16 April 2016

Cerbung: Lewat Tengah Malam (5)

(Sambungan dari bagian 4)
Paginya, begitu tiba di kantor, sekretaris direksi memberitahu bah­wa saya ditunggu oleh Tuan Yamada, presiden direktur perusahaan ini. Maka setelah menaruh tas kantor, saya segera mendatangi ruangan Tuan Yamada. Saya pikir ada sesuatu yang penting, ternyata dia hanya memberi tahu bahwa masa pelatihan saya berakhir minggu ini. Tapi Ja­karta memberi saya cuti ekstra satu minggu untuk menikmati liburan di Jepang. Dan itu membuat saya mafhum mengapa Nirmala tiba-tiba mun­cul. Rupanya saya memang sudah hampir pulang.
   Sejak Nirmala datang, saya benar-benar seperti lelaki dengan dua is­tri. Karena dia dengan pintarnya telah mengatur segala sesuatu, se­hingga setiap keperluan saya dilayani oleh mereka secara bergan­ti­an. Makan, minum, pakaian, pijat, dan lain-lain. Wah, saya jadi se­perti raja! Untungnya tidur Laras masih tetap terpisah dari kami. Kalau tidak, pasti Nirmala sudah benar-benar jadi gila. Tapi itu bu­kan berarti tak pernah terjadi.
Pekan terakhir saya di Jepang saya rencanakan untuk pergi melihat-li­hat suasana pedesaan. Dan ternyata 'kedua istri' saya setuju se­ka­li. Mereka sangat gembira dengan ide saya itu, dan lantas berfantasi ten­tang sebuah petualangan yang indah bagi kami. Maka mereka segera ber­embuk tentang banyak hal. Tapi terutama mengenai alat transpor­ta­si serta masalah makanan. Akhirnya diputuskan, Laras akan menyewa se­buah mobil keluarga dan membawa peralatan masak serta bumbu-bumbu yang dibutuhkan. Dan, itulah 'kedua istri' saya. Dengan akal me­re­ka yang memang luar biasa, akhirnya semua kendala dapat kami sing­kir­kan. Sehingga kami bisa bertualang seperti yang mereka bayangkan.
Secara keseluruhan, sebenarnya perjalanan itu amat menyenang­kan. Se­mua yang saya harapkan bisa saya lihat di Negeri Matahari Terbit ini, dapat terlaksana. Suasana pedesaan yang damai dan teratur, alam yang indah dan terjaga asri, kehidupan yang terasa benar-benar meng­a­lir tenang, dan sebagainya-sebagainya. Semuanya menarik. Asyik. Cu­ma satu yang tak saya sukai, yaitu setiap kali kami masuk ke peng­i­napan. Karena – dengan alasan keuangan – kami harus selalu tinggal ber­sama di dalam satu kamar. Sehingga saya jadi jungkir-balik sendi­ri­an karena menanggungkan 'keperluan' dengan istri. Gila betul.
Saya sempat protes mengenai itu pada Nirmala, tapi apa jawabannya? "Makanya... nikahin dong si Laras. Supaya kalau kamu kebelet kayak gitu, kamu nggak jadi senewen sendirian. ‘Kan bisa dilayanin sama sa­lah satu dari kami." Apa dia sudah sinting? Atau saya yang bebal?
Setelah di Jakarta, segalanya menjadi agak mulai jelas. Rupanya Nir­mala memang benar-benar ingin agar saya menikahi Laras sebagai istri kedua. Alasannya ialah masalah keturunan. Tapi alasan itu saya patahkan dengan mengatakan:
"Anak atau keturunan bukan hal penting buat saya. Itu harus kamu ingat, Mala. Buat saya yang paling utama adalah orang yang saya cin­tai: Kamu. Cuma itu yang saya inginkan di sepanjang hidup saya. Dan kamu jangan pernah lupakan ini: Saya pernah menjadi manusia tanpa punya orangtua, jadi, bukan masalah kalau saya kemudian menjadi orangtua tanpa anak. Itu sudah saya anggap sama saja."
"Tapi bagaimana kalau saya mati? Siapa yang akan mengurus kamu?" cetus Nirmala akhirnya. Kelihatannya karena putus asa. Dan itu sa­ngat mengagetkan saya.
"Mati? Apa maksud kamu?"
"Ya mati!" tandas Nirmala. "Kamu tahu? Sejak saya mencintai kamu, saya jadi selalu merasa takut akan mati. Saya takut mati! Soalnya kalau saya mati, siapa yang akan mengurus kamu? Siapa yang akan mencintai kamu seperti saya? Siapa yang akan mengurus, meladeni, mela­yani kamu seperti yang saya lakukan selama ini? Siapa? Kamu pikir pe­rempuan mana yang bisa saya percaya untuk melakukan itu? Kamu pikir, siapa yang bisa saya percayai?"
"Tapi kamu juga jangan lupa, Mala. Sebelum kamu datang ke dalam hi­dup saya, Allah yang melakukan itu buat saya. Jadi, kenapa seka­rang nggak kamu percayakan lagi saja suamimu ini sama Dia?"
"Tapi saya nggak mau kamu hidup sendirian lagi!" Dan ia mulai menangis. "Kamu nggak boleh hidup sendirian lagi. Sudah cukup apa yang sudah kamu alami dengan kesendirian itu. Dan saya tahu bagaimana rasanya ke­sendirian itu. Saya akan sangat sedih kalau harus meninggalkan orang yang saya cintai ke dalam kesendirian hidup seperti itu. Saya akan sangat sedih, Hes...."
Terus-terang, semakin lama saya makin tak bisa memahami jalan pi­kir­an Nirmala. Dia jadi semakin misterius dan rumit. Sementara itu sa­ya perhatikan, masalah hidupnya jadi makin bertambah. Dia terlihat ma­kin tertekan dan menderita. Tak jelas oleh apa. Dia bilang bukan ka­rena saya. Dan saya percaya itu. Namun saya lihat kondisinya kian parah. Badannya terus menyusut, sehingga ia terlihat kuyu, lemah, dan rambutnya mulai rontok – sampai akhirnya ia harus mengenakan wig ka­rena rambutnya nyaris habis. Setiap kali saya suruh ke dokter, dia bilang sudah, dan katanya ini semua karena stres. Tapi kondisinya terus juga memburuk.
Akhirnya saya juga jadi ikut stres. Karena saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Bahkan untuk bisa sering mendampinginya saja saya hampir tidak punya waktu, kecuali malam. Tentu saja saya jadi merasa makin tidak ke­ruan karenanya. Saya jadi serba salah. Kalau saya bolos kerja untuk menemani dia di rumah, malah dimarahi dan dipaksa-paksa supaya pergi kerja. Bapak dan Ibu Baskoro juga selalu ribut mencari saya, kalau saya terlambat sampai kantor. Apa lagi kalau bolos? Namun di kantor, saya juga tidak bisa bekerja dengan tenang, karena pikiran saya selalu tertuju kepada Nirmala, sehingga pe­kerjaan saya jadi tak beres dan makin menumpuk.
Untungnya program pendidikan Laras sesuai dengan yang direncanakan, se­hingga ia bisa lekas kembali ke tanah air untuk membantu saya yang lagi 'mati angin'. Nyaris semua pekerjaan saya diambil-alih olehnya. Dan kelihatannya dia berhasil. Tapi saya tidak peduli. Saya hanya pe­duli pada keadaan Nirmala. Saya sangat kuatir pada kondisi perem­pu­an yang amat saya cintai itu, sehingga semua orang pun kemudian me­ributkan kondisi saya yang juga mulai terpuruk.
Pada saat yang tak menentu itu, cuma Tuhanlah sandaran saya. Kare­na selama ini memang hanya Dia yang selalu menolong saya. Maka kepa­da-Nya saya merendahkan diri dan memohon pertolongan, dengan bersu­jud dan menangis pada siang dan malam. "Ya Allah, kasihanilah istri saya. Tolonglah dia. Sesungguhnya dia adalah istri yang baik bagi saya. Ia adalah sebaik-baik perempuan yang pernah datang ke dalam hidup saya. Ia adalah sebaik-baik tempat berkasih-sayang yang telah Engkau berikan kepada saya. Maka sayangilah dia seperti saya menya­yanginya. Gembirakanlah dia dengan apa-apa yang telah pernah Engkau be­rikan kepadanya. Dan sehatkanlah dia. Mudah-mudahan dia akan ber­syukur kepada-Mu."
Waktu terus berlalu. Namun saya tak ingin menyerah. Saya terus me­lolong-lolong kepada Tuhan, memohon belas kasihan. Hingga akhirnya sa­ya melihat pertolongan itu datang, sedikit demi sedikit. Nirmala ter­lihat mulai punya darah lagi. Ia sudah mulai menghabiskan makanan yang tak saya habiskan, sambil menguliahi saya soal rezeki – seperti dulu. Lalu ia mulai ke dapur lagi, mulai membuat makanan-makanan enak lagi, mulai memaksa saya untuk makan banyak lagi, dan mulai ma­rah kalau saya tidak membangunkannya untuk sholat Tahajud.
Lantas keadaan seperti sediakala. Nirmala kembali sibuk mengurus sa­ya, membuat berbagai masakan lezat, dan membuat desain-desain teks­til serta batik untuk perusahaan orangtuanya. Sedang saya, sete­lah prahara berakhir, segera mengejar ketinggalan saya di kantor. Dan saya kaget ketika mengetahui bahwa Laras ternyata lebih jenius dari ibunya dalam strategi pemasaran. Tapi tentu saja saya tak mau kalah. Maka saya eksplorasi habis kemampuan saya. Dan untungnya, saya lebih mengenal kultur bangsa Indonesia dibanding dia. Itu karena dia dididik di Jepang, sedang saya di Indonesia.
Kelakuan Laras masih seperti tatkala di Jepang, khususnya saat ber­tandang ke rumah saya – yang juga rumah mertua saya, karena saya di­paksa pindah ke sana, sehingga rumah hasil kredit terlalu lunak da­ri Pak Baskoro terpaksa saya jual, dan uangnya saya berikan pada Pak Ma'ruf untuk merenovasi panti asuhan. Kalau datang, biasanya pa­da malam-malam akhir pekan, ia selalu bikin saya kikuk sama mertua. Soalnya, biar di depan mata mereka, kalau dia mau peluk saya – ya dia peluk saja! Gila betul dia itu!
Manakala kehidupan sudah terasa benar-benar normal kembali, tiba-tiba Bapak dan Ibu Baskoro 'berubah pikiran'. Penyebabnya, karena me­reka anggap Laras bisa diandalkan untuk menempati posisi saya, sehingga saya akan diuji untuk ditempatkan di bagian manajemen. Ar­ti­nya, saya diposisikan sebagai asisten – tapi belum sampai tingkat wakil – Pak Baskoro sebagai Presiden Direktur. Dan itu berarti, saya ha­rus banting tulang lagi untuk belajar dari nol.
Pak Baskoro dan Romo – ayah mertua saya – adalah guru yang mendi­dik saya sejak pagi hingga malam. Di kantor, seharian Pak Baskoro men­jejali saya dengan buku-buku ilmu manajemen. Kalau ada waktu lu­ang, ia memberi pengarahan-pengarahan langsung kepada saya. Dan di ru­mah, ganti Romo yang membina saya sampai hampir waktu tidur saya, se­hingga Nirmala protes karena tak mendapat jatah perhatian yang cu­kup dari saya. Itu sebabnya, kemudian Romo mengurangi jam pembinaan­nya kepada saya. Tapi tetap saja Nirmala masih mengomel. Soalnya sa­ya jadi kurang waktu buat menemaninya berkaraoke.
Memasuki bulan keenam masa pembinaan, Bapak dan Ibu Baskoro me­mang­gil saya dan meminta saya mempersiapkan diri untuk ke Jepang la­gi. Kali ini guna mengikuti pelatihan dalam bidang manajemen. Di Ne­geri Sakura itu, saya akan dibina oleh Tuan Yamada sendiri. Dan itu membuat saya jadi agak gamang, mengingat sikap keras dan pancaran kha­rismanya yang amat kuat sebagai pimpinan. Tapi seperti biasanya, saya bisa berbuat apa selain menerima saja?
Ketika menyampaikan kabar itu pada Nirmala, saya mengatakan: "Saya jadi pingin tahu, kali ini kamu akan menyuruh saya menikahi siapa?"
Sambil menyurukkan wajahnya ke leher saya, Nirmala menjawab kalem. "Saya nggak akan pernah menyuruh kamu menikahi siapa pun kecuali Laras."
"O, begitu? Kenapa?" Saya mencoba cari tahu lebih banyak.
"Soalnya...," Nirmala mengelus-elus dada saya dengan telapak ta­ngannya, "cuma dia yang akan bisa mengurus kamu seperti saya. Dan yang paling penting, seperti juga saya, dia sangat mencintai kamu...."
***
Pelatihan saya kali ini ternyata tidak seperti yang sebelumnya. Sehingga semua dugaan jelek saya jadi mentah. Karena kali ini saya akan tinggal sendirian di sebuah flat. Dan yang paling penting ia­lah, janji Nirmala bahwa ia akan datang setiap akhir pekan. Bahkan ia ikut berangkat ke Jepang dan membenahi komposisi ruang flat saya, sehingga mirip dengan suasana kamar kami di Jakarta – supaya kamu be­tah, katanya, serta membuat racikan bumbu-bumbu untuk digoreng atau direbus – yang bisa bertahan seminggu dalam lemari es. Ia juga mengajari saya cara menanak nasi serta membuat olahan lauk-pauk de­ngan bumbu-bumbu racikannya itu. Namun begitu, ia juga membuat cara-cara tersebut dalam bentuk tulisan. "Buat jaga-jaga kalau kamu lu­pa," katanya, sambil memandang saya dengan tatapan penuh kasih-sa­yang. "Asal satu hal kamu jangan sampai lupa: Kamu punya istri yang amat-sangat mencintai kamu dan selalu memikirkan serta menguatirkan kamu. Setiap waktu."
"Begitu? Lantas, kapan kamu mengingat Tuhan?"
"Setiap saat. Justru... Dialah yang membuat saya jadi selalu memi­kirkan dan menguatirkan kamu."
Ya Allah... seandainya semua istri seperti dia. Seandainya semua perempuan seperti dia....
Setelah semua yang ia persiapkan buat saya dianggap mencukupi dan telah membuatnya merasa lega, barulah Nirmala kembali ke Jakarta. Ia menjanjikan pada hari Jumat, saat saya pulang kantor, saya sudah bi­sa memeluknya lagi. Dan ia tepati itu. Ia sudah ada di flat ketika saya pulang kantor pada Jumat sore, dan ia terbang lagi setelah saya berangkat ke kantor pada hari Senin. Hal itu terus berlangsung dari minggu ke minggu. Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan.
Namun sejak memasuki bulan ketiga, saya mulai melihat keletihan pa­da diri Nirmala. Ia mulai terlihat lelah dan lesu, meski ia telah ber­juang keras agar tetap tampak segar dan gembira. Namun hal itu tetap tak bisa ia sembunyikan. Dan tentu saja saya segera dihinggapi kekuatiran lagi. Terlebih setelah saya melihat obat-obatan yang me­menuhi tas tangannya. Maka saya memintanya untuk mempertimbangkan ta­waran saya: untuk tinggal di Jepang bersama saya, atau tolong min­takan izin kepada Pak Baskoro agar saya boleh mengikuti pendidikan secara formal di Jakarta saja. Tapi keduanya ia tolak.
Ia berkeras agar saya menyelesaikan masa pelatihan saya, apa pun yang terjadi. Dan selain itu, ia memohon keikhlasan saya untuk mem­berinya waktu istirahat dua minggu. Saya setuju. Namun ketika dua pe­kan kemudian ia datang lagi, saya lihat ia malah tambah parah. Se­makin layu, semakin kurus, dan cahaya hidupnya seperti memudar. Maka saya katakan kepadanya, "Mulai sekarang saya ingin kamu hanya memi­kirkan kesehatan kamu. Jangan pikirkan saya. Saya akan bisa bertahan di sini hanya dengan mencintai kamu. Percayalah. Saya akan bisa ber­tahan meski hanya dengan itu. Maka setelah akhir pekan ini, isti­ra­hatlah sampai kamu betul-betul pulih. Saya ikhlas. Saya akan berdoa te­rus untuk kamu. Dan jangan pernah meninggalkan sholatmu. Doakan sa­ya. Saya sayang kamu."
Pada Senin pagi, ketika saya akan berangkat ke kantor, ia memeluk saya sangat erat dan sangat lama. Ia menangis. Dalam tangisnya itu ia mengungkapkan semua isi hatinya, semua perasaannya. Belum pernah ia seperti ini sebelumnya. "Dengar, Mahesa, kekasihku, sayangku, cin­taku. Di sepanjang hidup saya, hanya kamu lelaki yang saya cin­tai. Hanya kamu suami yang saya inginkan. Dan semuanya telah saya da­pat darimu. Cinta, kasih-sayang, dan kebersamaan hidup yang sangat indah. Kamu... kamu adalah perwujudan lelaki yang saya impikan di se­panjang hidup saya. Lelaki yang saya cintai. Lelaki yang mencintai saya. Dan di dalam cinta itulah kita hidup. Mengarungi hari-hari de­ngan tawa dan airmata. Bersama-sama."
"Dengar, suamiku. Saya bersyukur telah memperoleh karunia dari Tu­han untuk menjadi istri kamu. Dan saya sangat bahagia. Saya sangat ba­hagia menjadi istri kamu, Mahesa. Itu sebabnya sampai hari ini sa­ya terus berjuang untuk bisa mempertahankan semuanya ini. Untuk te­tap bisa terus mendampingimu. Dan juga untuk membahagiakan kamu. Ta­pi rupanya kekuatan hidup saya nggak cukup buat itu. Maafkan sa­ya....” Ia merintih, perih. “Dan... tolong kamu ingat satu hal ini bu­at saya. Selamanya. Saya mencintai kamu. Sangat mencintai kamu. Saya ingin hidup selamanya bersama kamu, bila Tuhan mengizinkan. Tak peduli bila harus sambil menanggungkan rasa sakit yang bagaimana pun, asalkan kamu tetap ada di samping saya dan mencintai saya."
Walaupun saya menangis karena mendengar itu darinya, meskipun hati kecil saya jadi terasa amat pilu karenanya, namun saya tak menyangka bahwa kata-katanya itu akhirnya akan terpahat teguh di dinding peri­ngatan, di dalam diri saya – jiwa saya, yang akan saya datangi se­tiap waktu di sepanjang sisa hidup saya. Kata-kata yang senantiasa membuat saya jadi menyebut nama Allah dan berdoa memohonkan ampunan untuknya. Kata-kata yang mengingatkan saya akan airmata dan tangis. Kata-kata yang selalu menasihati saya akan kenyataan bahwa impian ma­nusia hanyalah sebatas "saat ini". Karena setelah "saat ini" adalah saat milik Tuhan. Dialah yang menentukan apa yang akan kita peroleh setelah "saat ini".
Seminggu kemudian, Laras tahu-tahu telah ada di flat saya. Tentu saja saya kaget dan jadi bertanya-tanya.
"Nggak ada apa-apa," sahutnya, menghindarkan wajahnya dari perhatian saya. "Saya disuruh Mbak Mala buat mengurus Mas Hesa, ya saya kerjakan."
"O, begitu," saya mengangguk-angguk. "Lalu, bagaimana dengan pe­kerjaan kamu?"
Tiba-tiba gadis itu menerkam saya, memeluk saya dan meraung me­na­ngis. "Jangan tanya apa-apa lagi, Mas. Tolong jangan tanya-tanya la­gi," katanya, di antara tangis. "Saya nggak peduli kalaupun dunia be­sok mau kiamat. Saya cuma ingin memenuhi permintaan Mbak Mala. Sa­ya sudah menyanggupi itu. Dan tolong biarkan saya melakukan itu buat dia...."
Hati saya mulai terusik. Hati kecil saya mulai menangkap adanya sinyal-sinyal di balik tabir. Tapi sayang maknanya terlalu samar dan tak begitu jelas. Dan selain itu, saya juga segera disibukkan oleh ren­cana tentang segala sesuatu – agar saya dan Laras bisa hidup ber­sama di ruang yang sempit ini dengan aman dan damai, tanpa perlu ada terjadi skandal-skandalan. Namun yang jelas, tempat tidur adalah untuk Laras. Buat saya, di tatami saja.
Tengah malam, ketika kami Sholat Tahajud bersama, Laras terus-me­ne­rus menangis. Hingga usai sholat Subuh. Tentu saja itu membuat sa­ya jadi curiga. Ada apa sebenarnya? Selain itu, setelah saya perha­ti­kan baik-baik, ternyata dia juga tidak seperti biasanya. Ia yang biasanya periang dan banyak bicara, kini jadi pendiam dan pemuram. Ya Allah... ada apa ini sebenarnya? Saya ingin, sangat ingin, ber­ta­nya kepadanya. Tapi kemudian saya pikir, sebaiknya saya tunggu waktu yang tepat. Namun ternyata, waktu yang tepat itu tak pernah ada.
Yang ada ialah pada suatu hari, hampir saat makan siang, ia datang ke kantor dan langsung menemui Tuan Yamada. Setelah itu ia menda­tangi saya dan berkata: "Mas Hesa, kita harus pulang ke Jakarta se­karang." Wajahnya seperti baru habis menangis seharian. Ia sudah mem­beli dua tiket langsung ke Jakarta, yang jam berangkatnya hanya se­kitar satu jam lagi. Tentu saja saya jadi tak berkutik. Bahkan tas kerja saya tinggalkan di kantor.
Kami langsung berangkat ke Narita dengan taksi. Di sepanjang per­ja­lanan Laras terus-menerus menangis. Tapi tak mau menjawab kalau saya tanya: "Ada apa?" Bahkan di pesawat. Akhirnya, karena merasa giris dengan praduga-praduga saya sendiri, saya memutuskan untuk ber­sikap tawakal. Saya berzikir tanpa putus di antara doa dalam ba­tin: "Ya Allah, saya tidak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang akan saya alami. Tapi semuanya adalah kehendak-Mu. Dan saya ikhlas menerimanya. Kuatkanlah iman saya dan luaskan dada saya untuk mene­ri­manya. Dan jadikan seburuk-buruk malapetaka adalah kebaikan bagi saya, istri saya, keluarga saya, dan saudara-saudara saya. Hanya Eng­kau tempat saya berserah diri dari segala sesuatu. Aamiinnn."
Malam telah merangkum Jakarta ketika pesawat mendarat di Soekarno-Hatta. Karena tak tahu apa yang akan saya hadapi di darat nanti, yang bisa membuat saya lupa, maka sholat Isya pun saya lakukan di pe­sawat. Laras pun saya suruh melakukan itu. Dan ia patuh. Sholat sambil terus berurai airmata. Satu hal yang saya sukai dari gadis ini, ia selalu membawa mukena setiap bepergian. Bahkan dalam perja­lanan ini, ia telah memaksakan untuk memasukkan mukena ke dalam tas tangannya, sehingga membuat tas tangannya yang bagus itu terlihat aneh karena gembung.
Di bandara, kami dijemput oleh sopir Pak Baskoro. Ia tak terlihat gembira seperti biasanya bila bertemu saya. Ia mengunci mulut dan berusaha melayani kami secepat-cepatnya. Bahkan ia menjawab dengan: "Maaf, Pak, Pak Baskoro melarang saya ngomong apa-apa. Saya cuma di­suruh menjemput aja." ketika saya bertanya: "Ada apa ini sebenarnya, Pak Min?" kepadanya. Ya sudah. Saya lantas jadi kehilangan minat un­tuk mencari-cari tahu lagi. Namun hati saya mulai digelontor kegeli­sah­an. Dan saya kuatir sekali pada Nirmala. Maka zikir saya jadi kian rapat, dan doa saya makin panjang.
Ketika menyadari bahwa mobil di arahkan ke rumah mertua saya, hati saya segera menciut hingga menjadi amat kecil. Ya Allah...! Semangat saya seketika hilang. Jantung saya gemetar. Keringat dingin merebak deras di seluruh tubuh. Dan tiba-tiba saja bayangan Nirmala muncul be­gitu jelas di pelupuk mata saya. Ya Allah, apa yang telah terjadi pada Nirmala saya? Kerongkongan saya segera terasa tersekat oleh de­sakan rasa takut dan sedih di dada. Ya Allah, Mala....
Melihat begitu banyak mobil di parkir di sekitar rumah mertua sa­ya, serta adanya bendera kuning yang dipasang di tempat-tempat stra­tegis, harapan saya yang hanya tinggal berupa doa itu pun menjadi be­nar-benar pupus. Sebuah bisik dari kedalaman relung hati mengabar­kan duka-cita, membuat saya terpuruk di sandaran, lunglai. Semua da­ya hidup saya terasa menguap. Bahkan tak ada apa-apa di dalam benak saya.
Belum lagi mobil berhenti benar, Laras sudah membuka pintu dan langsung menghambur keluar, lalu melesat masuk rumah. Saya hanya me­mandangnya. Tanpa kesertaan emosi. Dan entah berapa lama saya hanya duduk di dalam mobil itu, sampai akhirnya saya merasakan tepukan ha­lus di pipi kiri saya, dan suara yang amat saya kenal itu menyentuh kesadaran saya: "Istighfar, Mahesa, istighfar...." Suara Pak Ma'ruf. Saya merasa tersedot ke dalam diri saya. Memandang pada wajah teduh Pak Ma'ruf di hadapan saya.
"Astaghfirullah hal adzim...!" bisik saya. Dan tiba-tiba saja sega­lanya datang menyerbu bersama kesadaran. Saya tersentak dengan jan­tung gemetar.
Pak Ma'ruf menggenggam tangan kanan saya dengan lembut. "Ayo tu­run, Hes." Ditariknya saya dengan penuh kasih-sayang, turun dari mo­bil. "Tabahkan hatimu, Hes. Istrimu sudah mendahului kamu."
Di ambang pintu antara ruang tamu dan ruang keluarga, ketika me­mandang kepada jenazah yang terbujur di tengah ruang keluarga itu, sa­ya merasa ada tangan yang sudah amat lama tidak menyentuh saya. Ta­ngan yang lebih lembut dari sentuhan seorang ibu. Tangan yang se­nantiasa menyentuh saya dengan penuh kasih-sayang setiap saya sedang bersedih. Tangan Yang Maha Penolong. Pelindung saya yang paling saya andalkan: Tuhan. Dengan lembut Dia melapangkan dada saya yang sempit dihimpit kesedihan, dan mengangkat puing-puing harapan dan menggan­ti­nya dengan keikhlasan yang jernih. Sehingga saya dapat melihat dan menghadapi jenazah Nirmala seperti saya menghadapinya di saat masih hidup. Dengan tulus, dengan kasih-sayang, dengan doa yang baik, dan dengan pengharapan yang hakiki.
Dengan kekuatan kasih-sayang Tuhan, saya melangkah memasuki ruang persemayaman itu, mendekati Laras yang sedang merintih-rintih meme­luk jasad kakak asuhnya. Saya bersimpuh di sisinya dan menyentuh ba­hu­nya dengan lembut. "Jangan lakukan ini, Laras," kata saya, pelan. "Kakakmu masih mendengar kamu. Dan dia jadi sangat sedih karena men­dengar kamu merintih-rintih seperti ini. Apa kamu mau menyiksanya de­ngan rintihan kamu itu? Jangan, Laras. Kasihani dia. Dia hanya meng­inginkan keikhlasan kamu sekarang. Dia hanya membutuhkan doa ka­mu. Karena cuma doa kamu, doa kita, yang akan bisa menolongnya di alam keabadiannya sekarang ini. Ayolah, Ras, istighfarlah. Doakan ka­kak kamu. Bacakan Al Quran buatnya. Itu akan membuatnya senang dan tertolong."
Laras menghentikan rintihannya, menyekai airmata yang membasahi wajahnya dengan telapak jemari, lalu memandang saya. Saya tersenyum dan mengangguk pelan kepadanya.
"Berwudhulah. Ambil Al Quran kakakmu di kamar dan bacakan buat dia," kata saya.
Laras segera pergi, meninggalkan saya yang seketika tertegun di sisi jasad Nirmala yang terbaring kelu – hening. Dan wajah itu, ya Allah... saya ulurkan tangan untuk menyentuhnya. Ini adalah wajah yang tak pernah membuat saya lupa untuk bersyukur kepada-Mu, ya Allah. Wajah yang selalu memberi kegembiraan dan keteduhan ke dalam sanubari saya. Wajah yang selalu tulus dihadapkan kepada saya dalam keadaan susah ataupun senang. Wajah yang tunduk khusyuk saat berdiri di hadapan-Mu. Wajah yang direndahkan kala ruku kepada-Mu. Wajah yang disurukkan pada bumi ketika sujud bagi-Mu. Ya Allah... kasi­hanilah dia. Ampunilah dia. Cintai dia seperti saya mencintainya. Dan saya ridho atas segala yang telah dia berikan di semasa hidupnya sebagai istri saya. Saya ikhlas menerima yang baik dan yang buruk darinya....
Wajah Nirmala terasa dingin di ujung-ujung jemari saya ketika menyentuhnya. Dan ini adalah kali pertama – juga terakhir – saya mera­sa­kan rasa dingin pada wajahnya ketika saya menyentuhnya. Sehingga hal itu menyadarkan saya pada perpisahan panjang yang akan kami ja­lani sebentar ini nanti. Dan bulir-bulir hangat terasa luruh dari mata saya.
"Sekarang... nggak ada lagi orang yang akan memaksa saya supaya ma­kan banyak. Nggak ada lagi orang yang akan menghabiskan makanan yang tersisa di piring makan saya. Nggak ada lagi orang yang akan menegur dan memarahi saya dengan sepenuh rasa sayang dan cinta. Nggak ada lagi... ya Allah, Mala, sekarang... saya bahkan nggak bisa berbuat apa-apa lagi buat kamu...," bisik saya. "kecuali mengikhlas­kan kamu dan berdoa, agar Allah mengampuni dosa-dosamu. Dan saya ikhlas, saya ridho, atas segala apa yang telah kamu berikan kepada saya sebagai istri...."
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kritik dan saran pastilah sangat berguna bagi saya, namun tolong sampaikan dengan itikad baik dan bahasa yang patut. Terima kasih.