh di hadapan saya, dan me­na­ngis di pangkuan saya sambil memeluk erat pinggang saya. Tentu saja saya jadi kaget, bingung, dan tak mengerti. Ada apa gerangan? Dan se­gala macam pikiran seram segera menyerbu benak saya. Membuat hati saya terasa amat kecil oleh rasa gentar.
Adalah besarnya rasa cinta saya kepada Nirmala yang akhirnya mampu menumpas semua kekacauan di benak dan hati saya itu. Dari sana lahir keikhlasan, kasih, dan ketulusan untuk berlapang dada menerima sega­la apa pun yang akan terjadi. Maka dengan kesejukan kasih-sayang, saya tenangkan kegundahannya, saya lipur kesedihannya, dan saya so­rongkan dengan rela diri saya untuk menjadi tempat limpahan pera­sa­annya, serta menjadi tempat bersandar terbaik baginya.
Setelah tangisnya agak mereda. Dengan wajah terlihat sangat sedih dan kecewa, Nirmala bilang, "Maafkan saya... maafkan saya... maafkan saya...." Lalu ia tersedu kembali. Saya hibur lagi dia, dan saya ka­ta­kan bahwa saya sudah memaafkannya, selalu bisa memaafkannya.
Akhirnya, setelah badai kesedihan beringsut dari hatinya, ia mengungkapkan pangkal penyebab tangisnya itu, "Tadi siang saya menerima kabar dari dokter ahli kandungan.... Ternyata saya...." Ia menangis lagi.
Dengan lembut saya elus-elus kepalanya, seraya terus membujuknya agar tenang, berlapang hati, dan ikhlas dalam menerima semua cobaan ini.
"Maafkan saya, Hes... maafkan saya...," rintih perempuan yang amat saya cintai itu dengan suara pilu. "Saya... saya nggak akan bisa... punya anak...." Tangis itu kembali memenggal perkataannya. "Saya nggak akan bisa ngasih kamu keturunan...."
Terasa ada tangan dingin yang menggenggam hati saya saat mendengar itu. Namun kedalaman sanubari saya segera bereaksi. "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun...," bisik saya, berserah diri kepada Tuhan. Dan tangan dingin itu perlahan mencair oleh kehangatan sentuhan keikh­las­an. Dengan lembut saya angkat Nirmala dari simpuhnya, dan saya dudukkan di sisi saya, lalu saya peluk dengan penuh kasih-sayang. Ia merangkul leher saya dan menyurukkan wajahnya ke leher saya. Tangis­nya tersisa dalam sedu-sedan kecil.
"Memangnya kalau kamu nggak bisa punya anak kenapa?" ujar saya, halus, seraya mengecup sisi kepalanya dengan lembut. "Saya menikahi kamu bukan dengan harapan agar kamu memberi saya keturunan, kok. Bu­kan, bukan itu, Nirmala. Saya menikahi kamu karena saya mencintai kamu. Karena saya nggak mau kehilangan kamu. Dan... rasanya sudah waktunya kamu tahu ini: Kamu adalah satu-satunya perempuan yang saya cintai di sepanjang hidup saya. Jadi, sebaiknya jangan rendahkan ni­lai diri kamu dengan hal-hal yang di luar kekuasaan kamu. Saya sudah sa­ngat bersyukur karena Allah mengabulkan harapan saya untuk memper­istri kamu. Jadi, kalau ternyata kamu punya sedikit kekurangan, itu bukanlah salah kamu. Itu hanya bagian dari hidup kita. Kita toh nggak bisa menuntut terlalu banyak dari Tuhan untuk kesempurnaan hi­dup kita. Memangnya kita ini siapa? Nah, ayolah tunjukkan senyum ka­mu yang cantik itu kepada suami tersayangmu ini. Ayo, dong, satu... dua... ti... nah, begitu, dong....! Pinter." Dan saya cium dia dengan cinta.
Bagi saya, yang telah menjalani hidup sebagai manusia tanpa orang­tua, rasanya tidak menjadi masalah jika kemudian harus menjalani hal yang senada lagi, menjadi orangtua tanpa anak. Memangnya kenapa? Apakah setiap orang harus punya anak sendiri? Harus punya anak kan­dung? Lantas, jika semua orang berpegang pada prinsip itu, bagaimana dengan nasib anak-anak yang terlantar? Siapa yang akan menampung anak-anak yatim dan piatu itu? Apakah mereka akan dibiarkan dan di­anggap sebagai makhluk-makhluk yang sial? Alangkah tidak adilnya.
Setelah mendapat penjelasan bahwa saya tidak fanatik dalam urusan anak, dan Nirmala bisa memahami maksud saya itu, dia kemudian ber­usa­ha menjelaskan ihwal kemandulannya kepada saya. Dia seperti seo­rang ahli kandungan saja ketika menjelaskan proses reproduksi manu­sia – lengkap dengan nama-nama organ reproduksinya – itu. Dan sete­lah dia pikir saya mengerti maksudnya, ia menjelaskan di mana masa­lah yang terjadi pada organ reproduksinya. Lalu sebagai penutup, sambil menyurukkan wajahnya ke leher saya, ia menyampaikan vonis ba­gi dirinya: Bahwa kelainan pada organ reproduksinya itu tidak bisa diperbaiki. Artinya, ia mandul total.
"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Segala yang berasal dari Allah akan kembali kepada-Nya juga. Jadi, jangan dihalangi dengan ketidak-ikhlasan. Hanya akan menyakiti diri kita sendiri. Sebab kehendak Allah itu pasti dan tidak ada yang dapat merintangi terjadinya," ujar saya, mengingatkan. "Lagipula, kalau dipikir-pikir, ya syukurlah kalau benar begitu kejadiannya," saya terpikir sesuatu. "Jadi, saya nggak perlu keluar biaya buat beli barang-barang kontrasepsi. Dan yang terutama, karena kamu nggak akan pernah melahirkan, maka saya nggak usah nga­sih kamu anggaran buat beli jamu sari rapet."
***
Dua minggu setelah Nirmala mengabarkan 'musibah' rumah tangga kami itu, Bapak dan Ibu Baskoro tiba-tiba memerintahkan saya untuk mengi­kuti pelatihan di Jepang, yaitu dengan ikut bekerja sebagai pendam­ping manajer pemasaran di kantor pusat perusahaan Jepang, yang be­ker­jasama dengan salah satu anak perusahaan milik Keluarga Baskoro yang pertumbuhannya dinilai masih lamban. Minimal untuk tiga bulan. Tentu saja saya jadi heran dan tak mengerti dengan maksud rencana mendadak itu. Soalnya, itu bukan kebiasaan Bapak ataupun Ibu Baskoro yang selalu ketat dalam hal pen­jadualan. Tapi sebagai bawahan, sudah pasti saya harus patuh pada pe­rintah atasan. Maka saya terima tugas itu. Dan saya bersedia berangkat lusa.
Namun ketika saya menyampaikan hal itu pada Nirmala, bagaimana re­aksinya? Dia terhenyak. "Aduh, celaka...!" Dan itu membuat semangat saya langsung terbang. Tapi saya berupaya keras untuk memahami alasan­nya. Ia memang harus membantu mengurus perusahaan orangtuanya, di bidang tekstil dan batik, yang akhir-akhir ini memang sedang maju pesat. Apa boleh buat?
Jadi, akhirnya saya harus berangkat ke Jepang sendirian. Dan ini merupakan kali pertama saya berada berjauhan untuk waktu yang luma­yan lama dengan Nirmala. Minimal sampai Nirmala punya keluangan wak­tu buat menyusul saya ke sana. Tapi kapan? Berapa lama? Saya pasrah.
Akan tetapi, itu bukan berarti bahwa persoalan telah selesai. Be­lum. Sebab ternyata masih ada persoalan lain yang harus saya hadapi. Dan saya tidak tahu persis, semua ini karena kenaifan saya atau karena kengawuran Bapak dan Ibu Baskoro serta Nirmala sendiri. Se­waktu masih di Jakarta, di hadapan Nirmala, mertua saya, serta Pak Baskoro, Ibu Baskoro bilang, "Kamu ndak usah kuatir. Di Jepang ada keluarga kita yang akan menampung dan menjadi pemandu kamu selama di sana. Dan saya sudah meminta dia supaya menjemput kamu di Narita."
Dengan tanpa prasangka, saya oke saja. Malah, saya agak merasa lega. Karena itu berarti akan mempermudah urusan-urusan saya selama di sana. Soalnya setahu saya, memang ada beberapa orang dari Keluarga Besar Baskoro yang sedang sekolah di Jepang. Bahkan adik bungsu Pak Baskoro, yang beristrikan orang Jepang, menetap di Jepang jadi mubalig. Namun ketika saya mendarat di Narita, saya kaget setengah mati. Bagaimana tidak? Ternyata 'keluarga kita' yang dimaksud oleh Ibu Baskoro itu adalah Larasati Suryo Baskoro! Anak sulung Bapak dan Ibu Baskoro. Nah, matilah saya! Dan... inna lillahi wa inna ilaihi rojiun... saya harus tinggal bersama dia selama di sini? Gila!
Sepanjang perjalanan menuju apartemen Laras, saya berusaha menghubungi Nirmala, tapi tak diangkat. Saya SMS, saya hubungi dengan BBM, WA, Line, Messenger, juga tak ada respons. Demikian juga dengan Bapak dan Ibu Baskoro. Bahkan mertua saya pun tidak bisa dihubungi. Tak ada yang merespons! Aduh, ada apa sih ini? Apa telepon seluler saya yang bermasalah? Tapi waktu saya telepon Pak Ma'ruf, bisa tersambung. Apa-apaan sih ini? Akhirnya, saya dapat akal, setelah mengabarkan bahwa saya sudah sampai di Jepang dengan selamat, saya minta tolong beliau untuk menghubungi Nirmala dan meminta agar istri saya itu segera menelepon saya. Pak Ma'ruf menyanggupi. Alhamdulillah, saya jadi sedikit lega.
Namun, saya tunggu-tunggu hasil permintaan tolong saya kepada Pak Ma'ruf itu, sampai akhirnya kami tiba di apartemen Laras, belum juga menunjukkan hasil. Nirmala belum juga menghubungi saya, dan tetap tak bisa saya hubungi. Aduh, ada apa ini? Saya jadi mulai panik. Saya berusaha menghubungi mereka ke kantor masing-masing, tapi resepsionis kantor mereka bilang mereka lagi pada keluar kantor. Ya Allah, ada apa ini sebenarnya?
Laras yang berusaha membantu saya menghubungi mereka, sambil terus berupaya menenangkan saya, akhirnya juga jadi ikut bingung. Hingga akhirnya, ketika kami telah sama putus asa, kami lantas 'ribut' mengenai keengganan saya untuk tinggal bersamanya.
"Memangnya kenapa sih, Mas?" tanya Laras, tak paham dengan sikap saya. Entah memang tak paham, atau tak mau paham, saya tak begitu jelas.
"Lho, kamu ini gimana sih, Ras?" ujar saya, mencoba sabar memberi penjelasan. "Kamu ini 'kan perempuan, sudah besar dan sudah bisa di­anggap pantas untuk dikawinkan. Sementara saya ini 'kan laki-laki, sudah dewasa, sudah berkeluarga dan lagi jauh dari istri. Apa itu nggak berarti apa-apa buat kamu?"
"Maksud Mas Hesa... dikuatirkan bisa terjadi hal-hal yang...."
"Nah, itu yang saya maksud!" sambar saya, cepat.
Laras mengangguk-angguk. "Tapi kita 'kan kakak-adik, Mas!" ujarnya kemudian, polos. "Masak iya sih kita mau berbuat hal-hal yang ngaco kayak begitu?"
Itu membuat saya tertegun. Bengong. Saya bisa bilang apa lagi coba? Se­bab faktanya, kami ini memang kakak-adik – meski cuma dengan status saudara angkat. Dan karena itu, maka kami harus bisa hidup seba­gai­mana mestinya dua orang saudara. Rukun, saling menyayangi, dan seba­gai­nya. Tapi masalahnya, dia itu perempuan yang lagi beranjak dewasa – dan bohong kalau saya bilang dia bukan gadis yang cantik dan sek­si. Di lain pihak, saya ini laki-laki dewasa yang lagi jauh dari is­tri – lagi kehilangan kehangatan istri. Dan kami tinggal di bawah sa­tu atap. Hanya berdua! Nah, bagaimana kalau ada setan yang iseng dan mampir? Tak peduli siapa yang lebih dulu memulai! Apa tidak jadi kacau nantinya? Dan itu yang amat saya takutkan!
Maka, ketika akhirnya Nirmala menghubungi saya dengan meminta-minta maaf karena seharian rapat marathon bersama Bapak dan Ibu Baskoro serta kedua orangtuanya, di luar kantor, dengan pihak yang akan bekerjasama dengan perusahaan batiknya, saya jelaskan soal keengganan saya tinggal seapartemen dengan Laras itu kepadanya. Dan tak lupa memintanya untuk membujuk om dan tantenya agar mengizinkan saya tinggal di tempat lain. Tapi apa jawaban yang saya peroleh darinya? "Waduh, gi­mana, ya... soalnya dari awal saya udah setuju sih kamu tinggal sama Laras. Jadi, kalau saya menyampaikan permintaan kamu ini ke mere­ka, saya kuatir mereka jadi berpikir bahwa kamu bukan tipe suami yang bisa dipercaya. Habis, belum apa-apa udah punya pikiran yang nggak-nggak kayak begitu. Sebaliknya, kalau mereka mengira ini ide saya, saya kuatir mereka akan menyangka saya nggak percaya sama suami dan Laras. Aduh... jadi, gimana, dong?" Ya, bagaimana? Soal­nya dia ada benarnya juga! Ya Allah, bisa celaka ini saya...!
"Tapi kalau sampai terjadi hal-hal yang...." Saya tak sampai hati untuk mengatakannya. Dan dalam hati saya berdoa: Semoga tidak pernah terjadi. Tolong saya, ya Allah...!
"Yaa... kalau memang akhirnya sampai terjadi, ya apa boleh buat? Mungkin kamu harus mengawini Laras. Apa lagi kalau dia sampai ha­mil." Untuk sekian jenak, Nirmala berdiam diri. Lalu: "Tapi... kebetulan juga, ‘kan? Kamu jadi punya istri dua dan kita jadi bisa punya anak. Iya, nggak?" Dan ia tertawa. Tapi saya dengar, itu seperti bukan tawanya.
"Hush, jangan ngaco kamu!" omel saya. Tapi Nirmala terus saja ter­tawa-tawa.
Ini memang benar-benar masalah gila. Tapi saya tidak punya pilih­an. Dan selain itu, saya juga tak mau dianggap sebagai orang yang punya kecenderungan kurang baik. Maka akhirnya kepada Tuhanlah saya menyerahkan diri dan memohon – dengan sangat-sangat-sangat – perto­longan-Nya. Peliharakan saya dari perbuatan maksiat. Peliharakan sa­ya dari perbuatan dosa. Peliharakan saya dari perzinahan, ya Robb. Cuma Engkau yang bisa menolong saya.
Di sepanjang minggu pertama, Laras jadi amat sibuk dengan aktivi­tas kuliahnya dan saya. Kuliahnya yang sudah pada tahap akhir, tentu membuatnya jadi banyak mendapat tugas-tugas. Dan itu harus ditambah dengan tugas 'mengasuh kakaknya ini', agar bisa lekas beradaptasi de­ngan lingkungan dan cara hidup di Negeri Sakura ini. Yang paling utama ialah, bagaimana cara pergi dan pulang kantor. Dan yang tak kalah penting, bagaimana cara menghindarkan diri dari makanan yang mengandung unsur-unsur haram. Ini yang menyebabkan tuan-tuan di kan­tor pusat mengira saya seorang vegetarian. Soalnya setiap kali di­a­jak ke restoran, yang saya pilih selalu menu-menu dari kelompok vegetarian.
Kalau di rumah, maksud saya di apartemen Laras, makanan kami nya­ris normal - karena selalu ada nasi, meski lauk-pauknya melulu dari jenis ikan dan sayuran. Laras yang memasak. Dan harus saya akui bahwa masakannya hampir setara dengan Nirmala. Tapi itu tidak meng­he­rankan saya, mengingat gadis ini adalah adik asuh Nirmala sejak bayi hingga tamat SMA. Sehingga saya bahkan tidak pula heran dengan kemiripan tingkah-laku dan sifat-sifat mereka berdua. Namun begitu, saya bisa menemukan beberapa perbedaan penting dalam tabiat mereka. Nirmala lebih galak tapi lebih rendah hati dan tertutup. Sedangkan Laras, barangkali karena masih muda – lebih manja, terbuka tapi agak angkuh.
Itu sebabnya tiap berada dekat Laras, saya senantiasa diayun oleh perasaan kontradiktif. Di satu pihak saya senang berada di sisinya, karena selalu mengingatkan saya pada Nirmala. Namun di pihak lain, saya takut dekat-dekat dengannya karena kemiripan tingkah-lakunya de­ngan Nirmala. Kalau saya 'keseleo otak' dan menanggapinya sebagai Nirmala bagaimana? Soalnya saya lagi jauh dari Nirmala, nih. Dan kebu­tuhan saya akan dirinya betul-betul tak bisa tersalurkan.
Kesadaran itulah yang membuat saya berusaha menjaga jarak dari Laras jika di rumah. Dan kelihatannya, Laras bisa memahami hal itu. Cuma, kadang-kadang, kalau sifat manjanya keluar, ia bisa jadi 'benar-benar keterlaluan'. Ia bisa dengan enaknya: memeluk, menciumi pipi, menyandarkan diri, berbaring di pangkuan, bahkan menerkam hing­ga saya jatuh telentang dengan dirinya di atas saya, seolah-olah saya ini pacar atau suaminya. Gila!
Namun sampai sejauh ini – syukurlah Tuhan masih memelihara iman saya – saya masih bisa mengendalikan diri. Dan saya selalu menyampaikan segala yang terjadi antara saya dan Laras itu kepada Nirmala, baik lewat sms, media chatting, maupun pembicaraan melalui video atau pun voice chat, tapi apa jawab­an­nya? Dengan enteng dia bilang, "Syukurlah kalau begitu. Jadi, kamu nggak terlalu kangen lagi sama saya, ‘kan?" Apa dia sudah gila? Tentu saja saya jadi marah-marah dan mengancam akan pulang kalau dia tidak segera menyusul. Tapi, ya itulah masalahnya, Nirmala selalu punya se­ri­bu satu cara untuk membujuk-rayu saya agar 'patuh dan mengikuti' semua keinginannya. Akhirnya, ya terus saja saya yang jadi gila sen­dirian. Nasib...!
***
Memasuki bulan keempat, saya merasa bahwa dunia akan segera me­le­dak, atau setidaknya kepala sayalah yang meledak. Dan agar malape­ta­ka itu tak benar-benar terjadi, maka saya putuskan untuk menerima ajak­an Katagiri, manajer pemasaran, yang selama ini selalu saya to­lak dengan halus, untuk menikmati kehidupan malam Tokyo. Namun sebelum menyatakan menerima ajakannya, saya bi­lang padanya: "Tapi saya cuma bisa sampai pukul sepuluh, Katagiri-san. Bagaimana?" Soalnya saya tahu, dia sering pulang lewat tengah malam.
"Pukul sepuluh?" Katagiri seperti keheranan. "Itu masih sore, Mahesa-san. Buat apa pulang sore-sore begitu? Apa istri you galak?"
"Ah, tidak," geleng saya bersama senyum. "Istri saya di Jakarta. Sa­ya harus pulang karena masih ada keperluan lain yang sangat pen­ting," dalih saya.
"Aah, begitu...." Katagiri mengangguk-angguk. "Okelah, yang penting you bisa ikut. Siapa tahu you nanti berubah pikiran." Ia membawa sa­ya ke klub karaoke langganannya – sebuah tempat hiburan yang sempit tapi luar biasa, karena penataan ruangannya sangat efisien - dan kami ber­santai di sana. Selain menyanyi dan softdrink, hampir semua ta­war­annya saya tolak. Gadis pendamping? Tidak. Alkohol? Tidak. Snack? Sa­ya tanya dulu, berupa apa? Kacang? Oke.
Meski hanya dua jam – ini karena tradisi pulang kantor Katagiri ada­lah paling cepat pukul delapan malam, alhamdulillah, saya agak ter­hibur juga. Khususnya karena menonton bagaimana lucunya Katagiri se­te­lah mulai mabuk. Juga karena suara Katagiri yang tak jelas nadanya saat menyanyi. Tapi terutama, karena saya ge-er oleh sambutan Kata­gi­ri dan gadis pendampingnya yang selalu bertepuk tangan riuh kalau sa­ya menyanyi. Dan sungguh, pada saat itu saya merasa sangat bersyu­kur karena sering – dipaksa – dilatih Nirmala di rumah, dan Laras di sini – soalnya mereka memang sama-sama keranjingan dengan kara­oke, sehingga penampilan saya tidak mempermalukan martabat bangsa.
Namun, seperti yang telah saya tetapkan sebelumnya, saya harus pu­lang pukul sepuluh malam. Tak ada kompromi. Soalnya saya belum sholat Isya. Dan selain itu, saya juga perlu tidur beberapa jam sebelum bangun untuk sholat Tahajud di tengah malam nanti. Maka, dengan meminta ma­af kepada Katagiri serta gadis pendampingnya, saya memohon diri. Ka­ta­giri, sambil oleng kian ke mari karena mabuk, mengantar saya kelu­ar hingga saya mendapat taksi. Ia yang memberi panduan kepada sopir taksi, perihal tujuan saya. Dia memang orang yang baik.
Suatu malam, ketika saya tiba di apartemen, saya dikejutkan oleh perempuan yang saya dapati tidur di kamar saya. Awalnya, saya kira itu adalah Laras. Tapi ke­mu­dian saya merasa ada yang ganjil. Perempuan itu berambut panjang. Pa­dahal rambut Laras pendek. Saya kembali ke ruang tengah, dan ber­si­la di atas tatami. Benak saya penuh oleh dugaan-dugaan. Siapa pe­rem­puan itu? Tiba-tiba terdengar suara pintu-geser dari sisi kanan saya. Itu pintu kamar saya! Dan jantung saya seketika gemetar. Otak saya membeku. Hanya jantung saya yang ribut dalam menunggu apa yang akan terjadi sebentar lagi.
Saya mendengar langkah-langkah halus di belakang saya. Dan saya kenal de­ngan suara itu! Saya mencium aroma parfum lembut menyebar di uda­ra. Dan saya juga kenal aroma itu! Saya merasakan dan mendengar gerakan orang duduk di belakang saya, lalu tangan itu merengkuh saya dari bela­kang, wajahnya disandarkan ke punggung saya, dan lantas suaranya terdengar melantun lembut, "Kamu baru pulang?" Oh Tuhan, saya ke­nal suara itu! Nirmala!
Dengan cepat saya geser posisi duduk dan saya putar tubuh, meng­ha­dap padanya. Dan saya terpana. "Astaghfirullah... Mala!" pekik saya. Ia tersenyum dan merengkuh saya. "Ya Allah, Mala!" Saya dekap ia erat-erat. "Ya Allah, saya kira siapa. Kapan kamu datang? Sama sia­pa? Laras ke mana?"
Namun jawaban dari Nirmala adalah suara isak tangis dan ungkapan di antara sedunya, "Saya kangen, Hes...! Saya kangen...!"
Ya Allah, betapa amat rindunya saya pada suara tangisnya yang ha­lus itu, pada ungkapan kasih-sayangnya yang lembut itu. Dengan penuh kerinduan dan luapan rasa cinta, saya ciumi wajahnya yang basah oleh airmata. "Saya juga kangen sama kamu," kata saya. "Saya kangeeen banget. Saya sudah hampir gila karena kangen sama kamu."
Bodohnya saya. Tentu saja itu membuatnya jadi tambah menangis. "Maafin saya, Hes... maafin saya...." ucapnya di sela tangis.
Dengan penuh kasih sayang saya tenteramkan hatinya. "Tentu saya maafin kamu. Lagipula... kapan sih kamu pernah bikin salah sama sa­ya? Sudahlah... saya sebetulnya suka ngeliat kamu nangis kayak begi­ni. Tapi kamu juga bikin saya jadi ikut sedih. Nah, sekarang gembi­ra­kan saya dengan senyum kamu yang cantik itu. Ayo, dong... saya udah kangen banget pengen liat senyum cantik kamu itu, lho. Ayooo...."
Setelah suasana normal kembali; saya sudah mandi air hangat, ganti pakaian dan sholat Isya; saya nikmati wedang jahe dan makanan kecil yang dihidangkan Nirmala sambil berbincang mengenai segala macam. Dan dari Nirmala saya tahu bahwa tadi sore Laras pergi berakhir pe­kan dengan Kimiko, teman kuliahnya. Itu menjawab teka-teki dalam ke­pa­la saya perihal: Mengapa minggu ini Laras tidak membicarakan ren­cana akhir pekan kami? Apa itu berarti ia tahu bahwa Nirmala akan da­tang? Bisa jadi. Tapi saya tak mau memperpanjang hal itu. Soalnya, sekarang Nirmala sudah ada di sisi saya. Jadi, kalau dunia mau kia­mat - ya kiamatlah! Tak ada masalah.
Dengan adanya Nirmala di sisi saya, rasanya Jepang - khususnya To­kyo - jadi lebih menarik untuk diperhatikan dan lebih indah. Tapi sa­ya jadi capek. Soalnya sepanjang akhir pekan, sejak pagi hingga pe­tang, ia mengajak saya menjelajah pusat-pusat perbelanjaan: Ginza, Akihabara, Shinjuku, dan entah daerah apa lagi. Dia tahu semua tem­pat itu seperti di kampungnya sendiri. Gila! Praktis saat untuk kami beristirahat ialah apabila kami makan, atau sekadar mengistirahatkan ka­ki sambil minum minuman ringan, dan juga saat sholat – yang kami la­kukan di tempat-tempat umum dan terbuka, sehingga kami agak menja­di tontonan orang.
Pada Sabtu dan Minggu itu, ia hanya belanja khusus untuk saya, un­tuk oleh-oleh buat Bapak dan Ibu Ma'ruf serta semua penghuni panti asuh­annya, dan sambil mencatati barang-barang pesanan 'rakyatnya' di Jakarta beserta harganya. Yang membuat saya tercengang ialah banyak­nya jumlah barang pesanan tersebut. Gila! Di rumah, maksud saya di apar­temen Laras, ia kemudian menulis semua hasil surveinya itu di laptop Laras dan mengirimkannya kepada para pemesan, baik lewat inbox di jejaring sosial maupun e-mail.
Minggu petang, ketika kami pulang dari penjelajahan, Laras telah menanti kami di rumah. Maka, setelah Nirmala usai mandi dan berganti pa­kaian, keajaiban dunia pun segera tercipta. Hanya dengan mereka ber­dua, saya merasa bahwa dunia telah menjadi begitu ramai dan seru. Sam­bil menyaksikan dan mendengarkan mereka, saya berbaring dekat Nir­mala, di atas tatami. Dan entah karena sangat capek, atau karena ha­ti saya merasa tenteram, saya merasa terlena sesaat. Tapi saat sa­ya terjaga, saya dapati Nirmala tidur sambil memeluk saya. Dan saat saya tinjau arloji, ternyata sudah hampir pukul 2. De­ngan halus saya sentuh pipi Nirmala - itu cara saya membangunkan dia. Nirmala segera membuka mata dan memandang saya dengan mata mengantuknya.
"Mau ikut sholat Tahajud?" tanya saya.
"He-hm," gumamnya, bersama anggukan pelan.
Kami bangun. Dan baru pada saat itulah saya mengetahui bahwa Laras juga tidur di situ, di tempat tadi dia duduk. Saya geleng-geleng ke­pala. Pasti mereka mengobrol sampai jauh malam, pikir saya, seraya bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Ketika saya memasuki kamar man­di, saya mendengar Nirmala membangunkan Laras, tapi saya tak be­gi­tu jelas apa yang dikatakannya. Saat akan sholat, barulah saya ta­hu apa maksud Nirmala membangunkan Laras; ternyata untuk mengajak sholat Tahajud bersama. Alhamdulillah, saya bersyukur di dalam hati.
Namun yang tidak saya duga adalah tujuan Nirmala di balik itu. "Beginilah suasana rumah tangga kita kalau kamu menikahi kami ber­dua. Bagaimana? Kamu suka?"
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.