(Sambungan dari bagian 4)
Paginya, begitu tiba di kantor, sekretaris direksi memberitahu bahwa saya
ditunggu oleh Tuan Yamada, presiden direktur perusahaan ini. Maka setelah
menaruh tas kantor, saya segera mendatangi ruangan Tuan Yamada. Saya pikir ada
sesuatu yang penting, ternyata dia hanya memberi tahu bahwa masa pelatihan saya
berakhir minggu ini. Tapi Jakarta memberi saya cuti ekstra satu minggu untuk
menikmati liburan di Jepang. Dan itu membuat saya mafhum mengapa Nirmala
tiba-tiba muncul. Rupanya saya memang sudah hampir pulang.
Sejak Nirmala datang, saya benar-benar seperti lelaki dengan dua istri. Karena dia dengan pintarnya telah mengatur segala sesuatu, sehingga setiap keperluan saya dilayani oleh mereka secara bergantian. Makan, minum, pakaian, pijat, dan lain-lain. Wah, saya jadi seperti raja! Untungnya tidur Laras masih tetap terpisah dari kami. Kalau tidak, pasti Nirmala sudah benar-benar jadi gila. Tapi itu bukan berarti tak pernah terjadi.
Sejak Nirmala datang, saya benar-benar seperti lelaki dengan dua istri. Karena dia dengan pintarnya telah mengatur segala sesuatu, sehingga setiap keperluan saya dilayani oleh mereka secara bergantian. Makan, minum, pakaian, pijat, dan lain-lain. Wah, saya jadi seperti raja! Untungnya tidur Laras masih tetap terpisah dari kami. Kalau tidak, pasti Nirmala sudah benar-benar jadi gila. Tapi itu bukan berarti tak pernah terjadi.
Pekan terakhir saya di Jepang saya rencanakan untuk pergi melihat-lihat
suasana pedesaan. Dan ternyata 'kedua istri' saya setuju sekali. Mereka
sangat gembira dengan ide saya itu, dan lantas berfantasi tentang sebuah
petualangan yang indah bagi kami. Maka mereka segera berembuk tentang banyak
hal. Tapi terutama mengenai alat transportasi serta masalah makanan. Akhirnya
diputuskan, Laras akan menyewa sebuah mobil keluarga dan membawa peralatan
masak serta bumbu-bumbu yang dibutuhkan. Dan, itulah 'kedua istri' saya. Dengan
akal mereka yang memang luar biasa, akhirnya semua kendala dapat kami singkirkan.
Sehingga kami bisa bertualang seperti yang mereka bayangkan.
Secara keseluruhan, sebenarnya perjalanan itu amat menyenangkan. Semua
yang saya harapkan bisa saya lihat di Negeri Matahari Terbit ini, dapat
terlaksana. Suasana pedesaan yang damai dan teratur, alam yang indah dan
terjaga asri, kehidupan yang terasa benar-benar mengalir tenang, dan
sebagainya-sebagainya. Semuanya menarik. Asyik. Cuma satu yang tak saya sukai,
yaitu setiap kali kami masuk ke penginapan. Karena – dengan alasan keuangan –
kami harus selalu tinggal bersama di dalam satu kamar. Sehingga saya jadi
jungkir-balik sendirian karena menanggungkan 'keperluan' dengan istri. Gila
betul.
Saya sempat protes mengenai itu pada Nirmala, tapi apa jawabannya?
"Makanya... nikahin dong si Laras. Supaya kalau kamu kebelet kayak gitu,
kamu nggak jadi senewen sendirian. ‘Kan bisa dilayanin sama salah satu dari
kami." Apa dia sudah sinting? Atau saya yang bebal?
Setelah di Jakarta, segalanya menjadi agak mulai jelas. Rupanya Nirmala
memang benar-benar ingin agar saya menikahi Laras sebagai istri kedua.
Alasannya ialah masalah keturunan. Tapi alasan itu saya patahkan dengan
mengatakan:
"Anak atau keturunan bukan hal penting buat saya. Itu harus kamu
ingat, Mala. Buat saya yang paling utama adalah orang yang saya cintai: Kamu.
Cuma itu yang saya inginkan di sepanjang hidup saya. Dan kamu jangan pernah
lupakan ini: Saya pernah menjadi manusia tanpa punya orangtua, jadi, bukan
masalah kalau saya kemudian menjadi orangtua tanpa anak. Itu sudah saya anggap
sama saja."
"Tapi bagaimana kalau saya mati? Siapa yang akan mengurus kamu?"
cetus Nirmala akhirnya. Kelihatannya karena putus asa. Dan itu sangat
mengagetkan saya.
"Mati? Apa maksud kamu?"
"Ya mati!" tandas Nirmala. "Kamu tahu? Sejak saya mencintai
kamu, saya jadi selalu merasa takut akan mati. Saya takut mati! Soalnya kalau
saya mati, siapa yang akan mengurus kamu? Siapa yang akan mencintai kamu
seperti saya? Siapa yang akan mengurus, meladeni, melayani kamu seperti yang
saya lakukan selama ini? Siapa? Kamu pikir perempuan mana yang bisa saya
percaya untuk melakukan itu? Kamu pikir, siapa yang bisa saya percayai?"
"Tapi kamu juga jangan lupa, Mala. Sebelum kamu datang ke dalam hidup
saya, Allah yang melakukan itu buat saya. Jadi, kenapa sekarang nggak kamu
percayakan lagi saja suamimu ini sama Dia?"
"Tapi saya nggak mau kamu hidup sendirian lagi!" Dan ia mulai
menangis. "Kamu nggak boleh hidup sendirian lagi. Sudah cukup apa yang
sudah kamu alami dengan kesendirian itu. Dan saya tahu bagaimana rasanya kesendirian
itu. Saya akan sangat sedih kalau harus meninggalkan orang yang saya cintai ke
dalam kesendirian hidup seperti itu. Saya akan sangat sedih, Hes...."
Terus-terang, semakin lama saya makin tak bisa memahami jalan pikiran
Nirmala. Dia jadi semakin misterius dan rumit. Sementara itu saya perhatikan,
masalah hidupnya jadi makin bertambah. Dia terlihat makin tertekan dan
menderita. Tak jelas oleh apa. Dia bilang bukan karena saya. Dan saya percaya
itu. Namun saya lihat kondisinya kian parah. Badannya terus menyusut, sehingga
ia terlihat kuyu, lemah, dan rambutnya mulai rontok – sampai akhirnya ia harus
mengenakan wig karena rambutnya nyaris habis. Setiap kali saya suruh ke
dokter, dia bilang sudah, dan katanya ini semua karena stres. Tapi kondisinya
terus juga memburuk.
Akhirnya saya juga jadi ikut stres. Karena saya tak bisa berbuat apa-apa
untuk membantunya. Bahkan untuk bisa sering mendampinginya saja saya hampir
tidak punya waktu, kecuali malam. Tentu saja saya jadi merasa makin tidak keruan
karenanya. Saya jadi serba salah. Kalau saya bolos kerja untuk menemani dia di
rumah, malah dimarahi dan dipaksa-paksa supaya pergi kerja. Bapak dan Ibu
Baskoro juga selalu ribut mencari saya, kalau saya terlambat sampai kantor. Apa
lagi kalau bolos? Namun di kantor, saya juga tidak bisa bekerja dengan tenang,
karena pikiran saya selalu tertuju kepada Nirmala, sehingga pekerjaan saya
jadi tak beres dan makin menumpuk.
Untungnya program pendidikan Laras sesuai dengan yang direncanakan, sehingga ia
bisa lekas kembali ke tanah air untuk membantu saya yang lagi 'mati angin'.
Nyaris semua pekerjaan saya diambil-alih olehnya. Dan kelihatannya dia
berhasil. Tapi saya tidak peduli. Saya hanya peduli pada keadaan Nirmala. Saya
sangat kuatir pada kondisi perempuan yang amat saya cintai itu, sehingga
semua orang pun kemudian meributkan kondisi saya yang juga mulai terpuruk.
Pada saat yang tak menentu itu, cuma Tuhanlah sandaran saya. Karena selama
ini memang hanya Dia yang selalu menolong saya. Maka kepada-Nya saya
merendahkan diri dan memohon pertolongan, dengan bersujud dan menangis pada
siang dan malam. "Ya Allah, kasihanilah istri saya. Tolonglah dia.
Sesungguhnya dia adalah istri yang baik bagi saya. Ia adalah sebaik-baik
perempuan yang pernah datang ke dalam hidup saya. Ia adalah sebaik-baik tempat
berkasih-sayang yang telah Engkau berikan kepada saya. Maka sayangilah dia
seperti saya menyayanginya. Gembirakanlah dia dengan apa-apa yang telah pernah
Engkau berikan kepadanya. Dan sehatkanlah dia. Mudah-mudahan dia akan bersyukur
kepada-Mu."
Waktu terus berlalu. Namun saya tak ingin menyerah. Saya terus melolong-lolong
kepada Tuhan, memohon belas kasihan. Hingga akhirnya saya melihat pertolongan
itu datang, sedikit demi sedikit. Nirmala terlihat mulai punya darah lagi. Ia
sudah mulai menghabiskan makanan yang tak saya habiskan, sambil menguliahi saya
soal rezeki – seperti dulu. Lalu ia mulai ke dapur lagi, mulai membuat
makanan-makanan enak lagi, mulai memaksa saya untuk makan banyak lagi, dan
mulai marah kalau saya tidak membangunkannya untuk sholat Tahajud.
Lantas keadaan seperti sediakala. Nirmala kembali sibuk mengurus saya,
membuat berbagai masakan lezat, dan membuat desain-desain tekstil serta batik
untuk perusahaan orangtuanya. Sedang saya, setelah prahara berakhir, segera
mengejar ketinggalan saya di kantor. Dan saya kaget ketika mengetahui bahwa
Laras ternyata lebih jenius dari ibunya dalam strategi pemasaran. Tapi tentu
saja saya tak mau kalah. Maka saya eksplorasi habis kemampuan saya. Dan
untungnya, saya lebih mengenal kultur bangsa Indonesia dibanding dia. Itu
karena dia dididik di Jepang, sedang saya di Indonesia.
Kelakuan Laras masih seperti tatkala di Jepang, khususnya saat bertandang
ke rumah saya – yang juga rumah mertua saya, karena saya dipaksa pindah ke
sana, sehingga rumah hasil kredit terlalu lunak dari Pak Baskoro terpaksa saya
jual, dan uangnya saya berikan pada Pak Ma'ruf untuk merenovasi panti asuhan.
Kalau datang, biasanya pada malam-malam akhir pekan, ia selalu bikin saya
kikuk sama mertua. Soalnya, biar di depan mata mereka, kalau dia mau peluk saya
– ya dia peluk saja! Gila betul dia itu!
Manakala kehidupan sudah terasa benar-benar normal kembali, tiba-tiba Bapak
dan Ibu Baskoro 'berubah pikiran'. Penyebabnya, karena mereka anggap Laras bisa diandalkan untuk menempati posisi saya, sehingga saya akan diuji untuk
ditempatkan di bagian manajemen. Artinya, saya diposisikan sebagai asisten –
tapi belum sampai tingkat wakil – Pak Baskoro sebagai Presiden Direktur. Dan
itu berarti, saya harus banting tulang lagi untuk belajar dari nol.
Pak Baskoro dan Romo – ayah mertua saya – adalah guru yang mendidik saya
sejak pagi hingga malam. Di kantor, seharian Pak Baskoro menjejali saya dengan
buku-buku ilmu manajemen. Kalau ada waktu luang, ia memberi
pengarahan-pengarahan langsung kepada saya. Dan di rumah, ganti Romo yang
membina saya sampai hampir waktu tidur saya, sehingga Nirmala protes karena
tak mendapat jatah perhatian yang cukup dari saya. Itu sebabnya, kemudian Romo
mengurangi jam pembinaannya kepada saya. Tapi tetap saja Nirmala masih
mengomel. Soalnya saya jadi kurang waktu buat menemaninya berkaraoke.
Memasuki bulan keenam masa pembinaan, Bapak dan Ibu Baskoro memanggil
saya dan meminta saya mempersiapkan diri untuk ke Jepang lagi. Kali ini guna
mengikuti pelatihan dalam bidang manajemen. Di Negeri Sakura itu, saya akan
dibina oleh Tuan Yamada sendiri. Dan itu membuat saya jadi agak gamang,
mengingat sikap keras dan pancaran kharismanya yang amat kuat sebagai
pimpinan. Tapi seperti biasanya, saya bisa berbuat apa selain menerima saja?
Ketika menyampaikan kabar itu pada Nirmala, saya mengatakan: "Saya
jadi pingin tahu, kali ini kamu akan menyuruh saya menikahi siapa?"
Sambil menyurukkan wajahnya ke leher saya, Nirmala menjawab kalem.
"Saya nggak akan pernah menyuruh kamu menikahi siapa pun kecuali Laras."
"O, begitu? Kenapa?" Saya mencoba cari tahu lebih banyak.
"Soalnya...," Nirmala mengelus-elus dada saya dengan telapak tangannya,
"cuma dia yang akan bisa mengurus kamu seperti saya. Dan yang paling
penting, seperti juga saya, dia sangat mencintai kamu...."
***
Pelatihan saya kali ini ternyata tidak seperti yang sebelumnya. Sehingga
semua dugaan jelek saya jadi mentah. Karena kali ini saya akan tinggal
sendirian di sebuah flat. Dan yang paling penting ialah, janji Nirmala bahwa
ia akan datang setiap akhir pekan. Bahkan ia ikut berangkat ke Jepang dan
membenahi komposisi ruang flat saya, sehingga mirip dengan suasana kamar kami
di Jakarta – supaya kamu betah, katanya, serta membuat racikan bumbu-bumbu
untuk digoreng atau direbus – yang bisa bertahan seminggu dalam lemari es. Ia
juga mengajari saya cara menanak nasi serta membuat olahan lauk-pauk dengan
bumbu-bumbu racikannya itu. Namun begitu, ia juga membuat cara-cara tersebut
dalam bentuk tulisan. "Buat jaga-jaga kalau kamu lupa," katanya,
sambil memandang saya dengan tatapan penuh kasih-sayang. "Asal satu hal
kamu jangan sampai lupa: Kamu punya istri yang amat-sangat mencintai kamu dan
selalu memikirkan serta menguatirkan kamu. Setiap waktu."
"Begitu? Lantas, kapan kamu mengingat Tuhan?"
"Setiap saat. Justru... Dialah yang membuat saya jadi selalu memikirkan
dan menguatirkan kamu."
Ya Allah... seandainya semua istri seperti dia. Seandainya semua perempuan
seperti dia....
Setelah semua yang ia persiapkan buat saya dianggap mencukupi dan telah
membuatnya merasa lega, barulah Nirmala kembali ke Jakarta. Ia menjanjikan pada
hari Jumat, saat saya pulang kantor, saya sudah bisa memeluknya lagi. Dan ia
tepati itu. Ia sudah ada di flat ketika saya pulang kantor pada Jumat sore, dan
ia terbang lagi setelah saya berangkat ke kantor pada hari Senin. Hal itu terus
berlangsung dari minggu ke minggu. Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan.
Namun sejak memasuki bulan ketiga, saya mulai melihat keletihan pada diri
Nirmala. Ia mulai terlihat lelah dan lesu, meski ia telah berjuang keras agar
tetap tampak segar dan gembira. Namun hal itu tetap tak bisa ia sembunyikan.
Dan tentu saja saya segera dihinggapi kekuatiran lagi. Terlebih setelah saya
melihat obat-obatan yang memenuhi tas tangannya. Maka saya memintanya untuk
mempertimbangkan tawaran saya: untuk tinggal di Jepang bersama saya, atau
tolong mintakan izin kepada Pak Baskoro agar saya boleh mengikuti pendidikan
secara formal di Jakarta saja. Tapi keduanya ia tolak.
Ia berkeras agar saya menyelesaikan masa pelatihan saya, apa pun yang
terjadi. Dan selain itu, ia memohon keikhlasan saya untuk memberinya waktu
istirahat dua minggu. Saya setuju. Namun ketika dua pekan kemudian ia datang
lagi, saya lihat ia malah tambah parah. Semakin layu, semakin kurus, dan
cahaya hidupnya seperti memudar. Maka saya katakan kepadanya, "Mulai sekarang
saya ingin kamu hanya memikirkan kesehatan kamu. Jangan pikirkan saya. Saya
akan bisa bertahan di sini hanya dengan mencintai kamu. Percayalah. Saya akan
bisa bertahan meski hanya dengan itu. Maka setelah akhir pekan ini, istirahatlah
sampai kamu betul-betul pulih. Saya ikhlas. Saya akan berdoa terus untuk kamu.
Dan jangan pernah meninggalkan sholatmu. Doakan saya. Saya sayang kamu."
Pada Senin pagi, ketika saya akan berangkat ke kantor, ia memeluk saya
sangat erat dan sangat lama. Ia menangis. Dalam tangisnya itu ia mengungkapkan
semua isi hatinya, semua perasaannya. Belum pernah ia seperti ini sebelumnya.
"Dengar, Mahesa, kekasihku, sayangku, cintaku. Di sepanjang hidup saya,
hanya kamu lelaki yang saya cintai. Hanya kamu suami yang saya inginkan. Dan
semuanya telah saya dapat darimu. Cinta, kasih-sayang, dan kebersamaan hidup
yang sangat indah. Kamu... kamu adalah perwujudan lelaki yang saya impikan di
sepanjang hidup saya. Lelaki yang saya cintai. Lelaki yang mencintai saya. Dan
di dalam cinta itulah kita hidup. Mengarungi hari-hari dengan tawa dan
airmata. Bersama-sama."
"Dengar, suamiku. Saya bersyukur telah memperoleh karunia dari Tuhan
untuk menjadi istri kamu. Dan saya sangat bahagia. Saya sangat bahagia menjadi
istri kamu, Mahesa. Itu sebabnya sampai hari ini saya terus berjuang untuk
bisa mempertahankan semuanya ini. Untuk tetap bisa terus mendampingimu. Dan
juga untuk membahagiakan kamu. Tapi rupanya kekuatan hidup saya nggak cukup
buat itu. Maafkan saya....” Ia merintih, perih. “Dan... tolong kamu ingat satu
hal ini buat saya. Selamanya. Saya mencintai kamu. Sangat mencintai kamu. Saya
ingin hidup selamanya bersama kamu, bila Tuhan mengizinkan. Tak peduli bila
harus sambil menanggungkan rasa sakit yang bagaimana pun, asalkan kamu tetap
ada di samping saya dan mencintai saya."
Walaupun saya menangis karena mendengar itu darinya, meskipun hati kecil
saya jadi terasa amat pilu karenanya, namun saya tak menyangka bahwa
kata-katanya itu akhirnya akan terpahat teguh di dinding peringatan, di dalam
diri saya – jiwa saya, yang akan saya datangi setiap waktu di sepanjang sisa
hidup saya. Kata-kata yang senantiasa membuat saya jadi menyebut nama Allah dan
berdoa memohonkan ampunan untuknya. Kata-kata yang mengingatkan saya akan airmata
dan tangis. Kata-kata yang selalu menasihati saya akan kenyataan bahwa impian
manusia hanyalah sebatas "saat ini". Karena setelah "saat ini" adalah
saat milik Tuhan. Dialah yang menentukan apa yang akan kita peroleh
setelah "saat ini".
Seminggu kemudian, Laras tahu-tahu telah ada di flat saya. Tentu saja saya
kaget dan jadi bertanya-tanya.
"Nggak ada apa-apa," sahutnya, menghindarkan wajahnya dari
perhatian saya. "Saya disuruh Mbak Mala buat mengurus Mas Hesa, ya saya
kerjakan."
"O, begitu," saya mengangguk-angguk. "Lalu, bagaimana dengan
pekerjaan kamu?"
Tiba-tiba gadis itu menerkam saya, memeluk saya dan meraung menangis.
"Jangan tanya apa-apa lagi, Mas. Tolong jangan tanya-tanya lagi,"
katanya, di antara tangis. "Saya nggak peduli kalaupun dunia besok mau
kiamat. Saya cuma ingin memenuhi permintaan Mbak Mala. Saya sudah menyanggupi
itu. Dan tolong biarkan saya melakukan itu buat dia...."
Hati saya mulai terusik. Hati kecil saya mulai menangkap adanya
sinyal-sinyal di balik tabir. Tapi sayang maknanya terlalu samar dan tak begitu
jelas. Dan selain itu, saya juga segera disibukkan oleh rencana tentang segala
sesuatu – agar saya dan Laras bisa hidup bersama di ruang yang sempit ini
dengan aman dan damai, tanpa perlu ada terjadi skandal-skandalan. Namun yang
jelas, tempat tidur adalah untuk Laras. Buat saya, di tatami saja.
Tengah malam, ketika kami Sholat Tahajud bersama, Laras terus-menerus
menangis. Hingga usai sholat Subuh. Tentu saja itu membuat saya jadi curiga.
Ada apa sebenarnya? Selain itu, setelah saya perhatikan baik-baik, ternyata
dia juga tidak seperti biasanya. Ia yang biasanya periang dan banyak bicara,
kini jadi pendiam dan pemuram. Ya Allah... ada apa ini sebenarnya? Saya ingin,
sangat ingin, bertanya kepadanya. Tapi kemudian saya pikir, sebaiknya saya
tunggu waktu yang tepat. Namun ternyata, waktu yang tepat itu tak pernah ada.
Yang ada ialah pada suatu hari, hampir saat makan siang, ia datang ke
kantor dan langsung menemui Tuan Yamada. Setelah itu ia mendatangi saya dan
berkata: "Mas Hesa, kita harus pulang ke Jakarta sekarang." Wajahnya
seperti baru habis menangis seharian. Ia sudah membeli dua tiket langsung ke
Jakarta, yang jam berangkatnya hanya sekitar satu jam lagi. Tentu saja saya
jadi tak berkutik. Bahkan tas kerja saya tinggalkan di kantor.
Kami langsung berangkat ke Narita dengan taksi. Di sepanjang perjalanan Laras terus-menerus menangis. Tapi tak mau menjawab kalau saya tanya:
"Ada apa?" Bahkan di pesawat. Akhirnya, karena merasa giris dengan
praduga-praduga saya sendiri, saya memutuskan untuk bersikap tawakal. Saya
berzikir tanpa putus di antara doa dalam batin: "Ya Allah, saya tidak
tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang akan saya alami. Tapi semuanya adalah
kehendak-Mu. Dan saya ikhlas menerimanya. Kuatkanlah iman saya dan luaskan dada
saya untuk menerimanya. Dan jadikan seburuk-buruk malapetaka adalah kebaikan
bagi saya, istri saya, keluarga saya, dan saudara-saudara saya. Hanya Engkau
tempat saya berserah diri dari segala sesuatu. Aamiinnn."
Malam telah merangkum Jakarta ketika pesawat mendarat di Soekarno-Hatta.
Karena tak tahu apa yang akan saya hadapi di darat nanti, yang bisa membuat
saya lupa, maka sholat Isya pun saya lakukan di pesawat. Laras pun saya suruh
melakukan itu. Dan ia patuh. Sholat sambil terus berurai airmata. Satu hal yang
saya sukai dari gadis ini, ia selalu membawa mukena setiap bepergian. Bahkan
dalam perjalanan ini, ia telah memaksakan untuk memasukkan mukena ke dalam tas
tangannya, sehingga membuat tas tangannya yang bagus itu terlihat aneh karena
gembung.
Di bandara, kami dijemput oleh sopir Pak Baskoro. Ia tak terlihat gembira
seperti biasanya bila bertemu saya. Ia mengunci mulut dan berusaha melayani
kami secepat-cepatnya. Bahkan ia menjawab dengan: "Maaf, Pak, Pak Baskoro
melarang saya ngomong apa-apa. Saya cuma disuruh menjemput aja." ketika
saya bertanya: "Ada apa ini sebenarnya, Pak Min?" kepadanya. Ya
sudah. Saya lantas jadi kehilangan minat untuk mencari-cari tahu lagi. Namun
hati saya mulai digelontor kegelisahan. Dan saya kuatir sekali pada Nirmala.
Maka zikir saya jadi kian rapat, dan doa saya makin panjang.
Ketika menyadari bahwa mobil di arahkan ke rumah mertua saya, hati saya
segera menciut hingga menjadi amat kecil. Ya Allah...! Semangat saya seketika
hilang. Jantung saya gemetar. Keringat dingin merebak deras di seluruh tubuh.
Dan tiba-tiba saja bayangan Nirmala muncul begitu jelas di pelupuk mata saya.
Ya Allah, apa yang telah terjadi pada Nirmala saya? Kerongkongan saya segera
terasa tersekat oleh desakan rasa takut dan sedih di dada. Ya Allah, Mala....
Melihat begitu banyak mobil di parkir di sekitar rumah mertua saya, serta
adanya bendera kuning yang dipasang di tempat-tempat strategis, harapan saya
yang hanya tinggal berupa doa itu pun menjadi benar-benar pupus. Sebuah bisik
dari kedalaman relung hati mengabarkan duka-cita, membuat saya terpuruk di
sandaran, lunglai. Semua daya hidup saya terasa menguap. Bahkan tak ada
apa-apa di dalam benak saya.
Belum lagi mobil berhenti benar, Laras sudah membuka pintu dan langsung
menghambur keluar, lalu melesat masuk rumah. Saya hanya memandangnya. Tanpa
kesertaan emosi. Dan entah berapa lama saya hanya duduk di dalam mobil itu,
sampai akhirnya saya merasakan tepukan halus di pipi kiri saya, dan suara yang
amat saya kenal itu menyentuh kesadaran saya: "Istighfar, Mahesa,
istighfar...." Suara Pak Ma'ruf. Saya merasa tersedot ke dalam diri saya.
Memandang pada wajah teduh Pak Ma'ruf di hadapan saya.
"Astaghfirullah hal adzim...!" bisik saya. Dan tiba-tiba saja
segalanya datang menyerbu bersama kesadaran. Saya tersentak dengan jantung
gemetar.
Pak Ma'ruf menggenggam tangan kanan saya dengan lembut. "Ayo turun,
Hes." Ditariknya saya dengan penuh kasih-sayang, turun dari mobil.
"Tabahkan hatimu, Hes. Istrimu sudah mendahului kamu."
Di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang keluarga, ketika memandang
kepada jenazah yang terbujur di tengah ruang keluarga itu, saya merasa ada
tangan yang sudah amat lama tidak menyentuh saya. Tangan yang lebih lembut
dari sentuhan seorang ibu. Tangan yang senantiasa menyentuh saya dengan penuh
kasih-sayang setiap saya sedang bersedih. Tangan Yang Maha Penolong. Pelindung
saya yang paling saya andalkan: Tuhan. Dengan lembut Dia melapangkan dada saya
yang sempit dihimpit kesedihan, dan mengangkat puing-puing harapan dan menggantinya
dengan keikhlasan yang jernih. Sehingga saya dapat melihat dan menghadapi
jenazah Nirmala seperti saya menghadapinya di saat masih hidup. Dengan tulus,
dengan kasih-sayang, dengan doa yang baik, dan dengan pengharapan yang hakiki.
Dengan kekuatan kasih-sayang Tuhan, saya melangkah memasuki ruang
persemayaman itu, mendekati Laras yang sedang merintih-rintih memeluk jasad
kakak asuhnya. Saya bersimpuh di sisinya dan menyentuh bahunya dengan lembut.
"Jangan lakukan ini, Laras," kata saya, pelan. "Kakakmu masih
mendengar kamu. Dan dia jadi sangat sedih karena mendengar kamu
merintih-rintih seperti ini. Apa kamu mau menyiksanya dengan rintihan kamu
itu? Jangan, Laras. Kasihani dia. Dia hanya menginginkan keikhlasan kamu
sekarang. Dia hanya membutuhkan doa kamu. Karena cuma doa kamu, doa kita, yang
akan bisa menolongnya di alam keabadiannya sekarang ini. Ayolah, Ras,
istighfarlah. Doakan kakak kamu. Bacakan Al Quran buatnya. Itu akan membuatnya
senang dan tertolong."
Laras menghentikan rintihannya, menyekai airmata yang membasahi wajahnya
dengan telapak jemari, lalu memandang saya. Saya tersenyum dan mengangguk pelan
kepadanya.
"Berwudhulah. Ambil Al Quran kakakmu di kamar dan bacakan buat
dia," kata saya.
Laras segera pergi, meninggalkan saya yang seketika tertegun di sisi jasad
Nirmala yang terbaring kelu – hening. Dan wajah itu, ya Allah... saya ulurkan
tangan untuk menyentuhnya. Ini adalah wajah yang tak pernah membuat saya lupa
untuk bersyukur kepada-Mu, ya Allah. Wajah yang selalu memberi kegembiraan dan
keteduhan ke dalam sanubari saya. Wajah yang selalu tulus dihadapkan kepada
saya dalam keadaan susah ataupun senang. Wajah yang tunduk khusyuk saat berdiri
di hadapan-Mu. Wajah yang direndahkan kala ruku kepada-Mu. Wajah yang
disurukkan pada bumi ketika sujud bagi-Mu. Ya Allah... kasihanilah dia.
Ampunilah dia. Cintai dia seperti saya mencintainya. Dan saya ridho atas segala
yang telah dia berikan di semasa hidupnya sebagai istri saya. Saya ikhlas
menerima yang baik dan yang buruk darinya....
Wajah Nirmala terasa dingin di ujung-ujung jemari saya ketika menyentuhnya.
Dan ini adalah kali pertama – juga terakhir – saya merasakan rasa dingin pada
wajahnya ketika saya menyentuhnya. Sehingga hal itu menyadarkan saya pada
perpisahan panjang yang akan kami jalani sebentar ini nanti. Dan bulir-bulir
hangat terasa luruh dari mata saya.
"Sekarang... nggak ada lagi orang yang akan memaksa saya supaya makan
banyak. Nggak ada lagi orang yang akan menghabiskan makanan yang tersisa di
piring makan saya. Nggak ada lagi orang yang akan menegur dan memarahi saya
dengan sepenuh rasa sayang dan cinta. Nggak ada lagi... ya Allah, Mala,
sekarang... saya bahkan nggak bisa berbuat apa-apa lagi buat kamu...,"
bisik saya. "kecuali mengikhlaskan kamu dan berdoa, agar Allah mengampuni
dosa-dosamu. Dan saya ikhlas, saya ridho, atas segala apa yang telah kamu
berikan kepada saya sebagai istri...."
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.