02 Agustus 2016

Cerpen: Gadis di Metro Mini

Di Jakarta, sebelum era TransJakarta yang sering disebut sebagai busway, Metro Mini – buskota ukuran sedang – adalah angkutan umum yang paling menyedihkan tapi juga paling dibutuhkan. Ya, memang paling dibutuhkan, karena seringkali tak ada pilihan selain harus naik angkutan umum itu – kecuali kalau mampu bayar ongkos taksi atau ojek. Dan sebagai angkutan paling menyedihkan, sebab di dalam Metro Mini setiap penumpang pasti akan mendapat jatah ‘siksaan’ yang harus diterima dengan pasrah, kecuali bagi mereka yang sangat beruntung. Tapi yang sudah pasti, Metro Mini itu kendaraan yang selalu berjalan semau-maunya. Kalau ngebut, bisa bikin jantung jadi kiwir-kiwir serasa mau copot, sebaliknya kalau lamban, ngetemnya lamaaa, dan kalau pun jalan, jalannya juga nyaris cuma 5 km per jam – bikin yang perlu buru-buru jadi hampir stroke karena menahan rasa tak sabar.

27 Mei 2016

Cerpen: Vila di Puncak Bukit

Setelah gema dentang kesembilan jam dinding itu pudar, aku mulai menghitung: Satu, dua, tiga, empat... dan suara piano itu pun terdengar. Lamat-lamat membelah keheningan malam yang kian membeku. Murung menggigil, simfoni hati yang lelah didera duka dan rindu. Aku tercenung, bersandar pada pilar di teras, diam-diam menghela napas berat. Terasa ada kesenduan yang menyelusup. Sementara jauh di dalam kesamaran ingatan, ada kilasan-kilasan hari yang terasa dikenali namun tak teraih. Ada wajah, ada senyum, ada nyanyian, ada tawa, dan ada kesedihan yang terasa begitu kelam, yang masih terasa menyisakan sakit di relung sanubari.

25 Mei 2016

Cerpen: Kisah Kecil dari Sudut Kampus

“Kamu brengsek!” begitu sambutan gadis itu, ketika aku sampai di meja yang terletak di sudut luar kantin tempatnya duduk, di kantin sudut kampus.
“Wah, sedap banget!” sahutku, menyeringai, “Baru sampe udah dihadiahin makian ama mahasiswi cantik,” ujarku, bukan sebagai keluhan, seraya mengempas duduk di sisinya. “Emang aku punya salah apa sih ama kamu, Cantik?”

02 Mei 2016

Cerpen: Bingkai Hati

Dengan mata setengah terpicing Anggraini mencoba menafsirkan siapa sebenarnya bayangan itu. Bayangan yang sedang membuka pintu pagar rumah kostnya. Ia tak berhasil, karena bayangan itu tampak sangat jauh dan hanya berupa siluet kabur. Diam-diam ia jadi sedikit menyesal karena tadi tak mengenakan kacamatanya.

16 April 2016

Cerpen: Sang Kekasih

Lucu sekali kalau ada seorang kekasih yang tidak tahu siapa dan di mana alamat kekasihnya sebenarnya. Tapi Pramudya memang betul-betul tidak tahu, siapa sebetulnya kekasihnya, dan di mana tempat tinggalnya yang sebenarnya? Dia cuma tahu, bahwa nama kekasihnya itu adalah Murni. Sudah, itu saja. Namun, siapa Murni yang sebenarnya? Tak jelas.

Cerbung: Lewat Tengah Malam (1)


Lewat tengah malam,
kala tahun lama digebah,
saat tahun baru disambut,
dengan lengking dan terompet,
dan pancar kembang api,
lelaki dari impian itu
sekonyong-konyong menjelma,
nyata – laksana dalam mimpi.
Kusentuh dengan cinta
hingga akhir....

Cerbung: Lewat Tengah Malam (2)

(Sambungan dari bagian 1)
Setelah berada di Jakarta kembali, tiba-tiba saja saya merasa seperti baru terjaga dari mimpi. Hari-hari yang telah saya jalani kemarin, selama tiga hari di vila Keluarga Baskoro itu, sekonyong-konyong terasa begitu jauh dan terlalu tinggi buat saya sentuh lagi, meski hanya lewat angan-angan. Bapak dan Ibu Baskoro yang senantiasa memerhatikan saya, melebihi perhatiannya terhadap siapa pun. Seluruh Keluarga Besar Baskoro yang ternyata begitu baik dan bersahabat dalam menyambut kehadiran saya. Semuanya terasa muskil bagi saya. Tidak masuk akal. Laksana kedustaan mimpi.

Cerbung: Lewat Tengah Malam (3)

(Sambungan dari bagian 2)
Dua hari kemudian, saat saya sedang mempelajari hasil survei pema­saran salah satu produk anak perusahaan yang dinilai kurang memuas­kan, Pak Baskoro menelepon saya. Dari luar kantor. Sepertinya dari mo­bil. Soalnya lamat-lamat, saya juga mendengar suara Ibu Baskoro, lagi marah-marah pada orang yang diteleponnya.

Cerbung: Lewat Tengah Malam (4)

(Sambungan dari bagian 3)
Di sepanjang hidup saya sebelumnya, tidak pernah saya bermimpi atau bahkan sekadar membayangkan bahwa pada suatu hari saya akan meng­alami 'hari besar' ini: Berdampingan dengan gadis cantik yang amat saya cintai di pelaminan yang megah dan agung, di gedung yang bukan cuma terkenal mahal harga sewanya tetapi juga panjang antrian calon penyewanya. Namun ternyata, semuanya itu tidak ada artinya bagi Keluarga Besar Baskoro. Terbukti, kami sepertinya tak perlu antri untuk dapat menyewa gedung ini.

Cerbung: Lewat Tengah Malam (5)

(Sambungan dari bagian 4)
Paginya, begitu tiba di kantor, sekretaris direksi memberitahu bah­wa saya ditunggu oleh Tuan Yamada, presiden direktur perusahaan ini. Maka setelah menaruh tas kantor, saya segera mendatangi ruangan Tuan Yamada. Saya pikir ada sesuatu yang penting, ternyata dia hanya memberi tahu bahwa masa pelatihan saya berakhir minggu ini. Tapi Ja­karta memberi saya cuti ekstra satu minggu untuk menikmati liburan di Jepang. Dan itu membuat saya mafhum mengapa Nirmala tiba-tiba mun­cul. Rupanya saya memang sudah hampir pulang.

Cerbung: Lewat Tengah Malam (6)

Dari buku-buku catatan harian Nirmala – yang dibuka dengan puisi pendek tentang pertemuan pertama kami, rekaman video hari-hari tera­khirnya, dan juga rekaman video pesan terakhirnya buat saya, saya mengetahui semua yang selama ini disembunyikannya dari saya. Rupanya semuanya berawal dari 'tanda-tanda' kanker pada rahimnya, yang bukan cuma membuatnya jadi mandul total, tetapi juga mengancam nyawanya. Jadi, ia sudah berusaha untuk tidak berbohong ketika dulu mengatakan ke­pada saya, ia mandul karena adanya kelainan pada organ repro­duk­si­nya. Cuma, ia memang tidak berterus-terang bahwa kelainan itu adalah karena tumor yang kemudian jadi ganas, atau kanker.